Allah dan Rasulullah Cawe-cawe dalam Memilih Pemimpin (Bagian 4): Ancaman Allah kepada Kaum Muslimin Jika Memilih Pemimpin Bukan dari Kalangan Sendiri
Sebagai rakyat, kita rakyat wajib menyeleksi, mendukung, dan memilih calon-calon pemimpin yang punya kemampuan untuk menegakkan 5 tugas pokok kemaslahatan tersebut sesuai tujuan syariat yang telah Allah tetapkan. Terkait ciri sosok pemimpin yang harus kita dukung dan prioritaskan, akan kita bahas lebih lanjut di bab berikutnya. Kali ini, kita akan terlebih dahulu fokus pada dampak yang akan terjadi manakala kaum muslimin memilih pemimpin yang bukan dari kalangan mereka sendiri.
Mengacu pada firman Allah: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin/pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka (maksudnya, jika keadaan kaum muslimin masih minoritas). Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” – QS. Ali Imran:28
Larangan ini bukan dalam rangka menyinggung atau menabarak urusan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) sebagaimana ketentuan dalam perundang-undangan negara kita atau karena kedengkian atau diskriminatif. Tetapi ini perintah Allah. Ini Syariat Allah. Jika larangan dan peringatan Allah untuk tidak memilih kaum kafir ini dilanggar oleh umat Islam – yang sebagian besar rakyat negeri ini adalah muslim – akan ada beberapa konsekuensi yang muncul. Allah memberikan ancaman yang sangat berat, yakni:
Ancaman Pertama, Allah akan menghentikan memberikan pertolongan-Nya kepada bangsa kita. Allah menjelaskan hal ini dalam surat Ali Imran ayat 28 di atas. Dan ancaman ini pun telah dibuktikan Allah dalam bentuk tertolaknya doa-doa kaum muslim yang berkali-kali melakukan istighosah untuk keluar dari krisis multidimensi yang melanda negeri ini dan agar dijauhkan dari bala bencana. Tetapi musibah dan bencana malah semakin sering terjadi dan kian beraneka ragam bentuknya.
Di dalam kenyataannya, keadilan pun belum juga menunjukkan tanda-tanda akan dapat ditegakkan, sehingga perkelahian antar kelompok dan peperangan antar etnis semakin parah. Kejahatan justru semakin terorganisasi, mengganas, dan merajalela, dengan berbagai jenis, bentuk, dan motifnya. Korupsi dan manipulasi masih terus berkembang, semakin canggih dan sulit diberantas. Arogansi pemimpin dan para penguasa semakin kentara, ulama-ulama difitnah dan dituduh menyebarkan radikalisme.
Pejuang-pejuang anti penjajah, yang dahulu disebut ekstrimisme, kini dituduh dan disebut terorisme. Budaya kekerasan, tipu daya dan rekayasa, penggusuran dan kedzaliman-kedzaliman terhadap rakyat yang lemah semakin sering terjadi. Ini semua terjadi, di antaranya karena kita (rakyat negeri ini) salah dalam memilih pemimpin. Mari kita lihat ancaman Allah tersebut, jika kita salah memilih pemimpin.
Baca juga: Allah dan Rasulullah Cawe-cawe dalam Memilih Pemimpin (Bagian 3): Syariat dalam Tugas Pokok Pemimpin Bangsa
Allah telah berfirman: “Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu [Azab yang datang dari atas seperti angin puting beliung, petir, dan lain lain, sedangkan yang datang dari bawah seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan sebagainya] atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan, perpecahan, dan peperangan antar etnis) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti [Maksudnya: Allah SWT mendatangkan tanda-tanda peringatan-Nya dalam berbagai rupa dengan cara yang berganti-ganti] agar mereka memahami(nya)’.” – QS. Al An’am:65
Ancaman Kedua, Jika kita salah memilih pemimpin, hal itu akan menjadi alasan bagi Allah untuk segera menurunkan azab-Nya yang sangat dahsyat. Ancaman ini telah sering terjadi dan telah dibuktikan pula oleh Allah dengan adanya musibah tsunami, gempa bumi, banjir, longsor, luapan lumpur sebagian isi perut bumi yang terjadi di Porong dan Sidoarjo, angin puting beliung, kecelakaan-kecelakaan pesawat, kapal tenggelam, wabah penyakit, dan lain-lainnya, yang terus berulang dan silih berganti. Allah menjelaskan hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat An-nisa ayat 144: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?”
Ancaman Ketiga, Jika kita salah memilih pemimpin, akan menjadi alasan bagi Allah untuk mengalahkan dan menghinakan kita sebagai suatu kaum atau bangsa yang di dalamnya terdapat banyak kaum muslimin. Ini pun telah dibuktikan oleh Allah terhadap bangsa ini. Yakni kehidupan bangsa yang menjadi hina karena merajalelanya kasus korupsi, perzinahan, narkoba, kejahatan pembajakan hak cipta, dan kejahatan intelektual dan penyelewengan lainnya, sehingga menempatkan bangsa ini pada ranking tertinggi ke-3 di dunia sebagai bangsa terkorup. Dan menjadi bangsa yang selalu kalah dalam segala hal yang berkaitan dengan hubungan internasional. Semuanya didikte dan diobok-obok oleh bangsa lain.
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil (menjadikan) orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan hanya kepunyaan Allah.” – QS. An-Nisa:138-139
Oleh karena itu, wahai saudara-saudara generasi bangsaku. Mari kita perhatikan ancaman Allah ini dan kita taati ketentuan-ketentuan dari-Nya yang berkaitan dengan memilih pemimpin negeri ini. Agar kita tidak salah memilih pemimpin yang culas yang dapat mempercepat proses terjadinya kehancuran negeri yang kita cintai ini.
