Air Mata Kaum Anshar Tertumpah di Ji’ranah
Hasil rampasan perang itu, menurut Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfury dalam bukunya “Ar-Rahiq Al-Makhtum”, meliputi 24.000 ekor unta, lebih dari 40.000 ekor kambing, 4.000 uqiyah perak dan 6.000 orang tawanan. Rampasan yang besar. Kaum muslimin yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw berhasil mengalahkan kaum Hawazin dalam perang Hunain, kurang dari 20 hari setelah penaklukan kota Makkah.
Di dalam perang itu, Rasulullah membawa 12.000 tentara. Sejumlah 10.000 personel pasukan tersebut adalah anggota pasukan yang dibawa Rasulullah untuk menaklukkan Makkah. Sedangkan 2.000 sisanya adalah orang-orang Makkah yang umumnya baru masuk Islam.
Rampasan perang yang sangat besar itu tidak langsung dibagi. Tepatnya belum sempat dibagi, karena Rasulullah dan bala-tentaranya harus langsung mengepung benteng Thaif selama beberapa waktu. Harta rampasan itu sendiri diletakkan di sebuah tempat bernama Ji’ranah.
Usai pengepungan benteng Thaif, harta rampasan tersebut baru dibagi oleh Rasulullah Saw. Beliau tinggal di Ji’ranah kurang lebih 10 hari. Di rentang waktu itulah, beliau membagikan harta rampasan perang tersebut.
Baca Juga : Gaya Hidup Minimalis ala Rasulullah SAW
Mempertimbangkan strategi pengembangan dakwah Islam ke depan, Rasulullah memberi prioritas pada pasukan yang berasal dari Makkah. Mereka masih mualaf dan beberapa di antara mereka adalah tokoh-tokoh yang berpengaruh di kota Makkah. Rasulullah memberikan porsi besar kepada mereka ini, sebagai bentuk motivasi dan strategi membangun loyalitas kepada Islam dan Rasulullah Saw.
Abu Sufyan misalnya. Ia tokoh Qurays yang baru menerima Islam setelah penaklukan kota Makkah, sedangkan ia orang yang berpengaruh luas pada kaumnya. Kepadanya, Rasulullah memberikan rampasan perang berupa 100 ekor unta dan 40 uqiyah perak. Abu Sufyan malah minta tambah lagi untuk dua orang anaknya, yakni Yazid dan Mu’awiyah. Rasulullah memberikan kepada keduanya, masing-masing sejumlah yang diterima oleh Abu Sufyan.
Demikian pula dengan beberapa mualaf lain dari kalangan tokoh-tokoh Makkah. Jatahnya sama dengan Abu Sufyan. Sementara mualaf lain yang bukan tokoh, mendapatkan kurang dari itu, namun jumlahnya masih cukup besar. Barulah sisa dari itu semua dibagi kepada tentara dari kabilah lain. Sementara kaum Anshar yang menyertai Rasulullah dari Madinah tidak kebagian sama sekali.
Kebijakan Rasulullah yang didasari pada strategi dakwah jangka panjang ini nampaknya tidak sepenuhnya dipahami oleh kaum Anshar. Beberapa di antara mereka merasa keberatan. Sehingga muncul desas-desus bahwa Rasulullah hanya mementingkan kaum kerabatnya saja.
Berita tersebut sampai juga ke telinga baginda Nabi. Lalu beliau meminta sahabat Sa’ad bin Ubadah untuk mengumpulkan kaum Anshar. Saat mereka telah berkumpul, Rasulullah menyeru kepada mereka, “Wahai kaum Anshar, keberatan kalian atas kebijakan yang aku ambil telah sampai padaku. Bukankah aku datang kepada kalian dahulu saat kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan petunjuk? Kalian dalam keadaan miskin, lalu Dia mencukupkan kalian? Kalian saling bermusuhan, lalu Allah menyatukan kalian?”
Kaum Anshar seketika menjawab, “Benar. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling berjasa dan lebih utama.”
Selanjutnya Rasulullah berkata pula, “Tidakkah kalian ingin membalas ucapanku, wahai orang-orang Anshar?”
“Dengan apa kami harus menjawab wahai Rasulullah?” kaum Anshar balik bertanya.
“Demi Allah, jika kalian mau, kalian pasti mengatakannya, dan apa yang kalian katakan adalah benar, dan kalian akan dibenarkan jika mengatakan itu kepadaku; Engkau datang kepada kami sebagai orang yang telah didustakan, lalu kami (kaum Anshar) membenarkanmu; Engkau datang sebagai orang yang terhina, lalu kami menolongmu; Engkau datang sebagai orang yang terusir, lalu kami menampungmu; Engkau datang sebagai orang yang miskin lagi papa, lalu kami menanggung semua bebanmu.”
Rasulullah lalu melanjutkan seruannya, “Wahai kaum Anshar, apakah kalian mendapatkan di dalam diri kalian hasrat terhadap secuil harta dunia yang telah melunakkan hati suatu kaum agar mereka masuk Islam, sedangkan kalian telah menyerahkan diri kepada Islam? Tidakkah kalian rela wahai kaum Anshar, orang-orang pulang dengan membawa domba dan untanya, sedangkan kalian membawa Rasulullah Saw ke rumah kalian? Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, andai saja bukan karena hijrah niscaya aku adalah orang Anshar. Andaikata orang-orang memilih jalan di celah-celah bukit, lalu orang-orang Anshar memilih jalan lain, niscaya aku akan menempuh jalan yang dipilih oleh orang-orang Anshar.”
Baca Juga : Sumur "Ha" dan Bukti Keimanan Abu Thalhah Al-Anshari
Lalu Rasulullah memungkasi seruannya dengan doa, “Ya Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak-anak dan cucu mereka.”
Air mata jatuh bergulir di pipi segenap sahabat Anshar yang hari itu hadir. Sehingga basahlah janggut mereka oleh air mata keharuan yang dalam. Betapa dahsyatnya seruan Rasulullah itu menghujam pada sanubari batin yang telah tersibghoh oleh cahaya iman yang murni.
Sungguh keutamaan yang mereka lalaikan. Kehormatan dan kepercayaan Rasulullah yang begitu besar kepada kaum Anshar, namun mereka bahkan cemburu dengan mualaf yang menenteng unta, saat keagungan jiwa Rasulullah membersamai mereka. Sungguh tak pantas!
Adakah yang lebih berharga dari keberadaan Rasulullah di samping mereka? Bahkan bumi dan seisinya pun takkan pernah sebanding. Itulah mengapa air mata itu tumpah, yaitu karena keinsyafan terdalam yang menyeruak kembali, bahwa tak ada kemuliaan yang sebanding dengan “membawa kembali Rasulullah ke Rumah mereka”.
Kita tak seberuntung kaum Anshar. Bahkan kita tak pernah memperoleh kebahagiaan dengan menatap langsung wajah anggun beliau. Tetapi kita mewarisi cinta kaum Anshar kepada Rasulullah. Kita tak mungkin membawa Rasulullah ke kampung atau kota kita, tetapi kita bisa membawa sunnah-sunnah beliau hingga ke bilik terdalam rumah kita. Begitulah kiranya semangat 12 Rabiul Awal ini kita tempatkan.
Allahumma sholli ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.