Renungan Panjang untuk Kita: Tidak Ada Ekonomi di Tanah yang Mati

Renungan Panjang untuk Kita: Tidak Ada Ekonomi di Tanah yang Mati
Renungan Panjang untuk Kita: Tidak Ada Ekonomi di Tanah yang Mati/foto:Antara

Banjir bandang yang menenggelamkan desa-desa di Sumatera akhir November 2025 adalah jeritan bumi yang sudah terlalu lama disiksa. Rumah hanyut, sawah hilang, ternak mati, dan orang-orang yang ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di bawah endapan lumpur, semua itu adalah tanda bahwa kita sedang membayar harga dari kezaliman yang telah dibiarkan berlangsung bertahun-tahun terhadap tanah ini. Air tidak akan mengamuk seperti itu jika hutan masih berdiri. Sungai tidak akan berubah menjadi kuburan raksasa jika akar-akar pohon masih memeluk tanah dengan kuat.

Hutan di Indonesia terus menghilang dalam angka yang tidak bisa lagi diterima dengan hati tenang. Pada tahun 2024, Indonesia kehilangan sekitar 261.575 hektare hutan alam hanya dalam satu tahun. Dari angka itu, sekitar 242.000 hektare adalah hutan primer, hutan paling berharga yang tidak akan pulih kembali dalam ratusan tahun. Di dalam rentang yang lebih panjang, antara tahun 2000–2017, Indonesia kehilangan 23 juta hektare hutan. Dua puluh tiga juta hektare itu setara dengan puluhan kali luas Provinsi Jakarta. 

Dan di balik perampasan hutan ini, ada peran negara yang tidak bisa disembunyikan. Negara berdiri paling depan dalam menerbitkan izin konsesi, membuka pintu lebar-lebar bagi perusahaan sawit, tambang, dan industri kayu besar, untuk menguasai tanah yang dahulu dijaga turun-temurun oleh masyarakat adat. Tanah adat disebut “lahan tidak produktif”, lalu diberikan kepada pemodal besar. Dampaknya, sungai tercemar, desa terendam, udara dipenuhi asap. Tetapi, setiap kali bencana datang, negara menyebutnya sebagai “musibah alam.” 

Ketika hutan hilang, bukan hanya pohon yang runtuh, tetapi juga ekonomi rakyat. Petani kehilangan lahan garapannya, nelayan sungai kehilangan ikan, masyarakat adat kehilangan rumah dan identitas mereka. Anak muda pun terpaksa meninggalkan desa dan menjadi buruh murah di kota, atau bekerja sebagai pekerja harian di perusahaan yang merampas tanah orang tuanya sendiri.

Keabsurdan Bencana Tanda Tangan: Saat Teriakan Masyarakat dan Aktivis Lingkungan Diabaikan
Kerusakan ekosistem alam tidak bisa hanya diselesaikan dengan mencabut izin perusahaan berkinerja buruk, karena pada akhirnya semua sudah terlambat, banjir kini telah menelan korban ratusan jiwa. Banjir dan longsor juga mengakibatkan perekonomian lumpuh dan ratusan desa hilang.

Di banyak wilayah, masyarakat bukan lagi tuan, tetapi buruh yang hidup dengan sisa kemiskinan. Sementara para pemilik modal menikmati keuntungan miliaran, rakyat di bawah hanya menerima lumpur dan banjir. Model ekonomi yang dibanggakan ini akan lebih pantas disebut sebagai perancang kemiskinan struktural.

Dampak ekonomi ini tidak temporer. Ia menancap seperti duri dalam daging buat rakyat. Hilangnya akses ke alam yang selama ini memberi makan — sawah, hutan, sungai — berarti hilangnya mata pencaharian. Generasi demi generasi tumbuh dalam kemiskinan struktural — terjebak pada upah rendah dan kehilangan kemandirian. Kemiskinan turun-temurun semakin bertambah, kesenjangan sosial kian menganga lebar, dan ketergantungan terhadap korporasi semakin mencekik. Entah sampai kapan rakyat miskin harus dipaksa menerima “hadiah” dari keserakahan: runtuhnya perekonomian, hilangnya harapan, dan semakin panjangnya daftar penderitaan yang harus mereka tanggung.

