Apa yang Kita Wariskan dari Peristiwa G30S PKI kepada Generasi Baru Bangsa?
Gerakan 30 September yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) adalah fakta sejarah yang tak mungkin dibantah. Bahwa ada kontroversi di seputar penyebab, aktor intelektual, situasi politik, hingga dampak dari penumpasan gerakan tersebut, maka kewajiban semua pihak untuk melihat itu semua berbasis data yang benar. Tentu hal ini tidak mudah dan butuh proses.
Sebagai sebuah peristiwa besar, apalagi peristiwa politik, G30S PKI memang rawan ditafsir dalam beragam kepentingan oleh berbagai pihak yang secara politik juga berbeda kepentingan. Ini pula yang membuat fakta sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih saja remang serta mengundang sejumlah kontroversi.
Bagi bangsa Indonesia, tanggal 30 September adalah tetenger, monumen sejarah yang mungkin telah dibangun arcanya di kalender bahkan memori warga negara. Disuruh memperingati atau tidak, perlu nonton film “Pengkhianatan G30S PKI” versi Arifin C. Noer atau tidak, masyarakat Indonesia dari generasi baby boomer, generasi X, Generasi milenial, dan mungkin generasi Z awal, sudah tahu bahwa tanggal 30 September ada tragedi nasional yang bernama G30S PKI.
Namun apa dan bagaimana kesan tiap generasi tersebut terhadap peristiwa G30S PKI? Apakah sama? Dan apakah harus sama? Pertanyaan itu penting, mengingat ada hal yang sesungguhnya ingin kita sampaikan secara terus-menerus kepada generasi Indonesia terkait suatu peristiwa sejarah.
Baca Juga : Trio Pembaharu Islam di Nusantara
Generasi baby boomer, yang lahir di antara tahun 1946 – 1964, pasti memiliki kesan yang lebih dalam. Sebagian dari mereka bahkan telah menjadi pelaku sejarah dalam peristiwa tersebut. Para santri yang merasakan diserbu PKI, melihat para kiai dibunuh PKI, melihat secara langsung pesantrennya diobrak-abrik PKI, adalah sebagian dari generasi ini. Saat terjadi pembersihan sisa-sisa anggota dan simpatisan PKI, generasi ini juga terlibat bentrok dengan barisan muda PKI di kampung-kampung mereka.
Generasi X, anak dari generasi baby boomer, mendapatkan penuturan langsung dari ayah mereka tentang peristiwa G30S PKI. Di sekolah, mereka juga kenyang dicekoki tentang peristiwa ini melalui banyak pelajaran. Bukan hanya dari pelajaran Sejarah dan PMP, tetapi juga muncul pelajaran baru yang mungkin hanya dialami oleh generasi X, yakni Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di era inilah, di mana Orde Baru tampil sebagai pemenang, menuliskan kembali sejarah G30S PKI yang berpusat pada TNI. Kiai dan santri tidak terlihat jejak kontribusinya dalam peristiwa tersebut. Itu semua membentuk cara pandang generasi X terhadap peristiwa G30S PKI.
Lalu apa kesan generasi milenial yang lahir dalam rentang waktu 1981 – 1996? Generasi yang melihat kejatuhan Orde Baru, generasi yang melihat dekonstruksi pemikiran dan doktrin Orde Baru, generasi yang melihat dan mendengar bagaimana korupnya orde ini. Generasi ini bahkan menjadi saksi hilangnya mata pelajaran PMP, diganti menjadi PPKN. Sebagian besar di antara mereka mungkin sudah tidak lagi belajar butir-butir Pancasila dan ikut Penataran P4.
Generasi yang telah melek dengan internet, generasi yang tahu bahwa Supersemar tidak ada naskah aslinya, generasi yang banyak melahap data dari google tentang sejarah G30S PKI dengan beragam versi dan ternoda oleh kepentingan politik penguasa.
Baca Juga : Isa Anshari Sang Singa Podium
Tentu saja kesan mereka tak lagi sama dengan ayahnya, apalagi dengan sang kakek, terkait peristiwa G30S PKI. Mereka telah belajar tentang Hak Azasi Manusia (HAM), mereka membaca lebih banyak dokumen, dan mereka ingin kedamaian senantiasa terpelihara. Rasa humanisme mereka begitu tinggi, meski mungkin relasi sosial mereka tak sehangat generasi X.
Nah, apa kesan generasi Z yang lahir di rentang 1997-2012? Mereka yang semenjak lahir telah akrab dengan gadget. Saban waktu mereka melihat ayah dan bundanya mengelus dan menimang HP. Saat mereka rewel, mereka dikasih mainan di HP dan nonton Youtube. Lahir dan besar dalam realitas internet of things (IoT). Generasi yang tidak terlalu suka membaca, lebih akrab dengan emoticon, lebih ramah dengan teman di HP daripada tetangga sendiri. Apakah mereka mengerti G30S PKI? Cobalah tanyakan langsung.
