Angku Nasaruddin Latif: "Ulama Konselor Pernikahan yang Terlupakan"
“Segala sesuatu didunia ini mungkin dapat kita korbankan. Walau jiwa kita sekali pun, tetapi ada satu yang tidak bisa kita korbankan, yaitu iman dan agama kita.” (Nasaruddin Latif)
Maraknya kasus keretakan rumah tangga di negeri ini seharusnya menjadi perhatian yang cukup serius oleh segenap para pemimpin dan tokoh agama kita saat ini. Belitan problematika dimasyarakat yang semakin mengeras, salah satu bentuknya dapat dilihat dari banyaknya keluarga yang tidak harmonis serta jauh dari tuntunan nilai-nilai agama.
Keluarga yang demikian ini akan melahirkan suatu generasi yang mengalami kekosongan jiwa, hedonistik, frustasi, dan berbagai dampak penyakit sosial (patologi) yang biasa menimpa “keluarga bermasalah”. Dan itu tentu sangat berdampak pada stabilitas pembangunan suatu negara.
Sebagaimana ungkapan pribahasa “kehebatan suatu bangsa dapat dilihat dari kehebatan sebuah keluarga yang bahagia, sebaliknya hancurnya suatu bangsa dapat dilihat pada hancurnya sebuah keluarga yang tidak bahagia”.
Adalah Allahuyarham Angku H.S.M.Nasaruddin Latif, seorang Ulama Masjumi yang sering saya baca kisah mutiara kehidupanya. Tulisan-tulisanya di Majalah Hikmah dan Kiblat sudah saya baca. Pentingnya tulisan-tulisan Angku Nasaruddin Latif bagi perkembangan di dunia pendidikan keluarga (parenting) mengingatkan saya akan tulisan Bapak Mohammad Natsir berjudul “Membangun Basis Dakwah di Keluarga”.
Pentingnya tulisan tersebut membuat Pusat Informasi dan Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun yang saat ini kami bangun bersama-sama para aktifis muda dakwah berikhtiar mengoleksi karya-karya tulisan Angku Nasar, yang banyak beredar di berbagai majalah maupun yang sudah dibukukan. Alhamdulillah berkat izin Allah SWT cita-cita azam itu dapat terlaksana dengan baik.
Ulama kelahiran Minang yang banyak menggeluti dunia konselor pernikahan ini merupakan murid langsung dari Haji Agus Salim (tokoh Nasional), Engku Mudo Abdul Hamid Hakim (Pimpinan Perguruan Sumatera Thawalib), dan Buya Dr.H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul (Ayahanda Buya Hamka). Memang tak banyak generasi Muslim sekarang yang mengenal ulama yang bergelar Haji Sutan Marojo ini.
Dilahirkan pada 18 September 1916 di Sumpur, Padang Panjang ini, telah menekuni bidang yang jarang dan langka diperhatikan oleh para ulama secara profesional yakni penasihat perkawinan. Memang banyak psikolog mitra konsultasi masyarakat dewasa ini, tetapi belum tentu memiliki pemahaman Islam yang mendalam untuk memberikan solusi Islami bagi problem rumah tangga.
Pada tahun 1937, ketika Nsaruddin sudah berusia 21 tahun, ia dibawa orang tuanya merantau ke Jakarta, dulu Batavia. Di kota inilah ibunya mengisi waktu luangnya untuk mencari nafkah dengan membuka kedai nasi masakan Padang di kaki lima di bilangan Sawah Besar.
Nasaruddin di samping sebagai guru agama di sekolah-sekolah HIS dan AMS Muhammadiyah, pada sore dan malam hari membantu ibunya menyiapkan masakan yang akan dijual. Ia lalui kehidupan tersebut dengan kesungguhan dan kesabaran (Man Shabara Dzufira).
Berkat pergaulannya dengan segala lapisan masyarakat, pengetahuan cakrawalanya menjadi luas. Ia mulai bersilaturahmi dan bersahabat dengan beberapa tokoh seperti Ali Hasjmi, Zainal Abidin Ahmad, Mr. Moh. Roem, M. Natsir, Mr. Kasman Singodimedjo, dr.H. Ali Akbar.
