Al-Quds, Cermin Keimanan Kita yang Sebenarnya

Bayangkan sebuah tempat yang menjadi saksi pijakan Nabi Muhammad ﷺ sebelum naik ke langit. Tempat itu bukan hanya bangunan tua yang diperebutkan, tetapi sebuah amanah suci Masjid Al-Aqsa di kota Al-Quds.

Bagi sebagian orang, isu Palestina terasa jauh. Tetapi bagi seorang Muslim, ini bukan perkara jarak, melainkan perkara hati. Dan itulah yang diangkat dalam bait-bait awal Mandhumah At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah, sebuah syair penuh makna tentang kemuliaan Al-Aqsa.

Tiga Bait Pembuka yang Menggugah Nurani

Bait 1:

أحمدُ ربي بارئَ الأكوانِمُصلياً على النبي العدنانِي

Aku memuji Rabbku, Pencipta alam semesta,
seraya bershalawat kepada Nabi dari keturunan Adnan.

Bait 2:

وهذِهِ الأبياتُ في المُحَتَّمِعليهِ عقدُ القلبِ عندَ المسلمِ

Bait-bait ini termasuk hal yang wajib,
yang mengikat hati seorang Muslim.

Bait 3:

عن مسجدِ الأقصى وبيتِ المقدسِالذي حرّره مولى من المدنِ


Tentang Masjid Al-Aqsa dan Baitul Maqdis,
yang telah dibebaskan oleh Tuhan dari segala kekotoran.

Pesan dan Kesan Pidato Abu Ubaidah
Pidato Abu Ubaidah menegaskan bahwa Brigade Al-Qassam masih berdiri kokoh di atas landasan yang kuat, dan memiliki visi serta strategi yang jelas, yang bertujuan untuk menimbulkan kerugian besar di kalangan tentara Israel.

Al-Quds Bukan Sekadar Konflik, Ini Soal Iman

Jika kita melihat Palestina hanya dari kacamata geopolitik, mungkin kita hanya akan peduli ketika media memberitakan kekerasan. Tetapi bagi umat Islam, Al-Quds adalah cermin keimanan. Cinta kepada tanah suci ini bukan sekadar empati. Ia bagian dari iman yang hidup.

Di dalam bait ke-2, disebut bahwa bait-bait ini “muhattam”, hal yang penting, mendasar, bahkan wajib. Artinya, membicarakan Al-Aqsa bukan sekadar nostalgia sejarah atau isu kemanusiaan. Ini bagian dari identitas seorang Muslim.

Keimanan yang Hidup, Bukan Sekadar Pengakuan

Imam Al-Muzanim, salah satu murid Imam Syafi’i, pernah menjelaskan bahwa iman itu mencakup:

  • Keyakinan dalam hati
  • Ucapan dengan lisan
  • Amal nyata dengan anggota tubuh.

Nah, kalau kita tarik ke konteks Palestina, maka:

  • Kita yakin Al-Aqsa itu suci dan milik umat Islam
  • Kita berucap dengan doa, ceramah, tulisan, dan ajakan
  • Kita beramal — dengan waktu, harta, tenaga, bahkan sekadar berbagi informasi yang benar.

Membela Al-Aqsa bukanlah tren. Ia adalah tanggung jawab yang muncul dari cinta yang dalam.

Masjid yang Dibebaskan dari Kekotoran

Bait ketiga menyebut bahwa Al-Aqsa telah dibebaskan oleh Allah. Kata “harrarahu Mawlā” bukan sekadar kiasan. Artinya, fitrah Al-Aqsa adalah kebebasan dan kemuliaan. Maka, ketika hari ini ia dipenjara oleh penjajahan dan kekerasan, kita tahu: ada yang sedang melawan fitrah ilahi.

Al-Aqsa bukan sekadar masjid. Ia adalah kiblat pertama, tempat Isra’, dan simbol harga diri umat. Sayangnya, ia kini dikepung, dikhianati, dan coba dilenyapkan dari kesadaran Muslimin.

Intifada Akademik: Saatnya Kampus Berpihak kepada Kemanusiaan
Lebih dari 36.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, terbunuh dalam agresi militer Israel sejak Oktober 2023. Sistem kekerasan itu salah satunya ditopang dana, teknologi, dan legitimasi dari institusi-institusi akademik. Hal itu memicu gelombang Intifada Akademik.

Sedalam Apa Cinta Kita kepada Islam?

Pertanyaan ini mungkin terasa tajam, tetapi perlu kita hadapi: Jika cinta kepada Al-Aqsa tidak lagi menggerakkan kita, masihkah kita bisa bilang bahwa kita mencintai Islam sepenuh hati?

Rasulullah ﷺ tidak hanya mencintai Makkah dan Madinah. Beliau ﷺ menyebut Al-Aqsa dalam hadits-haditsnya. Bahkan, saat Isra’, beliau memimpin para nabi dalam shalat di masjid itu, ialah simbol kepemimpinan ruhiyah dan peradaban.

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi pernah mengingatkan, “Membela Masjid Al-Aqsa bukan hanya kewajiban bangsa Arab, tetapi seluruh umat Islam”.

Jangan Biarkan Nama Al-Aqsa Hanya Jadi Retorika

Berapa kali nama Al-Aqsa kita dengar dalam khutbah, ceramah, atau spanduk? Tetapi apakah kita benar-benar terhubung dengan tanah itu?

وهذِهِ الأبياتُ في المُحَتَّمِعليهِ عقدُ القلبِ عندَ المسلمِ

“Bait-bait ini termasuk hal yang wajib,
yang mengikat hati seorang Muslim.”

Jika hati kita tidak lagi bergetar saat mendengar nama Al-Quds, mungkin saatnya kita muhasabah: Masihkah iman kita hidup… atau hanya tinggal nama?

 

 

Catatan: Artikel ini diadaptasi dari bait 1–3 Mandhumah At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah, karya Dr. Al-Bashir Issom Al-Marokishi, dengan penjelasan oleh Rifqi Rashidi, Lc, MA (Penerjemah At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah)