Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 21 / Terakhir) : Anies Baswedan, Ketua Komite Etik KPK
Sebuah artikel istimewa, hanya ada di Sabili.id. Diurai langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua, berupa pengalamannya menjadi Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kami hidangkan secara berkala untuk Anda pembaca setia Sabili. Ada banyak fakta menarik didalamnya, semula tidak menjadi konsumsi publik. Berikut, seri keduapuluh satu dan merupakan seri terakhir dari kisah beliau. Selamat menikmati.
Sekretaris Ketua KPK, WS, diduga melanggar Kode Etik. Sebab, beliau dinilai telah membocorkan sprindik Anas Urbaningrum. Atas hal itu, Pengawasan Internal (PI) KPK merekomendasikan dua hal. Pertama, Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) harus memeriksa Sekretaris Ketua KPK itu. Kedua, Pimpinan KPK harus membentuk Komite Etik guna memeriksa Ketua (AS) karena diduga turut melanggar Kode Etik.
Rapat Pimpinan (Rapim) segera membentuk Komite Etik (KE). Anies Baswedan ditunjuk sebagai Ketua Komite Etik. Ternyata, saudara Anies Baswedan menunjukkan komitmen dia yang tinggi dalam memberantas korupsi. Hal tersebut ditunjukkan dengan kreativitas dan transparansi dalam mengendalikan Komite Etik KPK tersebut.
Semangat Menangkap Koruptor
Sekretaris Ketua KPK, ketika menjawab pertanyaanku di luar sidang KE, mengatakan, Anas itu sombong sekali. Sebab, katanya, Anas mengatakan, jika dia korupsi satu rupiah, bersedia digantung di Monas.
Itulah sebabnya, begitu ia tahu sudah ada Sprindik Anas, WS langsung membocorkannya ke wartawan. Semangat menangkap koruptor yang menggebu-gebu, mendorong saudara WS membocorkan sprindik tersebut.
“Kan Pak Abdullah juga ‘ngotot’ agar Anas cepat ditangkap,” kata WS balik menyerang diriku.
Pernyataan WS tersebut mengingatkan memoriku pada beberapa tahun sebelumnya, sewaktu kawan-kawan Anas bersilaturrahim ke rumahku. Mereka curhat mengenai tingkah laku Ketum PB HMI tersebut.
Kusarankan mereka agar menasihati Anas supaya tidak berpenampilan hedonis. “Kami sudah beri tahu. Namun, dia bilang, apakah dirinya tidak boleh punya mobil mewah dan rumah besar di Jakarta?” kata salah seorang anak buah Anas waktu itu.
Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 20): Penegakan Etika Tanpa Pandang Bulu
Sejak itu, aku menilai Anas adalah Mantan Ketua Umum PB HMI yang bermasalah. Apalagi, sewaktu menjadi Ketua Komite Etik KPK, di mana kuperiksa Nazaruddin, Wakil Direktur Keuangannya, serta saudara Anas Urbaningrum sendiri. Kusimpulkan, saudara Anas harus dipenjarakan agar menjadi pelajaran bagi para aktivis berikutnya. Bahkan, kepada seorang Penyidik yang baru dilantik, kukatakan, “Saya baru ucapkan selamat ke anda jika Anas ditetapkan sebagai tersangka.”
Pemecatan Sekretaris Ketua KPK
Kupahami niat Sekretaris Ketua KPK yang membocorkan Sprindik Anas ke insan pers itu. Namun, suatu niat yang baik tidak boleh dilaksanakan dengan melanggar SOP yang ada. Oleh karenanya, berdasarkan rekomendasi PI, maka DPP membentuk Majelis Kode Etik guna memeriksa saudara WS.
Majelis Kode Etik dalam sidangnya lantas menemukan alat bukti, bahwa saudara WS melanggar Kode Etik. Olehnya, beliau dipecat tidak dengan hormat dari pegawai KPK.
Anies sebagai Ketua Komite Etik KPK
Tanggal 27 Februari 2013, Komite Etik (KE) KPK jilid 3 memulai rapat pertamanya. Pak Bambang Widjojanto (BW) membisiki aku agar saudara Anies Baswedan dipercayakan sebagai Ketua KE. Alasannya, memberi kesempatan kepada anak muda untuk memimpin proses pemberantasan korupsi. Apalagi, kata Pak BW, aku sudah dua kali menjadi Ketua KE. Saya akur dengan usul Pak BW tersebut.