Dari persahabatannya inilah ia sempat menjadi pengurus Masjumi Wilayah Jakarta Raya (1951-1956). Di tahun 1946 bersama rekan-rekan seperjuangan seperti H.M. Rasjidi, Sulaiman Rasjid dan Zainal Arifin Datuk merintis berdirinya Kantor Agama di Jakarta, untuk menampung dan membantu memecahkan masalah agama yang timbul dikalangan masyarakat yang baru lepas dari penjajahan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sewaktu menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kotapraja Jakarta Raya, Nasaruddin Latif mengambil inisiatif menggerakkan lahirnya satu organisasi penasihatan perkawinan, yang dianggapnya sebagai dokter, klinik konsultan penolong bagi suami istri yang hubungan perkawinan mereka ditimpa krisis. Beliau begitu prihatin terhadap tingginya angka perceraian yang terjadi di Indonesia, waktu itu rata-rata terjadi antara 1300-1400 kasus per hari, atau 60 sampai 70 %.
Ketika itu Ulama yang bergelar Haji Sutan Marojo ini melukiskan, jika diadakan pemilihan juara mengenai tingginya perceraian di seluruh dunia, Indonesia bila tidak menempati rangking satu, maka mendapat rangking dua. Akibat labilnya perkawinan dan perceraian sewenang-wenang, maka kaum wanita menjanda banyak menderita dan tentu akan berdampak kepada anak-anak terlantar. Sehinga tidak saja merusak sendi-sendi kehidupan, bahkan dapat meruntuhkan akhlak dan kepribadian serta meluasnya kemaksiatan.
Dalam salah satu pidatonya Angku Nasaruddin Latif menegaskan, “Bagi kita di Indonesia, selama kita msih memandang keluarga sebagai suatu unit sosial yang fundamental bagi kehiduan nasional kita, maka ketidakstabilan perkawinan yang ditandai banyaknya perceraian yang terjadi di masyarakat tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Adanya undang-Undang Perkawian sekalipun, belum cukup menjamin 100% keteguhan perkawiann dan keharmonisan keluarga, buktinya di negara-negara lain yang sudah ada UU Perkawinan, misalnya Amerika Serikat, tetapi angka perceraian masih tinggi. Kita harus berusaha dengan segala jalan dan daya upaya yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki keadaan demikian”.
Sejak menjadi pelajar Madrasah Muallimin saya begitu tertarik pada dunia psikologi, bahkan saya seorang yang rajin membaca tulisan Pak Nasar di majalah Kiblat, rubrik yang berjudul “Tanya Jawab dalam Soal-soal Perkawian.
Tulisan ini juga kelak menjadi rujukan untuk saya dalam melakukan pembinaan dakwah dikalangan para remaja. Pada suatu waktu tepatnya ditahun 2004 saya sempat bersilaturahmi dengan Prof. dr. H. Dadang Hawari seorang dokter dan psikiater Universitas Indonesia, bertanya seputar perkembangan masalah yang dihadapi dunia remaja.
Ketika itu juga beliau menyarankan kepada saya untuk banyak membaca buku-buku karya Angku Nasaruddin Latif dan Prof. Zakiah Darajat. Menurut beliau buku ini setidaknya bisa membantu solusi dalam problema dakwah di kalangan muda-mudi.
Kalau seorang ulama meninggal, barangkali masih lebih mudah mencari gantinya. Tetapi kalau yang meninggal seorang ulama yang ahli dalam Konsultan Perkawinan, memang sukar kita mencari penggantinya.
Sebaliknya banyak ulama yang luas ilmunya, tapi tidak mendalami Konsultan Perkawinan. Jadi untuk mencari pengganti Buya Nashruddin Latif memang diperlukan paduan keduanya, pengetahuan agama dan Konsultan Perkawinan.
Inilah sekadar persembahan adab dari seorang generasi muda, yang merasa berhutang budi kepada Angku, karena disamping orang tuaku sendiri, Angku ikut berjasa menanmkan bibit-bibit semangat Tauhid dalam hati nurani saya, Insya Allah akan tetap saya pegang teguh sampai akhir hayat nanti. Semoga amal ibadah almarhum diterima di sisi Allah SWT dan mendapat balasan yang berlipat ganda. Amien.