Luka Sumatera, Luka Indonesia
Musibah bencana alam melanda Sumatera. Pada akhir bulan November 2025, banjir dan tanah longsor terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Menurut data terkini BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), jumlah korban meninggal dunia akibat musibah di tiga provinsi tersebut mencapai 604 orang.
Jumlah korban jiwa itu diungkap di situs Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Pusdatin BNPB), Senin (1/12/2025) pukul 17.00 WIB. Rinciannya, di Aceh 156 orang meninggal dunia, 1.800 orang terluka, dan 181 orang masih dalam pencarian. Di Sumatera Barat 165 orang meninggal dunia, 114 orang masih dalam pencarian, dan 112 orang terluka. Sedangkan di Sumatera Utara jumlah korban jiwa mencapai 283 orang, sementara 613 orang terluka dan 169 orang masih dalam pencarian.
Bencana alam yang melanda Sumatera ini seharusnya sudah cukup menjadi alarm paling keras bagi negara. Skala kerusakan yang luas, korban yang terus ditemukan, dan wilayah yang luluh lantak, menunjukkan bahwa tragedi ini bukan lagi musibah lokal. Kapasitas pemerintah daerah sudah jelas tidak mampu berdiri sendiri. Penanganan yang tersendat, logistik yang terbatas, serta lamanya proses evakuasi memperlihatkan bahwa kita sedang berhadapan dengan krisis kemanusiaan.
Karena itu, sangat layak jika presiden menetapkan kejadian itu sebagai bencana nasional, agar seluruh kekuatan negara, dari anggaran darurat hingga komando militer dan kementerian teknis, dapat turun secara terkoordinasi dan menyeluruh. Di titik ini, kecepatan keputusan berarti selamatnya nyawa, dan keterlambatan adalah bentuk kealpaan.
Perlu diingat, status bencana nasional bukan sekadar istilah administratif. Itu adalah pintu pembuka terhadap mobilisasi penuh seluruh instrumen negara: Pengerahan TNI dalam skala besar, penguatan BNPB melalui anggaran khusus, prioritas penanganan skala nasional, hingga penggunaan jalur cepat bantuan internasional jika diperlukan. Dengan status tersebut, birokrasi tidak lagi menjadi penghambat, keputusan tidak lagi menunggu persetujuan berlapis, dan koordinasi antara pusat dan daerah tidak lagi terputus.
Kita pernah belajar dari Aceh 2004, dari gempa Palu dan tsunami Sulteng 2018 — bahwa penetapan bencana nasional selalu menjadi titik balik penanganan. Tanpa itu, daerah yang sudah porak-poranda akan terus berjuang sendirian, sedangkan waktu berjalan lebih cepat dari kemampuan mereka memulihkan diri. Maka, mempertahankan status bencana provinsi sementara skala tragedinya telah melampaui batas logis, sama saja dengan menutup mata terhadap fakta di lapangan.
Negara seharusnya hadir lebih cepat daripada banjir bandang yang menghancurkan perkampungan; lebih keras daripada jeritan keluarga yang kehilangan anaknya; lebih tegas daripada batas administrasi yang sering kali membunuh rasa kemanusiaan. Apakah kita menunggu angka korban menjadi lebih besar dulu baru bergerak? Menetapkan status bencana nasional bukan suatu tindakan panik, namun ia menjadi bentuk pertanggungjawaban.
Namun, ada sesuatu yang lebih besar daripada banjir bandang dan longsor itu sendiri. Kita perlu mengakui bahwa tragedi yang terjadi bukan sekadar peristiwa alam yang datang tanpa sebab. Ini adalah puncak dari rangkaian panjang perusakan ekologis yang dilakukan atas nama pembangunan. Selama bertahun-tahun, tanah-tanah Sumatera ditelanjangi habis-habisan. Hutan dibuka tanpa perhitungan, bukit ditambang hingga tinggal kerangka, dan aliran sungai dipaksa menanggung beban yang tidak pernah mereka pilih. Ketika daya dukung alam dihancurkan, bencana hanya tinggal menunggu waktu.