Sejarah Ditulis oleh Para Pemenang
Satu bukti penting bahwa percakapan tentang G30S PKI itu memiliki ragam kesan antar generasi, setidaknya terlihat dari respon terhadap kebijakan pemerintah yang menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2022; Tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Terbitnya Inpres dan Keppres yang lantas diikuti dengan pengakuan negara atas 12 peristiwa yang masuk kategori pelanggaran HAM berat. Kasus G30S PKI masuk dalam urutan pertama kasus pelanggaran HAM berat yang diakui oleh pemerintah. Fakta yang seakan menegaskan adanya cara pandang baru terhadap kasus tersebut di era pemerintahan ini.
Beberapa kalangan merasa keberatan jika peristiwa G30S PKI masuk dalam peristiwa pelanggaran HAM berat. Anak keturunan para Pahlawan Revolusi, semisal keluarga Jendral A. Yani, cukup vokal menolak pengakuan tersebut. Ulama dan tokoh masyarakat Jawa Timur juga meradang menyikapi masuknya peristiwa G30S PKI dalam kasus pelanggaran HAM berat. Mereka bahkan menuding kebijakan tersebut sebagai ahistoris dan manipulatif.
Namun generasi muda Islam, kaum muda nasionalis dan kaum muda agamis, terlihat tak terlalu hirau dengan masalah tersebut. Hanya tokoh dan ulama sepuh, purnawirawan TNI, dan anak keluarga para Jendral TNI yang gugur dalam peristiwa G30S yang keberatan dengan kebijakan itu.
Akan Terus Berubah-ubah
Peristiwa G30S PKI akan terus ditulis dengan versi yang beragam. Ada kata bijak yang kerap dinisbatkan sebagai perkataan Winston Churchill, “Sejarah ditulis oleh sang pemenang”. Di dalam sejarah perjalanan suatu bangsa, sang pemenang akan datang silih berganti.
Sejarah G30S PKI adalah peristiwa kudeta yang tak sekadar dilatari oleh kepentingan dan intrik politik. Di dalamnya bahkan ada konteks benturan ideologi yang amat keras yang melibatkan banyak kekuatan ideologi semacam Islamisme dan ideologi agama yang lain, nasionalisme, sekulerisme, dan tentu saja komunisme.
Banyak di antara kita yang berkeyakinan bahwa ideologi tak akan pernah mati! Ia hanya perlu beradaptasi. Sehingga, kemungkinan munculnya pemenang baru dalam sejarah dan dinamika politik-ideologi suatu bangsa adalah suatu keniscayaan. Implikasinya, sejarah sangat mungkin untuk ditulis ulang versi pemenang baru.
Baca Juga : Mengapa Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh Berontak Terhadap NKRI?
Kaum muslimin tentu lebih paham soal ini. Allah SWT jauh-jauh hari telah memberikan peringatan dalam surat Ali Imran ayat 140:
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”.
Apa Yang Harus Kita Wariskan?
Peristiwa G30S PKI selamanya tak akan pernah berhenti menyulut kontroversi. Sayangnya, kita justru lupa merumuskan secara tepat apa sesungguhnya yang mesti kita wariskan bagi generasi penerus bangsa terkait peristiwa tersebut. Atau, justru kontroversi itulah satu-satunya warisan yang otentik terkait G30S PKI?
Orde Baru dan penguasa dari kalangan militer mungkin akan mewariskan ‘hantu ketakutan’ pada komunisme dan heroisme tentara pada saat itu. Ataukah dendam yang tak pernah habis kepada anak cucu PKI yang harus kita wariskan?
Pemerintahan sipil, era Joko Widodo mewariskan sudut pandang pentingnya HAM pada peristiwa tersebut. Sayangnya, warisan ini pun masih mengambang. Jika Anggota PKI dan keluarganya adalah korban, lalu siapa yang menjadi aktor pelaku pelanggaran HAM itu? apakah negara? Apakah TNI Angkatan Darat? Apakah ulama dan santri? Lalu bagaimana mengadili mereka?
Apa yang ingin kita wariskan? Pertanyaan ini diharapkan mampu membangun cara pandang baru yang akan menjadikan peristiwa G30S PKI sebagai nutrisi pemahaman, kearifan, dan sikap yang jelas terhadap peristiwa tersebut, agar dapat kita kapitalisasi untuk keutuhan NKRI dan kesatuan kita sebagai sebuah bangsa.
Para tokoh muslim mestinya mewariskan rumusan hikmah dari peristiwa G30S PKI. Misalnya, sampai kapan pun kita akan anti dengan sikap pengingkaran terhadap Tuhan, sampai kapan pun kita akan anti pada komunisme yang kerap menghina kaum agamawan. Dan melawan sampai mati kaum komunis yang coba-coba menggangu agama kita.
Baca Juga : Selamat Jalan Pejuang!
Yang terpenting dari itu semua adalah mewariskan sikap kritis dan berani kepada komunisme. Komunisme memang tidak identik dengan ateisme, tetapi hubungan keduanya dekat; setidaknya sama-sama tak ingin diatur dengan aturan Allah. Hari ini, banyak generasi Islam yang memilih menjadi ateis di banyak negara muslim. Warisan apa yang harus kita tinggalkan agar generasi Islam tak menjadi ateis dan mendekat kepada komunisme?
“...Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS. Al-A’raf: 176)