Di dalam sejarah Islam, amanah adalah fondasi kekuasaan. Umar bin Khattab pernah berkata bahwa jika seekor keledai mati karena tergelincir di jalan yang rusak, ia takut Allah akan meminta pertanggungjawaban dirinya. Hari ini, manusia mati di rumahnya sendiri karena negara gagal menjaga tanah yang menjadi sumber kehidupan. Allah telah menegaskan, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 56). Sebuah perintah yang mengikat bagi siapa pun yang memegang kuasa. Merusak bumi adalah bentuk kedurhakaan. Diam terhadap kerusakan adalah pengkhianatan.

Kalimantan dan Sumatera adalah paru-paru dan jantung negeri ini. Menyakiti keduanya berarti menusuk masa depan Indonesia. Cukup sudah menjadi bangsa yang menangis setiap musim hujan. Cukup sudah melihat anak-anak mencari jasad orang tuanya di antara timbunan lumpur pasca banjir. Maka, janganlah lagi sakiti Kalimantan. Jangan lagi sakiti Sumatera. Hentikan deforestasi. Hentikan pembiaran. Hentikan pembangunan yang membunuh manusia dan masa depan. Sesungguhnya, mempertahankan bumi adalah kewajiban iman dan tanggung jawab kemanusiaan.

Wajah Lama Menteri Ekonomi di Kabinet Prabowo, Akankah Target Ambisius Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Tercapai?
Mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam 2-3 tahun ke depan merupakan tantangan yang sangat berat bagi Indonesia. Tanpa adanya strategi besar baru yang lebih progresif.

Dan hari ini, ketika kita melihat Sumatera tersengal-sengal menahan napas terakhirnya, ketika sungai-sungai yang dulu menjadi nadi kehidupan berubah menjadi arus kematian, ketika kabar korban meninggal dunia datang di setiap jam dan bayi-bayi harus dipindahkan dari pelukan ibunya ke tenda pengungsian yang dingin dan lembab, kita harus berhenti sejenak dan bertanya kepada diri sendiri: sampai kapan? Sampai kapan kita pura-pura tidak melihat? Sampai kapan kita menganggap ini sekadar bencana musiman, bukan tanda kehancuran yang kita biarkan tumbuh?

Sumatera tidak sedang baik-baik saja. Ia sekarat. Ia berdarah. Dan jika kita masih menutup mata sembari berkata, “Itu urusan pemerintah, itu urusan orang sana,” maka sesungguhnya kita sedang ikut menggali kuburnya. Sebab, setiap pohon yang tumbang adalah bagian dari tubuh kita. Setiap rumah yang hanyut adalah masa depan anak-anak kita. Dan setiap jeritan ibu yang kehilangan anaknya adalah pengingat bahwa kita sedang hidup di negeri yang membiarkan air mata warga menjadi lumpur yang mengubur mereka.

Inilah waktunya untuk berhenti bersikap dingin. Untuk berhenti membiasakan diri pada tragedi. Untuk menolak menjadi bangsa yang baru bangun ketika bencana sudah menelan semuanya. Sebab, jika hari ini kita tidak berdiri menjaga Sumatera, besok tidak akan ada lagi yang tersisa untuk dijaga. Dan ketika itu terjadi, penyesalan tidak akan menyelamatkan apa pun.

Kita harus memilih untuk hidup bersama alam. Karena hanya dengan begitu, kita bisa membangun peradaban yang adil, manusiawi, dan beradab.

Jika hari ini kita tidak berdiri, maka generasi kita kelak akan mewarisi negeri yang sudah kehilangan napas. Dunia boleh berkata bahwa “pembangunan” adalah jalan kemajuan. Tetapi ketika pembangunan itu memakan manusia, menenggelamkan desa, membunuh harapan dan masa depan, maka itu adalah awal dari kehancuran. Jika kita benar-benar peduli terhadap nasib rakyat, masa depan anak cucu, dan amanah sebagai khalifah di bumi, maka kita harus memilih: melanjutkan keserakahan atau menegakkan keadilan.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.