Bahasa Cinta dari Yang Maha Cinta
Ketika dirimu merasa begitu “jauh”. Ketika hidupmu terasa begitu “kosong”. Ketika shalat-shalat lima waktumu tak bisa khusyuk. Ketika sujud-sujudmu kepada Yang Maha Kasih tak pernah terasa syahdu. Ketika engkau sedang merasa sangat futur. Ketika kenikmatan dalam beribadah tak bisa kau rasakan. Ketika amalan-amalan yaumiyah-mu jadi berantakan. Ketika imanmu sedang jatuh di titik terendah. Dan ketika dirimu sedang “layu” karena cinta-Nya tak mampu menembus hatimu yang kian pekat, ... sempatkah terlintas dalam benakmu, “Apa aku bisa kembali mendekat?”
Begitu banyak nikmat dan kebahagiaan Allah berikan dalam hidupmu yang gemerlap, namun kata syukur sering luput terucap. Kau malah terlarut dalam maksiat. Maksiat yang membuatmu semakin lalai, membuatmu semakin “jauh” dari cahaya-Nya. Kau sadar jika hal itu termasuk maksiat, tetapi kau malah menikmatinya. Kau sadar jika itu dosa, tetapi naifnya kau bahkan tak mampu menahan dirimu agar berhenti melakukannya. Sebab kilau-nya membuatmu buta. Kesenangan yang ia tawarkan kepadamu sungguh memikat. Kebahagiaan semu yang ia suguhkan, menjerat dirimu begitu kuat. Menjebakmu pada sebuah candu yang terasa nikmat.
Meski begitu, jauh di dalam lubuk hatimu, sesungguhnya kau begitu rindu terhadap “cahaya” itu. Rindu kepada dirimu yang dulu. Dirimu yang taat, yang selalu merindukan momen ber-khalwat dengan Yang Maha Cinta. Rindu kepada sujud-sujud panjang yang terasa begitu menenangkan. Rindu rasanya melangitkan untaian doa dan mengadu kepada-Nya di sepertiga malam. Namun, sungguh sulit bagimu untuk bisa terlepas dari maksiat yang terlanjur membelenggu. Ingin hati bisa berhenti, namun raga terus mengkhianati. Kau terjebak dalam kenikmatan dunia yang sesungguhnya hanya sekejap.
Lalu ... di suatu waktu yang tak tentu, mendadak kau dihampiri oleh sebuah kesedihan. Kesedihan yang mungkin alasannya sepele. Atau bahkan tanpa sebab. Awalnya kau bertanya-tanya, “Ada apa denganku? Mengapa tiba-tiba aku merasa sedih?”
Atau tiba-tiba kau merasa — entah mengapa — semua orang mencurangimu dengan sengaja. Semesta seolah berkonspirasi membuatmu rapuh dan terjatuh. Hingga seluruh rasa sedih, marah, kesal, dan lelahmu berpadu utuh.
Baca juga: Hujan: Antara Rahmat, Bencana dan Doa
Tetapi kemudian engkau langsung sadar jika Allah sengaja memberimu kesedihan itu. Kesedihan yang sebenarnya tak seberapa, tetapi terasa sekali jika itu merupakan sebuah teguran dari-Nya.
Imam Fudhail bin lyadh rahimahullah berkata: “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka dia akan memperbanyak kesedihannya, sedangkan jika Dia membenci seorang hamba, maka Dia akan meluaskan dunianya untuk keburukannya.” – Syiar A'lamin Nubala 4/338
Seolah semua itu belum cukup, di waktu yang bersamaan kau juga dibuat kecewa sedalam-dalamnya oleh sesuatu, atau seseorang. Sesuatu yang sedang kau harap-harapkan. Sesuatu yang telah mati-matian kau kejar. Atau seseorang yang sangat kau sayangi. Seseorang yang selama ini selalu kau andalkan dan yang selalu setia menemani. Atau mungkin kau kecewa dengan ekspektasimu sendiri — yang, tanpa kau sadari, terlalu tinggi — terhadap sesuatu atau seseorang tersebut. Tanpa bisa kau cegah, rasa kecewa itu menyusup ke dalam hatimu dan menorehkan luka yang begitu dalam. Hatimu amat sakit karenanya.
Rasa kecewa dan sakit hati itu muncul sangat tiba-tiba. Di dalam benakmu sebelumnya, bahkan tak pernah sedikit pun terlintas jika sesuatu atau seseorang tersebut bisa membuatmu sekecewa itu. Sesakit itu. Sungguh kau ingin marah, tetapi di sisi lain merasa tak berhak. Kau ingin meluapkannya, tetapi entah kepada siapa. Kau ingin membencinya, tetapi itu hanya akan menambah sakit hatimu saja. Kemudian, lagi-lagi, kau pun akhirnya tersadar jika segala kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan sakit hati itu tak lain adalah cara Allah menegurmu.
Sahabat, jika hal seperti itu menghampiri hidupmu, hentikanlah kesedihanmu. Sebab, itu adalah bahasa rindu Allah. Juga tanda bahwa cinta-Nya telah sampai ke hatimu. Allah seolah sedang “memanggilmu” untuk pulang, karena engkau telah tersesat begitu “jauh”. Allah ingin kau mengadukan segalanya hanya kepada-Nya. Ia rindu mendengar rintihan doamu. Ia ingin kau hanya mengandalkan-Nya dan berharap kepada-Nya saja. Allah ingin engkau tahu, bahwa meski seluruh penghuni bumi ini menjahatimu dan membuatmu kecewa, Ia selalu mampu menjadi tempat terbaik untukmu kembali dan menyembuhkan diri. Sebab, ketika Allah rindu kepada hamba-Nya, Ia akan mengirimkan sebuah hadiah istimewa kepadamu, yang isinya adalah ujian. Termasuk ujian perasaan.
Di dalam hadith qudsi, Allah berfirman (kepada Jibril): "Pergilah pada hambaku lalu timpakanlah berbagai ujian padanya karena Aku ingin mendengar rintihannya." – HR. Thabrani dari Abu Umamah
Maka, janganlah kau membuang-buang waktu lagi, Sahabat. Jangan sia-siakan “panggilan” dan kesempatan itu. Tak perlu menunggu sebuah musibah atau ujian yang berat menegurmu. Sebab, teguran-teguran kecil seperti yang di atas saja seharusnya sudah bisa membuatmu sadar. Sadar akan dosa-dosamu. Sadar bahwa sudah seharusnya kau meninggalkan segala hal yang membuatmu semakin lalai. Sadar bahwa sudah saatnya engkau bertaubat dan kembali taat.
Bersujudlah. Bersimpuhlah di hadapan-Nya. Kembali-lah, Sahabat. Allah menyayangimu. Ia tak ingin kau tenggelam lebih dalam lagi di dalam kemaksiatan itu. Allah menyelamatkanmu. Sebab, Ia tak mau kau terus terlarut dalam kubangan dosa yang membuat ibadahmu carut marut. Allah menunggu rintihan doa dan pengaduanmu. Ampunan-Nya menantimu. Sambutlah uluran cinta-Nya. Agar kau kian merasa dekat, dan tak lagi tersesat.
“Ketika Allah memberikan ujian kepadamu, maka bersabarlah. Janganlah engkau larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Karena ketika Allah memberikan ujian itu kepadamu, itu pertanda bahwa Allah telah memilihmu, dan menghendakimu menjadi hamba-Nya yang terbaik. Tidaklah Allah mengujimu, kecuali Allah yakin bahwa kamu mampu menghadapinya.”