Akademisi dan Peneliti Membahas Rencana PPN 12%: Solusi atau Beban Baru?
Beberapa hari terakhir, tersiar kabar bahwa pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan memberlakukan pengampunan pajak pada 2025. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan, ada kemungkinan kenaikan PPN tahun depan akan ditunda. Artinya, PPN 12% belum akan diberlakukan di tahun 2025.
Tetapi Menko bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, membantah pernyataan itu. Ia mengatakan, belum ada pembahasan tentang penundaan penerapan PPN 12%. Menanggapi hal itu, masyarakat khususnya dunia usaha menyatakan keberatan terhadap rencana pemberlakuan PPN12% itu. Di media sosial, petisi berisi desakan kepada pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut telah menembus 15.000 tanda tangan.
Jadi atau tidak pemberlakuan kenaikan PPN menjadi 12% itu tentu saja memantik ragam pembahasan di dunia akademik. Salah satunya adalah Universitas Paramadina yang bekerja sama dengan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyelenggarakan diskusi publik membahas hal tersebut. Diskusi publik bertema “PPN 12%: Solusi atau Beban Baru?” itu menghadirkan pakar ekonomi dan akademisi dengan tujuan untuk membahas dampak kenaikan PPN menjadi 12% yang akan diberlakukan mulai Januari 2025 itu terhadap masyarakat. Diskusi publik itu diadakan pada Senin (2/12/2024) kemarin.
Salah satu pembicara dalam diskusi publik itu adalah Ketua Prodi (Program Studi) Manajemen Universitas Paramadina, Adrian A. Wijanarko, MM. Di dalam paparannya, Adrian menyoroti dampak kenaikan PPN terhadap generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial. Menurut dia, kelompok tersebut telah menghadapi berbagai tekanan, baik internal semisal kebutuhan untuk mandiri secara finansial, maupun eksternal semisal ketidakpastian ekonomi global, persaingan kerja, dan kebijakan pemerintah.
Ia menjelaskan, kenaikan PPN akan menyebabkan harga barang dan jasa meningkat. Hal itu akan membuat Gen Z dan milenial cenderung mengurangi konsumsi dan lebih fokus pada menabung untuk pendidikan, properti, serta investasi.
“Dari sisi perilaku keuangan, kenaikan PPN ini akan memengaruhi pola konsumsi dan strategi finansial generasi muda ke depan,” katanya.
Pembicara yang lainnya adalah Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, MPP. Ia memaparkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% itu mencerminkan kondisi fiskal Indonesia yang tengah menghadapi tantangan besar. “Penurunan penerimaan pajak nasional hingga Oktober 2024 sebesar 0,4% dibandingkan tahun sebelumnya, rendahnya rasio pajak, serta meningkatnya utang negara, menjadi sinyal serius terhadap keberlanjutan fiskal,” ucapnya.
Wijayanto lantas menyoroti inkonsistensi kebijakan ekonomi Indonesia. Di satu sisi, kebijakan itu mendorong penerimaan pajak rendah tetapi di sisi lain mengalokasikan belanja yang tinggi untuk subsidi dan program sosial. Menurut dia, kenaikan PPN ini harus disertai dengan reformasi menyeluruh, semisal mengatasi penyelundupan, memerbaiki tata kelola pajak, dan mengurangi insentif pajak berlebih untuk sektor tertentu.
Sedangkan Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Dr. M. Rizal Taufikurahman, menyebutkan bahwa dampak kenaikan PPN ini berpotensi menurunkan PDB sebesar 0,17%, yang dipicu oleh penurunan konsumsi, ekspor, serta daya saing sektor industri padat karya. Kondisi ini juga akan memerburuk tekanan terhadap kelas menengah yang telah menghadapi beban ekonomi yang signifikan.
“Situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian memperbesar tantangan bagi Indonesia. Kenaikan PPN, selain mempengaruhi daya beli masyarakat, juga diperkirakan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan konsumsi rumah tangga, dan peningkatan inflasi,” tegas Dr. M. Rizal Taufikurahman.