Abdi Rahmat, M.Si (Sosiolog UNJ): “Banyak Muslimah Berhijab Sebatas untuk Identitas Sosial”
Sebulan terakhir ini muncul beberapa kasus terkait wanita berhijab. Di antaranya ada seorang selebgram berjilbab yang menampilkan pornoaksi lewat adegan menjilat es krim di depan (maaf!) kelamin seorang laki-laki. Adegan dalam video yang diedarkan lewat media sosial itu kontan mendapat banyak kecaman. Salah satunya karena pemerannya adalah wanita berjilbab.
Juga ada kasus penipuan yang terungkap, yang ternyata dilakukan oleh dua orang wanita kembar berjilbab. Di dalam kasus yang kemudian viral itu, si kembar melakukan penipuan pre-order I-Phone yang berakibat para konsumennya mengalami kerugian dengan total mencapai 2,5 miliar rupiah. Selain itu, juga ada kasus seorang selebgram berjilbab yang mempromosikan judi online dan akhirnya diamankan Polisi.
Rangkaian fenomena itu menunjukkan, ada perubahan makna jilbab. Jilbab yang sebelumnya merupakan perwujudan makna religius dan merepresentasikan identitas religius pemakainya, terutama kaum muslimah, menjadi bergeser sehingga bisa berkaitan dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan. Hal itu dikatakan Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Abdi Rahmat, M.Si.
Di dalam perbincangan dengan sabili.id, ia mengatakan, sebelumnya ada nilai-nilai keagamaan dalam penggunaan jilbab. Tetapi dalam perkembangannya ada pergeseran pada pengguna-penggunanya. Penyebabnya antara lain karena faktor sosial, budaya, ekonomi, dan seterusnya. Sebab, jilbab itu digunakan oleh orang-orang yang kemudian juga berkaitan dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan sosial. Khusus tentang fenomena maraknya kasus yang melibatkan wanita berhijab, Abdi menyebut ada dua modus yang menyertainya.
“Pertama, jilbab memang kemudian menjadi modus untuk melakukan tindakan tertentu dalam rangka mengundang perhatian dan tindakan. Adegan makan es krim itu sebenarnya modus, yaitu dia berjilbab dan dalam rangka menaikkan perhatian orang harus ada kontroversinya. Tetapi mungkin (dampaknya) di luar perkiraan dia, (karena) sampai dipolisikan dan seterusnya. Kalo yang (untuk kasus) penipuan itu, jilbab mungkin bukan sebuah modus, tetapi dia menjadi identitas sosial saja bagi pemakainya. Ya, dia berjilbab tetapi kemudian perilakunya bukan perilaku keagamaan,” urainya.
Baca Juga : KH Cholil Nafis (Ketua MUI Pusat): “Muslimah adalah Duta Agama”
Pengajar Sosiologi Pendidikan di UNJ itu kembali menekankan, jilbab yang dikenakan para Wanita dalam beberapa kasus tersebut sebenarnya merupakan modus. Misalnya, kalau si pemakai jilbab itu kemudian mengundang atau menarik perhatian orang dengan menggunakan jilbabnya, itu merupakan bagian dari modus. Ketika dia yang mengenakan jilbab itu lantas mengerjakan tindakan yang menyimpang dari agama, hal itu juga menjadi modus. Artinya, modus dia adalah untuk menarik perhatian orang lain.
“Faktor-faktor sosial memang mempengaruhi bentuk perilaku orang dalam berjilbab. Misalnya, orang punya kasus jilbab sebagai fashion, sebagai tren. Jadi, misalnya ada orang mengenakan jilbab karena memang kecenderungan tren di saat itu adalah wanita berjilbab. Tetapi kemudian dia (jilbab, red) jadi penanda sosial masyarakat secara umum, begitu. Tidak lagi semata-mata agama, begitu. Karena umumnya orang berjilbab, kemudian dia berjilbab. Begitu seterusnya. Jadi, faktor sosial masyarakat yang mengenakan jilbab kemudian (membuat) dia terbiasa mengenakan jilbab. Misalnya, di sekolah dia diwajibkan berjilbab, maka dia berjilbab,” katanya.