Pemimpin yang berwibawa, adalah pemimpin yang dapat ditaati dan dipatuhi oleh rakyatnya, karena kebijaksanaan dalam kepemimpinannya, karena kejujuran serta ketulusan dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang berwibawa akan memimpin, membimbing dan mengajak rakyatnya kepada jalan yang benar dan yang diridhoi Allah.
Baca juga: Allah dan Rasulullah Cawe-cawe dalam Memilih Pemimpin (Bagian 2): Kewajiban Untuk Memilih Pemimpin
Ketaatan dan kepatuhan rakyat kepada kepemimpinannya, timbul karena rasa hormat dan kasih sayang. Pembelaan mereka kepada pemimpinnya itu berdasarkan rasa cinta karena Allah, serta demi menunaikan perintah syariat agama, sesuai dengan yang diinstruksikan langsung oleh Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (para pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qu’ran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” – QS. An-Nisa:59
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (yang mengikuti Rasul), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” – QS. An-Nisa:115
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku berwasiat kepadamu agar bertaqwa kepada Allah ‘Azza wajalla, agar mendengar, taat dan patuh terhadap pemimpin, meski pun yang memimpinmu itu seorang budak. Barang siapa yang panjang umur, maka dia akan melihat banyak perbedaan pendapat. Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah-sunnah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu. Waspadalah terhadap ciptaan bid’ah persoalan yang baru, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” – HR. Attirmidzi
Untuk menjadi pemimpin yang ditaati dan dipatuhi, para pemimpin atau calon pemimpin harus mengutamakan kejujuran dan kebersihan hati nuraninya, melaksanakan amanah dengan benar, dan memberikan keteladanan. Terhadap pemimpin yang memiliki sifat-sifat seperti itu, maka rakyat akan mendukung, membantu, menyayangi, dan membelanya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.
Tetapi sebaliknya, terhadap para pemimpin yang berkhianat, menjual rakyat, tamak, bermaksiat, dzalim dan mementingkan syahwat pribadi atau golongannya sendiri, maka rakyat akan menghujat dan melaknat, melawan, membangkang, dan memberontak. Sebab, ketaatan rakyat yang sesuai dengan perintah syariat itu pun harus bersyarat, yakni ketaatan kepada pemimpin yang tidak bermaksiat kepada Allah. Seperti yang djelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak ada ketaatan kepada seseorang yang tidak taat kepada Allah.” – HR. Abu Ya’la
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Penciptanya (Allah).” – HR. Ahmad & Al-Hakim
Baca juga: Allah dan Rasulullah Cawe-cawe dalam Memilih Pemimpin (Bagian 1): Syariat dan Kepemimpinan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberikan penjelasan untuk menjadi panduan berharga kepada para pemimpin atau calon pemimpin dalam sabdanya, “Khianat yang paling besar adalah jika seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya.” – HR. At Thabrani
Yang dimaksud memperdagangkan rakyatnya adalah, menukar keadaan kemiskinan rakyatnya untuk mencari hutangan kepada para rentenir dengan menjaminkan aset nasional. Setelah hutang diperoleh, bukannya untuk memakmurkan rakyatnya tetapi dikorup untuk menumpuk kekayaan para pejabat dan kepentingan bermegah-megahan para penguasa.
Termasuk menjual rakyatnya adalah penguasa yang mengusir, mengejar-ngejar, dan memusuhi sebagian rakyat anak-anak negerinya yang militan, cerdas, dan tidak mau tunduk kepada pihak penjajah yang memberi renten (hutang) dengan tuduhan sebagai teroris. Dengan mengorbankan rakyatnya yang dituduh sebagai teroris oleh penjajah, maka pihak rentenir penjajah tadi semakin dermawan mendukung biaya kampanye (promosi) sang pemimpin atau calon pemimpin tadi, kemudian bersikap toleran dan membantu tim suksesnya, serta siap menambahkan pinjaman hutang-hutang baru, pada saat ia terpilih menjadi pemimpin kembali.
Keadaan negara yang menuju kepada kehancuran seperti ini nampaknya telah mulai terjadi. Para pemimpin bangsa menjual rakyatnya demi mendapatkan pinjaman baru. Terutama pada saat menjelang pemilu untuk meraih kekuasaan, atau untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka pura-pura baik kepada rakyat, menyuap rakyat demi pencitraan dengan memberikan santunan dan janji-janji manis. Tetapi pada saat telah duduk sebagai penguasa, mereka melakukan pengkhianatan. Mereka melakukan kecurangan, arogan dan mengusir rakyat kecil yang seharusnya mereka santuni. Rakyat yang seharusnya mereka carikan tempat tinggal dan yang seharusnya mereka berikan tempat untuk berusaha. Pemimpin atau calon pemimpin yang seperti itu, tidak layak untuk dipilih.
Kebiasaan perilaku para pemimpin atau calon pemimpin dan pejabat negeri yang seperti itu, belum juga disadari oleh rakyat dan warga masyarakat. Mereka masih saja suka ditipu dan dibohongi untuk memilih pemimpin-pemimpin seperti itu. Mereka memilih pemimpinnya tidak berdasarkan panduan yang ditentukan dan diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Mereka terjebak dan tertipu oleh propaganda media yang disebarluaskan dan dibiayai oleh juragan dari luar negeri yang menjadi promotor para calon pemimpin itu pada saat melakukan kampanye-kampanye. Orang-orang yang seharusnya dicegah untuk menjadi pemimpin bangsa, justru dipilih dan dibela oleh rakyat. Tidak peduli apakah pemimpin itu sehat atau cacat ruhaninya. Sementara orang yang layak dipilih menjadi pemimpinnya justru ditolak dan dijauhi.