Sebuah ironi paling pahit. Ironi itu mencuat ke permukaan, bahwa kehancuran yang kita saksikan saat ini justru lahir dari sesuatu yang selama ini dijual kepada publik sebagai kebermanfaatan ekonomi. Betapa sering masyarakat diminta menerima luka ekologis dengan alasan pembangunan dan kemajuan; betapa sering suara penolakan dianggap menghambat investasi. Padahal, hasilnya kini berdiri telanjang di depan mata.
Narasi bahwa tambang membawa kesejahteraan kini terasa begitu pahit di tengah puing dan tangis. Siapa sesungguhnya yang paling diuntungkan dari aktivitas tambang yang menggerus tanah itu? Fakta panjang yang sering ditutup-tutupi adalah bahwa keuntungan sesungguhnya tidak pernah turun kepada warga, melainkan mengalir ke pemilik modal, jaringan politik, dan elite bisnis yang tak pernah merasakan derasnya air bah menghantam dada mereka. Tambang berjalan, kekayaan diangkut ke luar pulau, dan masyarakat tetap hidup dalam kemiskinan struktural. Jika yang dikorbankan adalah alam dan rakyat, sementara yang menikmati adalah segelintir orang yang jauh dari lokasi bencana, lalu untuk siapakah pembangunan ini sesungguhnya?
Di tengah kehancuran yang begitu nyata, muncul pula label dan ejekan dalam wacana publik; “Wahabi Lingkungan.” Istilah ini digunakan untuk meremehkan aktivis-aktivis ekologis, seolah keberpihakan kepada kelestarian alam adalah fanatisme yang harus diwaspadai. Padahal, yang sejatinya ekstrem bukanlah mereka yang berusaha menjaga bumi, tetapi mereka yang menganggap bumi bisa dieksploitasi tanpa batas. Menempelkan label seperti itu adalah cara paling mudah untuk menghilangkan substansi dan mengalihkan perhatian dari akar masalah, yaitu kerakusan yang terstruktur dan dilegitimasi oleh kepentingan ekonomi.
Di dalam situasi itu, muncul kembali pernyataan kontroversial yang beberapa waktu lalu disebut oleh Ulil Abshar Abdalla, bahwa tambang adalah maslahat, dan mempertanyakan mengapa orang begitu peduli kepada ekosistem. Pernyataan semacam ini sangat menohok ketika dihadapkan dengan kenyataan di lapangan — jenazah yang diangkat dari lumpur, rumah-rumah yang hanyut, dan masa depan ribuan anak yang hancur dalam sekejap. Jika tambang dianggap maslahat, maka maslahat itu bagi siapa?
Di dalam Islam, konsep maslahat tidak pernah berdiri tanpa prinsip hifdzul nafs (menjaga nyawa), hifdzul maal (menjaga harta manusia secara adil), dan hifdzul bi’ah (menjaga lingkungan sebagai amanah dari Allah). Jauh sebelum terminologi modern tentang iklim dan ekologi muncul, Al Qur’an telah menegaskan, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Islam tidak pernah memerintahkan manusia untuk menelanjangi bumi demi keuntungan sesaat, tetapi memintanya menjadi khalifah, penjaga yang bertanggung jawab. Bahkan, Rasulullah melarang menebang pohon tanpa alasan yang benar, melarang mencemari air, dan memuji mereka yang menanam pohon sekali pun hari kiamat tiba.
Maka, jika kepedulian terhadap bumi dianggap berlebihan, mungkin justru itulah sikap paling waras yang tersisa. Negara harus menentukan di sisi mana ia berdiri. Menetapkan bencana alam Sumatera sebagai bencana nasional bukan hanya langkah administratif, tetapi kompas moral. Ia mengakui luka, dan berjanji tidak mengulang penyebabnya. Jika tragedi ini tidak menjadi titik balik, maka kita sedang mengulang babak yang sama akan alam dihancurkan, manusia menjadi korban, dan kekayaan tetap berlabuh pada mereka yang jauh dari lumpur dan air mata.
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ٥٦
Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. (QS Al Araf: 56)