Akal Sehat VS Syahwat
Terang sudah sosok yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai Cawapres yang mendampingi Prabowo Subianto. Dia adalah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang juga Walikota Solo. Mungkin ini yang dimaksud Jokowi dahulu saat menyatakan akan “cawe-cawe” urusan Pilpres 2024. Di dalam kaitan itu, skenario ini agaknya sudah dirancang lama, jika segala opsi yang disodorkan menemui jalan buntu. Boleh jadi lantaran sudah tahu skenario di atas, Cak Imin sigap menyambar tawaran Surya Paloh melompat ke Koalisi Perubahan (Lihat tulisan: Blunder Membawa Berkah).
Baca Juga : Blunder Membawa Berkah
Mari kita tunggu, apakah Rabu besok pasangan Prabowo-Gibran benar-benar jadi mendaftar ke KPU atau batal? Mengapa begitu? Karena hal itu belum tentu terjadi. Apa yang akan terjadi nanti – sebulan, seminggu, sehari, semenit, bahkan sedetik lagi – adalah misteri. Seutuhnya dalam kuasa Allah. Di sini berlaku prinsip tauhid: Ana uriidu wa anta turiidu Wallahu yaf'alu maa yuriidu. “Saya ingin sesuatu dan engkau pun ingin pula hal yang sama. Tetapi Allah berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya.” Dengan demikian, segala kemungkinan masih terbuka.
“Tak seorang pun yang dapat memastikan apa yang akan dilakukannya nanti. Dan tak seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan mati. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.” – QS Luqman: 34
Ketika Prabowo dengan gagah mengatakan “Hari Rabu tanggal 25 Oktober akan mendaftar ke KPU”, dia telah melampaui Allah dan melanggar larangan Allah. Allah melarang seorang muslim mengatakan,
Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku akan mengerjakan ini besok”, namun katakanlah “Insya Allah (Jika Allah Menghendaki)” – QS Al Kahfi: 23-24
Jika pasangan Prabowo-Gibran jadi mendaftar, lolos tes kesehatan dan dinyatakan sah ikut kontestasi Pilpres 2024, bagaimana kira-kira dinamika sosial-politik yang akan bergulir ke depan? Di dalam tulisan berjudul “Blunder Membawa Berkah”, penulis menyebutkan pencalonan Gibran akan mengakibatkan terjadinya perubahan pertarungan antara kelompok pro dan anti Jokowi. Posisi berhadap-hadapan antara kelompok pro dan anti Jokowi itu bisa berujung pada lengsernya Dinasti Jokowi, dengan atau tanpa pemilu.
Analisis itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Jika sebelumnya kekuatan pro-Jokowi begitu dominan, kini terjadi perubahan drastis. Mereka berbalik arah jadi penentangnya. Yang paling kentara terjadi pada tiga kelompok:
Pertama, pendukung fanatik PDIP dan Mega. Perasaan dikadali dan dikhianati membuat mereka marah luar biasa. Publik masih ingat, bagaimana marahnya Mega dan PDIP, ketika Budiman Sujatmiko menyatakan dukungannya pada Prabowo. Hanya dalam hitungan hari ia dipecat. Padahal, mantan pentolan PRD itu kerap kesandung saat mau jadi menteri. Bagaimana dengan Dinasti Jokowi yang jalan politiknya melalui PDIP. Ini lebih keras dan lebih menyakitkan ketimbang “air susu dibalas dengan air tuba”. Gelagat itu setidaknya sudah disampaikan secara terang-terangan oleh Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Baca Juga : Kontrak Politik Last Minute
Kedua, kelompok kritis yang terdiri dari para akademisi, aktivis, jurnalis, mahasiswa, dan masyarakat umum, yang selama ini pro Jokowi karena menganggap ia prodemokrasi. Kini mereka berbalik arah dan menyatakan penentangannya. Keputusan MK yang melenggangkan jalan Gibran jadi cawapres dinilai sebagai cacat moral dan konstitusional yang parah. MK yang sejatinya dibentuk untuk menjaga konstitusi, telah diacak-acak menjadi Mahkamah Keluarga yang sarat kepentingan politik jangka pendek. Bagi kelompok ini, keputusan MK dan pencalonan Gibran adalah sinyal ambruknya demokrasi, moral politik, dan akal sehat. Pada saat yang sama mempertontonkan syahwat berkuasa yang tak kenal malu.
