Apakah Kerajaan Inggris Bertanggung Jawab Atas Palestina?
Raja Inggris yang paling banyak dikaitkan dengan keputusan untuk berbagi tanah Palestina dengan orang-orang Yahudi adalah Raja George V. Ia memerintah dari tahun 1910 hingga 1936. Raja George V merupakan kakek Ratu Elizabeth II (1952-2022) dan buyut Raja Charles III dari keluarga Windsor. Raja George V merupakan sepupu dekat Nicholas II, Tsar terakhir Rusia dari keluarga Romanov, cucu dari Ratu Victoria I. Seluruh anggota keluarga Romanov, termasuk Nicholas II, tewas terbantai oleh Revolusi Bolshevik yang dipimpin oleh Vladimir Lenin pada tahun 1918. Melalui Ratu Victoria, kekeluargaan mereka yang erat sering dicatat dalam diskusi tentang keluarga kerajaan Eropa pada saat itu, terutama tentang bagaimana hubungan antara keluarga kerajaan ini memengaruhi dinamika politik di Eropa menjelang Perang Dunia I.
Pasca Perang Dunia Pertama, Ottoman mengalami kekalahan dan juga mengakibatkan berakhirnya kekuasaan mereka. Selama perang, Kekaisaran Ottoman berpihak pada Kekuatan Sentral (Jerman dan Austria-Hungaria) melawan Sekutu yang meliputi Inggris, Prancis, dan Rusia. Inggris melihat kontrol atas Timur Tengah sebagai sesuatu yang penting secara strategis, dan mereka meluncurkan kampanye militer untuk mengalahkan Ottoman di wilayah tersebut.
Jatuhnya wilayah Palestina ke tangan Kerajaan Inggris dikarenakan adanya Perjanjian Sykes-Picot yang merupakan perjanjian rahasia antara Inggris dan Perancis. Perjanjian ini mengatur pembagian wilayah Timur-Tengah pasca jatuhnya Kekaisaran Ottoman. ”Sykes-Picot” masih menjadi buah bibir untuk diplomasi rahasia dan politik nyata yang brutal yang terkait dengan aspirasi kolonial bagi sejumlah besar orang Arab saat ini. Namun, peta ”Sykes-Picot” tentang Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent) sangat berbeda dalam bentuk awalnya dengan struktur negara kolonial yang didirikan di St Remo (1920) dan secara resmi diakui di Lausanne (1923).
Inggris, yang tentara, sekutu, dan pasukan pendukung kolonialnya telah melakukan banyak pertempuran melawan Ottoman dan yang pasukannya menduduki Suriah dan Mesopotamia pada akhir perang, kini menerima Mosul dan Palestina (sebelumnya masing-masing milik Prancis dan Internasional). Menurut penelitian sejarah baru-baru ini, perubahan wilayah ini dan efek tak terduga yang mereka miliki terhadap hubungan Inggris-Prancis akan memiliki dampak jangka panjang terbesar dalam sejarah wilayah Syam.
Perjanjian Sykes-Picot sering dikritik bersama dengan Korespondensi Husayn-McMahon dan Deklarasi Balfour sebagai janji-janji yang saling bertentangan yang dibuat oleh Inggris kepada Prancis, Arab, dan gerakan Zionis. Orang Arab pada saat itu merasa tersinggung dengan perjanjian tersebut dan telah mengetahuinya melalui publikasi pemerintah Soviet Rusia pada akhir tahun 1917 bersama dengan perjanjian-perjanjian rahasia kekaisaran Rusia lainnya.
Pertama-tama, selama Korespondensi Ḥusayn-McMahon (1915-1916), Inggris sebelumnya telah menjanjikan sejumlah hal yang bertentangan dengan perjanjian rahasia ini kepada Husain bin Ali yang merupakan penguasa di Makkah dan juga pemimpin dari Dinasti Hasyimiyyah. Pada bulan Juni 1916, Ḥusayn telah memimpin orang-orang Arab di Hejaz untuk memberontak melawan Turki, dengan gagasan bahwa mereka akan mendapatkan kemerdekaan pada akhirnya (Sykes-Picot Agreement | Map, History, & Facts | Britannica).
Pada tahun 1917, dengan harapan mencari simpati Yahudi, terutama di Amerika Serikat, agar berpihak kepada kekuatan Sekutu untuk melawan Kekuatan Sentral selama Perang Dunia I serta kepentingan Inggris di Timur Tengah, Menteri Luar Negeri Inggris pada saat itu, Arthur James Balfour, menulis surat kepada Baron Rothschild II, Ketua Komunitas Anglo-Yahudi pada saat itu. Surat tersebut merupakan dasar dari Deklarasi Balfour dan juga pernyataan dukungan Pemerintah Inggris. Makna sebenarnya dari surat tersebut masih dipertanyakan, namun secara keseluruhan, klaim-klaimnya bertentangan dengan Perjanjian Sykes-Picot.
Mengingat posisi monarki yang netral dalam pengambilan keputusan politik, maka tidak bisa dipastikan bahwa Raja George V bertanggung jawab penuh atas keputusan pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri, David George, pada saat itu. Meski pun Raja pasti mengetahui langkah kebijakan yang signifikan tersebut, proses pengambilan keputusan terutama didorong oleh pemerintah terpilih dan bukan oleh raja.
Para pemimpin Zionis di London, Chaim Weizmann dan Nahum Sokolow, gigih dalam upaya mereka untuk merilis Deklarasi Balfour, meskipun tidak memenuhi aspirasi mereka. Mereka menuntut agar Palestina dikonfigurasikan kembali sebagai ”rumah” bagi orang-orang Yahudi.
”Tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina,” menurut deklarasi tersebut.
Namun, dokumen tersebut tidak menyebutkan hak-hak nasional atau politik dari populasi-populasi tersebut dan tidak membuat referensi eksplisit kepada mereka. Tetapi, deklarasi tersebut memberikan harapan besar bagi Zionis dan tampaknya merupakan realisasi dari tujuan Organisasi Zionis Dunia (Balfour Declaration | History & Impact | Britannica).