Komite Etik itu beranggotakan lima orang. Pimpinan KPK berdasarkan SK-nya bertanggal 22 Februari 2013, menetapkan dua orang dari internal KPK dan 3 orang “prominent person” dari luar. “Prominent person” adalah tokoh di masyarakat yang dikenal berintegritas dan punya komitmen kuat dalam memberantas korupsi.
Pak Bambang Widjojanto (BW) dan saya mewakili internal KPK. Eksternal KPK diwakili oleh Pak Tumpak Hatorangan Panggabean (Mantan Pimpinan KPK), Abdul Mukti Fajar (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi), dan Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina).
Anies, Kreativitas dan Inovasinya
Saya dua kali menjadi Ketua Komite Etik KPK. Namun, saya tidak mendatangkan psikolog dalam proses pemeriksaan Pimpinan KPK yang diduga melanggar Kode Etik. Namun, Anies mengusulkan agar didatangkan psikolog untuk memerhatikan bahasa tubuh pimpinan yang diperiksa KE.
Sekretaris Pimpinan KPK menghubungi seorang psikolog dari Universitas Indonesia (UI). Beliau hadir dalam ruangan pemeriksaan sewaktu Ketua KPK (AS) diperiksa. Psikolog itu tidak ikut bicara. Tidak juga mengajukan pertanyaan. Beliau hanya memerhatikan bahasa tubuh AS sewaktu menjawab pertanyaan anggota KE.
Psikolog tersebut baru menyampaikan hasil pengamatannya ke KE setelah terperiksa meninggalkan ruangan pemeriksaan. Informasi psikolog itulah yang dijadikan sebagai salah satu dasar pertimbangan KE untuk menetapkan putusan terhadap terperiksa.
Baca Juga : Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasihat KPK (Bagian 19): Mencetak Malaikat-malaikat Kecil
Satu hal yang pasti, kejadian itu menyadarkan diriku, bahwa Anies adalah seorang tokoh muda yang punya ide, terobosan, kreativitas, dan inovasi dalam penanganan tindak pidana korupsi. Apalagi, Anies adalah rektor pertama di Indonesia yang mengajarkan mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi (PT) swasta. PT Negeri pertama yang mengajarkan mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi (PAK) adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).
Anies dan Transparansi
Saudara Anies mengusulkan agar pembacaan putusan KE disiarkan secara langsung oleh media elektronik, televisi dan radio. Padahal, pengalamanku selama dua kali menjadi Ketua KE, hal tersebut tidak kulakukan.
Ide Anies itu pun dilaksanakan dengan mengundang seluruh stasiun televisi, radio, dan surat kabar ibu kota. Kami, satu per satu anggota KE, membacakan putusan yang sudah disediakan Sekretaris Pimpinan KPK. Bagian terakhir berupa putusan Komite Etik dibacakan langsung oleh saudara Anies Baswedan sebagai Ketua.
Ada dua pelajaran yang diperoleh dalam kasus ini. Pelajaran pertama, Ketua KPK (AS) bersedia dengan ikhlas diperiksa oleh Komite Etik. Bahkan, HP miliknya diserahkan ke KE untuk diperiksa isinya. Padahal, yang membocorkan Sprindik Anas tersebut adalah Sekretarisnya. Bukan dia. Namun, AS menunjukkan ke publik, bahwa sebagai Pimpinan, beliau bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya.
AS memberi pelajaran kepada semua insan KPK, bahwa setiap orang sama kedudukannya di mata hukum. Olehnya, mereka harus siap untuk menghadapi proses hukum ketika hal tersebut diperlukan.
Pelajaran kedua, kutemukan bahwa saudara Anies Baswedan punya komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Sebab, beliau menerapkan inovasi dan transparansi dalam memimpin Komite Etik KPK. Jika pimpinan KPK dewasa ini meneladani komitmen Anis Baswedan dalam pemberantasan korupsi, rasanya lembaga anti rasuah tersebut tidak akan mengalami kondisi paling terpuruk seperti sekarang ini. Semoga!!!
(Depok, 22 Oktober 2023).