Api Cinta (Episode 8)
Hari Jumat ini terasa sangat berat. Pikiranku kalut. Hatiku takut. Segala rupa kecemasan menghantui perasaanku. Perbuatan bejatku akhirnya terbongkar. Kurasa, mungkin inilah akhir kehidupan rumah tanggaku yang baru berumur satu tahun.
Tepat jam delapan malam, aku sudah naik mobil travel yang akan mengantarkanku pulang ke Semarang. Ke rumah mertuaku. Hatiku masih disesaki debar kecemasan. Pikiranku sangat kalut. Ingin kubuang semua itu, tetapi bagaimana caranya? Kucoba memejamkan mataku, berharap siapa tahu aku bisa tidur, tetapi tidak, yang ada malah pikiranku semakin kacau, padahal badanku sudah lelah dan ingin segera beristirahat.
"Ya Allah, benarkah keluarga istriku sudah tahu masalahku?"
Berkali-kali pertanyaan itu hadir dalam benakku. Setiap kali muncul, maka setiap kali pula menghadirkan rasa cemas. Beruntung aku duduk di sebelah jendela mobil, sehingga bisa kubuang pandang wajahku ke luar jendela sesering mungkin. Aku tak peduli dengan beberapa penumpang lain di mobil itu. Mungkin juga ada di antara mereka yang memperhatikanku, tetapi aku tak mau tahu.
Kembali aku teringat dengan semua dosaku. Sesalku pun kembali hadir. Membuat hatiku menghangat. Dan tak lama mataku membasah. Kurasakan ada beberapa bulir air mataku yang jatuh. Aku menangisi kebodohan diriku selama ini.
Baca Juga : Api Cinta (Episode 7)
Berkali-kali jatuh ke dalam dosa dan sampai terperangkap dalam dosa yang sangat keji. Ke mana imanku saat itu? Ke mana pula rasa maluku? Mengapa semuanya bisa hilang, padahal aku terbiasa mengaji?
Tetapi kucoba tenangkan diriku. Mengapa aku tidak berbaik sangka saja? Siapa tahu panggilan ke Semarang ini mendadak dan mendesak karena istriku sedang kambuh lagi sakitnya. Ya, siapa tahu..?
Tetapi aneh. Setiap kali kuhadirkan baik sangkaku, tetap saja tak mampu aku mengusir rasa cemasku. Segala rupa pertanyaan semakin bermunculan dalam benakku. Andaikan keluarga istriku akhirnya tahu semua perbuatanku, apa yang akan kukatakan kepada mereka?
Apa respon mereka jika akhirnya aku harus mengakui semua perbuatan bejatku di depan mereka?
Apakah yang akan mereka tuntut dariku?
Segera aku teringat kembali saat aku menghadiri seminar kajian pernikahan. Kala itu, ada bahasan tentang bolehnya membatalkan pernikahan jika ada salah satu dari pasangan suami-istri yang sengaja menipu, atau tidak berniat menipu tetapi akhirnya diketahui memiliki aib atau kekurangan tertentu yang berat. Akankah nasibku....?
"Mas… Bangun mas..."
Aku terbangun ketika lenganku ditepuk oleh seseorang. Rupanya aku tertidur sangat pulas, sehingga memaksa supir menghentikan mobil guna membangunkanku.
"Oh maaf, Pak. Saya ketiduran."
Segera kurespon dia sambil kubetulkan dudukku.
"Dari tadi saya panggil, tapi masnya nggak bangun-bangun, makanya saya berhenti dulu ini."
"Sudah sampai mana ini, Pak?" tanyaku, memastikan.
"Masnya mau turun di Jalan Dawung, kan? Kira-kira masih 10 menitan lagi," jawabnya.
"Baik, Pak. Terima Kasih. Nanti saya turun di Gang Durian I, ya."
Aku tidak tahu berapa lama sudah tertidur di dalam mobil. Kulirik jam tanganku. Ia menunjukkan pukul empat lewat tujuh menit. Berarti beberapa menit yang lalu sudah masuk waktu subuh.
Dari kaca jendela mobil, aku dapat memastikan sudah berada di Jalan Dawung. Suasana lengang karena masih sangat pagi. Hanya ada beberapa kendaraan motor dan mobil yang melintas. Dan tak lama, mobil pun berhenti, tepat di Gang Durian I. Berbegas aku bergeser ke arah pintu. Seraya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pak Supir, aku segera meraih handle pintu. Dan pintu kubuka.
Baca Juga : Api Cinta (Episode 6)
Udara segar pagi hari segera menyergap tubuhku. Segar sekali. Aku bergegas melangkahkan kaki memasuki Gang Durian dengan niat mampir dulu ke Masjid Assalam yang mungkin jaraknya sekitar 200 meter di sebelah kanan gang. Sebisa mungkin aku persiapkan diriku.
Selesai shalat, aku masih belum beranjak dari dudukku. Badan masih terasa lelah. Terlebih hati ini, yang masih menyisakan perasaan cemas. Sebaiknya aku kabari istriku kalau aku sudah sampai Semarang, dan aku mampir dulu ke Masjid Assalam. Kutelepon dia. Tetapi panggilanku tak kunjung diangkat. Kucoba sekali lagi pun tak diangkat.
Akhirnya aku mengirim pesan lewat whatsapp dan sepertinya langsung dibaca oleh istriku, karena kulihat dua tanda centang berwarna biru. Kembali pikiranku bertambah kalut. Mengapa istriku tak mau mengangkat telepon dariku?
Hampir setengah jam aku berada di masjid dari pertama kali sampai di kota ini. Dan sekarang saatnya aku menuju rumah keluarga istriku. Kutenangkan hati dan pikiranku dengan banyak berzikir, menyiapkan segala sesuatu yang memang sudah selayaknya kuhadapi dan kuterima.