Di dalam kondisi seperti itu, kata Abdi, bisa saja kemudian ada orang yang memanfaatkannya. Sehingga, faktor supply and demand pun berlaku. Ketika misalnya ada seorang wanita berjilbab yang kemudian bisa menarik perhatian orang, bagi supplier atau produsen, ia bisa digunakan misalnya untuk meng-endorse produk-produk tertentu.
“Jadi, hal ini disebut dengan faktor pasar ekonomi. Kalau berkaitan dengan identitas keagamaan, dia bisa menjadi pasar keagamaan juga,” ujarnya.
Ada lagi fenomena wanita berhijab, mengenakan jilbab tetapi tetap menonjolkan lekuk tubuhnya, atau kerap kali popular dengan istilah “jilboobs”. Terkait fenomena jilboobs, Abdi menduga, ada hasrat untuk menampilkan sisi sensualitas dari perempuan yang kemudian ditambah adanya dorongan untuk mendapatkan perhatian di tingkat publik.
“Sehingga kemudian, karena jilbab dipersepsikan sebagai identitas keagamaan dan kalau penggunanya mengenakan jilbab itu kemudian bisa juga menampilkan sensualitas, itu akan semakin menarik perhatian orang, baik dari sisi individualnya maupun misalnya dari sisi pasar ekonomi, dan seterusnya, bisa jadi daya tarik untuk menawarkan produk atau gaya hidup tertentu. Misalnya, berjilbab tetapi tetap seksi. Maka, ada produk fashion yang menawarkan pakaian dengan mode ‘meskipun tetap berjilbab tetapi terlihat sensual’. Ini sudah ada faktor hasrat dan dorongan sosial,” jelasnya.
Tentang kasus kriminal yang dilakukan Wanita kembar berjilbab, menurut Abdi, tidak terkait dengan agama. Artinya, jika ada orang yang berjilbab tetapi melakukan pelanggaran atau melakukan tindak kriminal dan seterusnya, itu karena ia mengenakan jilbabnya sekadar sebagai pakaian biasa.
“Banyak orang yang mengenakan jilbab hanya sebagai identitas sosial biasa, bukan berkaitan dengan keagamaan. Jadi, kebetulan saja dia berjilbab kemudian melakukan kriminalitas,” tegasnya.
Baca Juga : Memperjuangkan Hak Muslimah Lewat Peringatan Hari Solidaritas Hijab Internasional
Abdi tak menampik, ada kontribusi penting dari orang tua. Artinya, orang tua saat ini hampir tidak cukup bisa mengarahkan atau mendidik anak-anaknya. Sebenarnya, Ketika anak sudah berkembang dan dewasa, tidak hanya pengaruh dari orang tua yang membentuk karakternya. Maka, penting bagi orang tua untuk membentuk karakter anak itu sebelum dipengaruhi lingkungan.
“Di dalam teori, itu disebut sebagai agen. Agen sosialisasi. Jadi, orang tua penting membentuk karakter anak. Ketika dia sudah berkembang atau dewasa, dia juga bersentuhan dengan faktor-faktor atau agen-agen sosialisasi lain, misalnya media pertemanan dan seterusnya. Maka, kita juga harus melacak, mengapa ia melakukan perilaku menyimpang itu,” tuturnya.
Abdi pun menyebut, di dalam sosialisasi, yang berpengaruh adalah agen-agen sosialisasi. Di antara agen sosialisasi itu adalah keluarga, lingkungan di Pendidikan, di sekolah, di pertemanan, hingga termasuk juga media massa.
“Faktor-faktor sosial berupa gaya hidup itu juga berpengaruh. Jadi, misalnya media massa itu memberi pengaruh terhadap pembentukan gaya hidup pertemanan dan bisa mempengaruhi aspek-aspek ekonomi. Misalnya berteman dengan kalangan bergaya hidup yang lebih tinggi. Ada tuntutan beli barang yang lebih, misalnya. Itu bisa berpengaruh. Jadi, faktor-faktor agen sosialisasi itu juga membentuk perilaku sosial seseorang di Masyarakat,” tutupnya.