Gelagat penentangan itu setidaknya sudah terlihat nyata melalui aksi demo para mahasiswa maupun pernyataan keras para akademisi dan jurnalis. Arus ini akan semakin membesar seiring dengan dinamika sosial-politik yang menyertainya.
Ketiga, kelompok yang selama ini cuek dan kurang peduli urusan pro atau anti Jokowi. Dengan alasan yang sama atau alasan lain, mereka juga akan berubah menjadi anti Jokowi. Mereka mungkin tak pusing dengan Jokowi, tetapi akan terganggu dengan kepemimpinan Gibran yang dipandang masih bau kencur dan miskin pengalaman kepemimpinan. Keberhasilannya memenangkan pilwalkot Solo tahun 2020 semata-mata karena ia anak Jokowi. Bukan karena kapasitas dan prestasinya. Jika pasangan Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres lalu Prabowo mangkat di tengah jalan, terlalu gegabah menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Gibran yang masih bau kencur.
Jangan lupakan juga mereka yang selama ini terpaksa manut ke Jokowi lantaran tersandera aneka kasus hukum. Sebut saja mereka kelompok keempat. Status sebagai pasien rawat jalan atau calon pasien KPK dan Kejagung membuat mereka selama ini terpaksa membebek. Sebab, jika berani berulah, status bisa naik menjadi pasien rawat inap. Kalau sudah begitu, bukan sekadar hotel prodeo yang menanti, tetapi juga terlucutinya semua kekuasaan dan previlege yang digenggam. Di dalam situasi arus penentang Jokowi semakin besar, mereka ini akan dengan mudah mengikuti arus angin. Apalagi marwah KPK sedang di titik nadir seiring kasus yang sedang membelit Firli Bahuri, sang Ketua.
Ingat pula kelompok elite yang kecewa lantaran “loyalitas dan pengabdian” mereka kepada Jokowi selama ini tak berbuah manis. Mereka yang sudah mempersiapkan diri dan berjuang habis-habisan untuk dipinang menjadi cawapres, terpaksa harus gigit jari.
Paling mendasar, tentu saja kelompok yang selama ini nyata-nyata anti Jokowi. Mereka memandang kebijakan ekonomi-politik Jokowi bukan saja bernuansa Islamophobia tetapi juga disetir dan untuk kepentingan oligarkhi. Mereka ini umumnya mendukung pasangan AMIN seandainya Pilres jadi digelar. Namun, kelompok ini tidak menafikan seandainya pelengseran Jokowi dapat dilakukan tanpa harus melalui pemilu. Apalagi mereka melihat pemilu yang sejatinya adalah jalan terbaik suksesi dan regenerasi kepemimpinan bangsa, telah dikooptasi menjadi sarana pelanggengan belenggu oligarkhi dan kartel politik segelintir orang.
Baca Juga : People Power? Mungkinkah?
Pertemuan pandangan dan kepentingan kelompok ini dengan kelompok kedua dan ketiga – juga keempat – bukan mustahil memunculkan people power yang memaksa Jokowi lengser sebelum waktunya. Apalagi people power bukan hal asing dalam sejarah politik Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto dan Soeharto kepada Habibie bermula dari People Power. Selain aksi People Power lain yang tak berujung pada pelengseran penguasa, yakni Aksi Bela Islam 212 tahun 2016. Akankah hal itu terwujud? Tergantung mana yang lebih kuat antara moralitas dan akal sehat melawan syahwat kekuasaan dan pragmatisme sempit.
Yang jelas, Allah telah menetapkan aksioma sebagai berikut:
“Jika Kami ingin menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang elite di negeri itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tetapi mereka malahan berbuat fasik. Maka Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya” – QS Al Isra: 16
Wallahu a'lam bishawwab.