Api Cinta (Episode 9)

"Kamu tahu, Ratih sakit apa?"

Itulah kalimat pertama yang mengawali pertemuanku di rumah keluarga istri. Kalimat pertama kudengar langsung dari ibu mertuaku. Aku menangkap kilatan kemarahan dari wajahnya.

Dan dari nada suara yang agak meninggi, cepat, dan spontan itu, aku sudah bisa merasakan adanya kekecewaan dan kekesalan terhadap diriku.

Aku beranikan diri memandang wajah istriku, tetapi ia menunduk sambil menangis. Jelas sekali ia menahan tangisnya dalam senggukan yang terputus-putus. Dan tak lama kemudian, ia bangkit berdiri lalu dengan setengah berlari ia masuk ke kamarnya. Aku makin terpojok.

"Ratih, sini dulu kamu!"

Ibu mertuaku langsung merespon kepergian istriku dengan suara masih agak tinggi.

Baca Juga : Api Cinta (Episode 8)

Ratih tak lagi menggubris panggilan ibunya. Ia tetap masuk kamarnya sambil sedikit berlari. Ia tutup pintu kamarnya, dan secara bersamaan terdengar bunyi pintu dikunci dari dalam.

Kakak perempuannya mencoba untuk bicara. Pelan ia ketuk pintu kamar seraya menyebut nama adiknya. Tetap tak ada sahutan. Ratih sepertinya mematung dalam kesedihan dan kekecewaan yang teramat berat. Ya Allah, semua ini akibat perbuatan bejatku. Aku tak pernah menyangka bisa membuat istriku mengalami goncangan seberat ini.

Dan selanjutnya...

Desakan pertanyaan dari keluarga istriku, terutama ibu mertuaku, tak mungkin lagi aku hindari. Semua menuntut pengakuan yang jujur dariku. Apakah benar aku pernah main perempuan selain istriku, hingga menyebabkan istriku tertular Virus HPV (Human Papillomavirus)!

"Hasil tes laboratorium di rumas sakit, nyeri perut Ratih saat haid adalah karena virus HPV."

Kakak perempuan Ratih memberikan penjelasan, dan langsung saja disambar oleh ibu mertuaku,

"Kata dokter, itu penyakitnya para pelacur dan hidung belang. Dan nggak mungkin itu dari Ratih! Pasti dari kamu, Jimi!... Benar, kan?!"

Aku masih terdiam, belum merespon. Aku tahu tak ada lagi jalan buat mengelak. Hatiku membenarkan. Tinggal bagaimana cara menyampaikannya? Aku sudah ikhlas menerima risiko terburuk apa pun yang akan menimpaku dengan pengakuanku nantinya. Semua harus aku pertanggungjawabkan.

Detik-detik berikutnya.....

Sambil diiringi tangisan sesal dan kecemasan, aku ceritakan semuanya.

Bahwa sebelum menikah dengan Ratih, aku sudah pernah berzina tiga kali. Dua dengan pelacur via online dan satu lagi dengan sales asuransi. Dan setelah itu pikiranku tak bisa tenang sehingga akhirnya kubuat keputusan menikah. Bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatku agar tak lagi jatuh ke dalam dosa zina.

Tetapi ujian datang dengan mutasinya istri ke Solo yang membuatku berpisah dengan istri untuk sementara waktu. Hari-hari tanpa kehadiran istri membuat dorongan biologisku kembali meronta. Dan lagi-lagi aku lepas kendali. Untuk keempat kalinya aku jatuh ke dalam kubang dosa zina dengan seorang pelacur.

"Brengsek kamu, Jimi! Menantu kurang ajar! Pezina! Kamu telah berbuat nista kepada keluarga ini!"

Itulah kata-kata pedas dan sumpah serapah yang terlontar dari mulut ibu mertuaku. Nadanya meninggi, napas yang naik turun dengan sorotan mata yang sangat tajam mengisyaratkan puncak kemurkaan. Aku tak berani menatap matanya. Aku terkulai dalam duduk tunduk sambil menanti nasib.

"Ratih tak bakal lagi mau kamu sentuh. Tak akan dia mau disentuh lelaki najis dan kotor sepertimu!"

"Keluargamu harus tahu dan datang ke sini. Semuanya akan kita bicarakan!"

Baca Juga : Api Cinta (Episode 7)

Tidak ada sedetik setelah ibu mertuaku bicara pedas, ayah mertuaku yang sedari awal tak bicara sepatah kata pun, sekonyong-konyong berdiri seraya mengambil kursi kayu, lalu mengangkatnya dan selanjutnya membanting sekeras-kerasnya di ruang tamu, di hadapan semua yang hadir. Kami semua terhenyak dengan kerasnya suara benturan kursi ke lantai.

"Bajingan, kamu! Kamu merusak masa depan anakku! Kenapa nggak dari awal saja kamu bicara kalau kamu itu pezina! Saya nggak terima punya menantu seorang pezina. Najis dunia akhirat..!"

Sambil tetap dalam keadaan berdiri ayah mertuaku menumpahkan semua amarahnya. Tubuhnya bergetar karena kemarahannya yang memuncak. Kakak perempuan Ratihlah yang kemudian menenangkannya untuk kembali duduk. Tanpa bicara apa pun. Diam menahan emosi. Napasnya pun masih agak tersengal. Juga tak sudi lagi memandang diriku.

Kurasakan tubuhku mulai menggigil ketakutan. Benar, inilah dia kiamat yang terjadi pada hidupku. Aku sudah pasrah. Kutangisi saja nasib burukku akibat kelakuan bejatku.

Dan hari itu juga aku langsung pamit buat pulang ke Malang. Tak ada lagi kehangatan rumah tangga. Tak ada lagi salam dan kata-kata. Tak ada lagi antaran keluarga. Pulang membawa diri layaknya orang yang tak punya lagi martabat dan harga diri. Dan aku sadar memang telah hilang harga diriku.

Dan besok adalah hari-hariku yang makin berat. Aku harus sampaikan kepada ayah dan ibuku sendiri. Aku belum mampu membayangkan bagaimana terpukulnya mereka nanti. Mereka harus datang menemui keluarga istriku dalam keadaan membawa beban berat, menanggung malu atas perbuatanku.