Aliansi Akademisi Peduli Demokrasi Deklarasikan Penyelamatan Pemilu dan Demokrasi

Elemen akademisi dari puluhan kampus di seluruh Indonesia yang menamakan diri sebagai Aliansi Akademisi Peduli Demokrasi mengeluarkan Deklarasi Penyelamatan Pemilu dan Demokrasi, di Jakarta, 6 Februari 2024. Di dalam press release yang diterima Sabili.id, mereka menyebut, salah satu tujuan dari reformasi, yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto sebagai penguasa otoriter Orde Baru, adalah menegakkan demokrasi dan menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil. Tujuan itu akhir-akhir ini terasa semakin menjauh dan menyimpang.

Tahun 2022, elemen akademisi dari puluhan kampus di seluruh Indonesia yang menamakan diri sebagai Aliansi Akademisi Peduli Demokrasi itu juga pernah melakukan penolakan terhadap wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang ketika itu sedang mengemuka. Waktu itu, salah satu perwakilan aliansi, Ubedillah Badrun, mengatakan, masa depan demokrasi Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena peluang otoritarianisme semakin terbuka lebar setelah sejumlah elite politik terang-terangan bermanuver untuk mendorong adanya perpanjangan masa jabatan.

Kali ini, mereka kembali menyuarakan keprihatinan atas kondisi demokrasi di Indonesia, lewat pernyataan yang mereka keluarkan hari Selasa (6/2/2024) kemarin. Di dalam pernyataannya, Aliansi Akademisi Peduli Demokrasi mengatakan, dari tahun ke tahun demokrasi Indonesia terus mengalami kemunduran dan cenderung mengarah kepada otokrasi. Di sisi lain, mereka sangat khawatir Pemilu 2024 tidak akan berjalan sesuai dengan prinsip pemilu yang demokratis dan berkeadilan. Hal ini terjadi terutama karena adanya intervensi dari pihak kekuasaan yang menggoyahkan prinsip negara hukum.

Intervensi kekuasaan itu menurut Aliansi Akademisi Peduli Demokrasi itu di antaranya tercermin dengan lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Dampaknya, Ketua Mahkamah Konstitusi kemudian diberhentikan karena terbukti telah melanggar etik. Hal itu menurut mereka memperlihatkan bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi yang sarat dengan nuansa intervensi kekuasaan itu merupakan keputusan yang inkonstitusional serta mencederai demokrasi dan keberadaan konstitusi kita.

Baca juga: Pemuka Agama Deklarasikan Pemilu 2024 Damai

Selain itu, Aliansi Akademisi Peduli Demokrasi juga menyoroti proses penyelenggaraan pemilu yang menurut mereka juga berpotensi besar untuk tidak berjalan secara bebas dan adil. Hal ini terjadi karena juga adanya dugaan intervensi kekuasaan. Misalnya, menurut mereka, saat ini aparat birokrasi, TNI/POLRI, dan Penjabat Kepala Daerah diduga dimobilisasi untuk kepentingan pasangan calon tertentu. Sementara Bantuan Sosial (Bansos) yang dibiayai oleh APBN, yang notabene dari uang rakyat, juga dipolitisasi bagi pemenangan pasangan calon tertentu.

Maka, untuk menyelamatkan demokrasi dan pemilu yang bebas dan adil, Aliansi Akademisi Peduli Demokrasi menyerukan sejumlah hal, yaitu:

  1. Presiden harus bersikap netral dan secara kenegarawanan menyadari kedudukannya sebagai pemimpin negara bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kontestasi elektoral kali ini; tidak memobilisasi dan konsisten dalam menjaga netralitas ASN birokrasi, TNI/POLRI, dan Penjabat Kepala Daerah dari segenap kepentingan untuk mendukung, baik langsung maupun tidak langsung, kepentingan pasangan calon tertentu.
  2. Presiden dan para menteri, terutama di masa kampanye menjelang pelaksanaan pemilu, tidak melakukan politisasi segala bentuk pelayanan kepada masyarakat yang berasal dari keuangan negara, termasuk Bantuan Sosial (Bansos), untuk kepentingan politik elektoral. Pembagian Bansos tidak harus dibagikan oleh presiden secara langsung dan harus melibatkan Kementerian Sosial sebagai pihak yang bertanggung jawab.
  3. Para menteri dan pimpinan lembaga negara yang menjadi calon presiden dan menjadi bagian tim pemenangan harus mengundurkan diri dari jabatan agar tidak terjadi konflik kepentingan dan penyalah gunaan kekuasaan serta pemanfaatan fasilitas negara.
  4. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) harus turut memainkan fungsi asasinya sebagai pengawas jalannya kekuasaan, dengan melakukan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dalam hal penyelenggaraan pemilu agar berjalan konsisten secara demokratis.
  5. Seluruh pimpinan pemerintahan harus menyadari pentingnya penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil sebagai bentuk upaya pendidikan politik bangsa saat ini dan di masa datang, terutama dalam rangka mempertahankan kualitas demokrasi dan membangun legitimasi pemerintahan yang nantinya terbentuk.
  6. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menjalankan seluruh tugas dan fungsinya secara objektif, profesional, tanggap, dan imparsial, serta menegakkan aturan pemilu yang demokratis secara sungguh-sungguh.
  7. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus berani bertindak tegas dan cekatan atas segala bentuk pelanggaran prinsip penyelenggaraan pemilu yang demokratis tanpa pandang bulu.
  8. Seluruh masyarakat Indonesia, termasuk kalangan LSM, media massa, cendekiawan, mahasiswa, kaum perempuan, kalangan muda, hendaknya berperan aktif dalam pemilu, terutama dalam turut mengawasi dan memantau proses tahapan-tahapan pemilu, terutama pada saat pemungutan dan penghitungan suara, dan melaporkan apabila terjadi kecurangan.