Amal Individu maupun Jama'iy adalah Aplikasi dari Tauhid
Sebagian orang suka sekali membenturkan gerakan ishlah (perbaikan, islamisasi) politik dengan dakwah tauhid, seakan-akan keduanya itu kontradiktif. “Kuatkan tauhid umat dulu, jangan ajak bahas politik,” begitu kira-kira jargon yang mereka sebarkan. Akibatnya, orang menjadi antipati membahas soal politik atau minimal agak menjauh. Sehingga, umat akhirnya kurang peduli dengan pemerintahan, terhadap kebijakan yang merugikan umat, penegakan syariat, dan turunannya.
Itu semua karena ketidakpahaman terhadap tauhid aplikatif atau bisa kita sebut tauhid terapan. Mereka pikir, tauhid itu hanya teori ketuhanan, menghapal asma dan shifat, atau paling jauh hanya seputar “jangan minta ke kuburan”. Semua itu benar, tetapi bukan benturan pada sisi amal penegakan syariat, serta bukan penghalang aktivitas politik dan kegiatan sosial keumatan.
Pembenturan seperti itu mirip dengan pola murjiah, di mana konsep murjiah amal itu bukan bagian dari iman, sehingga bukan turunan Tauhid. Sementara ahlus sunnah menganggap, tidak ada iman tanpa amal dan amal adalah aplikasi dari tauhid itu sendiri.
Jangan mengaku bertauhid kalau tak bisa sabar mencari rezeki yang halal. Maka, mereka yang merasa “terpaksa” menempuh cara haram sejatinya kurang bertauhid, meski mereka paham apa makna istiwa`, makna yad, hafal hadits tentang larangan tawassul, dan semisalnya.
Mana mungkin dikatakan bertauhid sempurna kalau kemaksiatan merajalela di depan mata sementara dia tak merasa resah, sehingga tak berupaya sekuat bisa untuk mencegah?
Metode Al-Bukhari dalam Shahih-nya
Itulah uniknya Imam Al-Bukhari ketika menulis shahih-nya menempatkan kitab Al Iman di awal-awal kitab sebelum ibadah. Tetapi yang dia masukkan ke dalam kitab Al Iman itu semua adalah iman aplikatif alias amal. Kitab Tauhid teori justru dia tempatkan di akhir kitab.
Sedari awal, Al-Bukhari sudah mendeklarasikan, iman itu qaul dan amal, seakan menantang murji`ah. Lalu, dia sebutkan hadits-hadits tentang amal shalih bahkan amal sosial, dan menyatakan itu semua sebagai bagian dari iman.
Uniknya lagi, hadits pertama di kitab Iman Shahih Al Bukhari adalah hadits Ibnu Umar tentang rukun Islam. Ini menggambarkan bahwa iman itu adalah pelaksanaan Rukun Islam itu sendiri, dan memang itulah aplikasi iman yang harus segera dijalankan orang ketika dia masuk Islam, tanpa ada kewajiban untuk tahu apa itu arsy, apa itu istiwa`, dan lain-lain.
Di akhir-akhir bahasan tentang iman, Al Bukhari memuat hadits yang unik (hadits nomor 53 di bab nomor 41) juga karena menyebut iman ada 5 tetapi tak ada haji di sana, diganti dengan hadits pembayaran khumus (seperlima rampasan perang). Hadits dengan sanad ruba'i (empat rawi dari penulis sampai ke Rasulullah) yaitu Ali bin Ja'd, meriwayatkan dari Syu'bah, meriwayatkan dari Abu Jamrah, meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas menceritakan utusan Abdul Qais yang datang belajar kepada Rasulullah. Lalu beliau menyampaikan empat perintah dan empat larangan.
Empat perintah itu adalah iman hanya kepada Allah, dan beliau jelaskan iman itu adalah: Syahadatain, shalat, zakat, puasa, dan menyerahkan khumus. Empat larangan adalah larangan membuat perasan minuman dalam empat jenis kendi yaitu hantam, dubba`, naqir, dan muzaffat. Itu semua nama jenis kendi yang perasan buah disimpan di situ bisa jadi tuak atau arak tanpa sadar. Tetapi kemudian larangan ini di-mansukh.
Di dalam sebagian riwayat tidak disebut puasa. Sebab, kalau beserta puasa, bukan empat perintah jadinya, tetapi lima. Kebanyakan yang meriwayatkan dari Abu Jamrah tidak menyebut puasa, seperti riwayat Muslim dan Abu Daud. Juga riwayat Al Bukhari sendiri melalui jalur Hammad bin Zaid dan Abbad bin Abbad. Wallahu a'lam.
Tetapi ada pula yang memberikan takwil lain, semisal Ibnu Mulaqqin dalam At-Taudhih jilid 3 halaman 216 (cetakan Darun Nawadir tahun 2008).
Hadits ini terang menunjukkan bahwa pembagian khumus dan itu bab jihad, di mana bab jihad ini adalah turunan dari bab imarah yang merupakan bahasan “politik merupakan bagian dari iman”. Sehingga, iman itu meliputi amal, baik amal individu maupun amal masyarakat. Hadits ini pula yang menjadi bantahan telak bagi murji`ah yang mengeluarkan amal dari elemen iman.
Juga menjadi bantahan bagi kaum sekuler yang memisahkan urusan pemerintahan dengan agama. Islam adalah agama menyeluruh, yang mengatur kehidupan personal dan masyarakat, dari cara masuk WC sampai soal mengatur negeri. Prioritas masalah keumatan memang ada, tetapi sama sekali tidak melupakan yang lain. Sehingga, dakwah dasar keimanan, mengajari orang baca-tulis Al Qur’an, mengajarkan akidah ahlus sunnah dan membantah ahli bid’ah harus dilakukan seiring sejalan dengan perjuangan politik, pembenahan ekonomi masyarakat agar tidak dikuasai oleh kapitalis Islamophobia, dan juga sektor hubungan internasional di mana Islam harus menjadi super power dan dominan di atas negara lain.
Tetapi kan tidak mungkin mengerjakan itu sendirian? Makanya, bekerjasamalah dengan berbagai elemen umat yang lain, sehingga tercipta sinergi antar gerakan dakwah. Ada yang menguatkan dakwah di akar rumput, ada pula yang membangun di dalam pemerintahan. Yang ahli dalam ekonomi menjadi kaya, sehingga menjadi kumpulan donator, sementara yang ahli dalam manajemen pendidikan membangun Lembaga Pendidikan. Yang lihai dalam menulis, maka menguatkan bahan bacaan sehingga dapat menerbitkan berbagai buku panduan ajar untuk umat.
Membangun sinergi gerakan dakwah adalah perintah hadits Nabi saw,
“Mukmin kepada mukmin yang lain itu ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain” – HR. Al-Bukhari dan Muslim
Penyakit umat dan para aktivis dakwah adalah ketika sudah merasa sombong sehingga tak mau bekerjasama dengan pihak lain. Merasa benar sendiri dan ingin menguasai, bukan mental sinergi yang dibangun tetapi mental dominasi. Akhirnya saling bermusuhan, menjatuhkan, dan akhirnya musuh yang mendapat keuntungan.