Ayah Legendaris dan Pertanyaan Jelang Ajal

“Apa yang kalian sembah sepeninggalku nanti?” Pertanyaan seorang ayah yang legendaris, diabadikan dalam Al-Qur’an dan menjadi pedoman penting bagi kaum muslimin.

Adalah Nabi Ya'qub 'alaihissalam, tengah dalam fase berat menuju sakaratul-maut. Ia masih dalam kesadaran penuh meski tubuhnya telah tak memiliki daya.

Mata sayu itu menatap anak-anaknya yang sedang terpekur dalam keprihatinan mengelilinginya. Ya'qub as tak cemas dengan maut yang beberapa saat lagi akan menjemput. Ia justru khawatir dengan anak keturunannya yang sebentar lagi akan ia tinggal pergi.

Bukan takut pada kesejahteraan hidup atau cemas apa yang akan dimakan anak-anaknya. Bukan pula kekhawatiran tentang sedikitnya harta benda yang diraih anak cucunya. Bukan, bukan itu semua.

Ia yakin, anak-anaknya akan tumbuh dan memiliki kemampuan untuk hidup sesuai zamannya. Rezeki telah dijanjikan oleh Allah kepada siapa saja yang telah diberi-Nya kehidupan. Akan dibagikan sesuai takaran, daya-upaya, serta tak akan pernah salah alamat. Ya'qub sungguh tidak sedang mencemaskan itu!

Satu hal saja yang mengganggu pikirannya. Apakah anak-anaknya akan tetap beriman kepada Allah SWT sepeninggalnya nanti? Godaan dunia makin berat dan beragam, semakin tua umur dunia, semakin sulit memiliki ketetapan hati untuk tetap beriman kepada Allah 'azza wa jalla.

Ilah, Tuhan-tuhan lain akan berdatangan menggoda dengan segala pesona dan tipu dayanya. Paling berat godaannya tentu saja meng-ilahkan hawa nafsunya sendiri, terus menuntut untuk selalu diperturutkan.

Maka terlontarlah pertanyaan itu: “Maa ta' buduuna mimba’di – Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”. Ujung usia, jelang perpisahan kerap menjadi moment yang dramatis bagi banyak orang. Itu pula yang terjadi dengan Nabi Ya'qub as dan anak-anaknya. Pertanyaannya menjadi pengingat dan wasiat. Sementara jawaban anak-anak telah melegakan hati dan perasaanya sehingga ringan untuk perpisahan panjang itu.

Allah berkenan mengabadikan drama kehidupan yang luar biasa ini dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 133. Agar menjadi penanda bagi manusia yang telah dipusakai dengan kitabullah dan sunnah rasulullah saw. Siapa lagi, kalau bukan kita umat Islam?

اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya'qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya." – QS. Al-Baqarah:133

Peri hidup Nabi Ya'qub As telah mengajarkan kepada kita, bagaimana menjadi ayah yang mulia di sisi Allah SWT. Banyak teori-teori parenting, cara memerankan diri sebagai sosok ayah memang penting, untuk mendukung peran sebagai orang tua yang efektif. Tapi apakah itu cukup untuk mengantarkan anak cucu kita dalam naungan iman dan taqwa kepada Allah?

Memutar ulang drama kehidupan keluarga Ya'qub, mengingatkan kita pada fundamen dasar, bagaimana bilah-bilah kehidupan rumah tangga harus ditegakkan dan diarahkan. Untuk apa memiliki skill parenting, jika malah kehilangan pijakan nilai spiritual pendidikan anak?

Bercermin dari pertanyaan Ya'qub 'alaihissalam, mungkin perlu kita sisipkan pertanyaan pada diri kita masing-masing. Apa sesungguhnya yang paling kita khawatirkan pada anak-anak di masa yang akan datang?

Apakah segelisah Ya'qub 'alaihissalam, khawatir anak-anaknya melupakan Allah? Atau justru lebih banyak gelisah tentang pekerjaan anak-anak dan kekayaan yang bisa mereka kumpulkan setelah kematian kita?

Jika menghadapi sakaratul maut, akan kah kita memberikan wasiat akhir pada anak-anak untuk taat kepada Allah dan Rasulnya? Atau wasiat yang lain? Sesuai teori parenting selama ini. Sulit mengatakan, meski tahu jawabannya. Atau jangan-jangan pertanyaan kita malah menjadi: “Maa ta'kuluuna mim ba’di? – Apa yang engkau makan sepeninggalku nanti?”

Ujung dari kisah antara Ya'qub dan anaknya adalah jawaban yang diberikan oleh anak-anak Nabi Ya'qub alaihissalam. “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.”Komitmen untuk menyembah Allah dan menjadi sosok muslim (berserah diri).

Jawaban kritis di masa yang kritis sebagaimana terjadi pada kisah tersebut hanya mungkin terjadi jika anak telah ditarbiyah sedemikian rupa oleh ayahnya. Diberi keteladanan yang baik, dikenalkan dengan Tuhannya dengan baik pula. Sehingga jawaban yang mereka berikan adalah jawaban yang melegakan sang ayah.

Ya'qub memanen buah manis itu di saat-saat akhir kehidupannya. Anak-anak saleh berkerumun mendoakan untuk melapangkan jalannya menuju kampung keabadian, hasil dari pendidikan keagamaan yang telah ia lakukan semenjak anak-anaknya masih bayi. Bagaimana dengan kita?

Alih-alih memberikan jawaban yang baik dan melegakan di masa kritis. Banyak orang tua gelisah saat mengalami sakaratul maut, ingin menatap wajah anak disaat genting itu, tapi tak ada satupun wajah mereka. Tragis, yang sibuk mentalqin dan membaca Surat Yasin ternyata para tetangga, diupah oleh anak-anaknya. Mereka takut dan tak mengerti untuk menghadapi situasi seperti ini, sehingga sang ayah harus menghadapi sakaratul maut tanpa bimbingan anak-anaknya.

Ilmu yang dimiliki anak-anak dari berbagai sekolah bergengsi dan dibanggakan di hadapan banyak orang, ternyata sia-sia di saat-saat akhir kehidupan kita. Sesal kemudian tiada berguna lagi, nelangsa sepanjang kehidupan.

Alhamdulillah kita masih punya waktu untuk membuka-buka wasiat Ya'qub 'alaihissalam melalui Al-Quran. Segeralah pahami bahwa tujuan terpenting dalam mendidik anak adalah mengajak mereka beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Jika dirasa masih kurang bekal pendidikan tauhid bagi anak-anak kita, mari kita perbanyak lagi. Mulailah dari diri Anda sendiri, mudah-mudahan Allah masih memberikan rahmat-Nya kepada kita untuk memiliki anak keturunan yang mewarisi ajaran iman Kanjeng Nabi Ibrahim As dan Rasulullah SAW.