Bahasa Rakyat Adalah “Bahasa Beras”

Pemilu 2024 sudah selesai sampai tahap pemungutan suara. Sekarang, KPU sebagai penyelenggara masih dalam tahap perhitungan suara. Proses perhitungan suara masih berlangsung, dengan segala pro dan kontra soal kecurangan.

Ada atau tidaknya kecurangan itu, kami tidak akan membahasnya di sini. Kami lebih tertarik pembahasan soal “tradisi” bagi-bagi beras/sembako atau bagi-bagi duit menjelang Pemilu. Baik dalam aturan Islam maupun aturan negara, bagi-bagi sembako/uang menjelang Pemilu sama-sama dilarang.

Mari kita tinjau dari sisi agama. Di dalam agama, memberikan sesuatu dengan tujuan berharap dipilih untuk mendapat jabatan tertentu masuk dalam kategori tindakan Risywah (suap). Rasulullah saw bersabda,

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Allâh kepada pemberi suap dan penerima suap” – HR. Ahmad

Jika dilaknat Allah, maka tentu saja dilaknat Rasulullah. Sebagaimana riwayat yang lain. Abdullah bin ‘Amr berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
“Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam melaknat pemberi suap dan penerima suap” – HR. Ahmad no.6532

Maka sudah jelas, jika sesuatu itu dilaknat Allah dan Rasul-Nya, maka sesuatu itu dosa besar. Begitu pula suap. Baik pemberi suap atau penerima suap.

Baca juga: Pemimpin seperti Kebanyakan Rakyatnya

Sekarang kita tinjau dari sisi hukum negara. Bagi-bagi sembako dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar Pasal 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 523 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.OOO.OOO,OO (dua puluh empat juta rupiah).

Maka jelas, baik dari sisi agama maupun negara, Money Politic maupun bagi-bagi sembako menjelang pemilu adalah dilarang. Namun, anehnya praktik ini masih terus subur di negeri kita.

Mengapa yang Menerima Mendapat Laknat?

Seperti kata pepatah, “Adanya penjual karena adanya pembeli”, praktik bagi-bagi beras/sembako menjelang Pemilu itu terus subur karena memang sebagian masyarakat menyukainya dan beranggapan “rezeki nggak boleh ditolak”. Ada juga pembenaran dengan prinsip kalimat “ambil duitnya jangan pilih orangnya”. Tentu prinsip ini salah besar dalam pandangan agama. Nabi telah tegaskan, “Pemberi dan penerima mendapat laknat”.

Mengapa yang menerima mendapat laknat? Pertama, karena dengan menerima, ia akan mengajarkan orang yang lainnya untuk menerimanya juga. Lihat saja antreannya. Dengan adanya antrean seperti itu, maka praktik suap akan terlihat LUMRAH. Padahal, biasanya pejabat-pejabat di atas sana kalau mau melakukan suap pasti diam-diam, di belakang layar. Tetapi yang ini jelas-jelas kelihatan. Maka, yang ini jelas adalah perilaku melumrahkan praktik suap.

Kedua, jika berprinsip “ambil duitnya jangan pilih orangnya”, maka si penerima juga telah berbuat licik. ia terima uangnya, tetapi tidak ia laksanakan kemauan si pemberi. Maka dalam tindakan ini ada unsur menipu. sudah ia terima uang haramnya, ia tipu pula pemberinya. Lantas apa bedanya ia dengan si pemberi suap?

Bahasa Rakyat adalah “Bahasa Beras”

Pelajaran penting yang bisa diambil dari fenomena ini adalah, manusia akan selalu terikat hatinya kepada orang yang memberikan sesuatu kepada dirinya. Termasuk “beras”. Bahasa sederhananya, hutang budi. Para pendakwah Islam tidak boleh tutup mata akan hal ini, karena bahkan Islam adalah agama yang paling menekan pemberian (give) misalnya Zakat Mal, Zakat Fitrah, sedekah, bayar Fidyah, Kafarat, dan sebagainya.

Baca juga: Iman di Atas Statistik dan Angka-Angka

Di dalam Al Qur’an sendiri, kata “mendirikan shalat” sering disandingkan dengan “menunaikan zakat”. Sebab, kalau kita lihat konteks, Abu Sufyan (sahabat Nabi) pernah bilang, di zaman Nabi dulu pengikut Nabi rata-rata adalah orang miskin. Maka, untuk menjaga agar tidak terjadi goncangan sosial, wajar kalau Allah dan Rasul-Nya sangat menekankan untuk sedekah.

Di dalam sebuah hadits Shahih, dikatakan bahwa Nabi resah ketika ada sepotong emas di rumahnya, maka beliau sedekahkan emas itu. Beda dengan kita, yang malah resah jika tidak punya harta.

Diriwayatkan lagi bahwa Abu Bakar dan Umar berlomba menyedekahkan hartanya habis-habisan. Ustman juga dikenal sebagai orang kaya dermawan. Bahkan, Ali dalam kekurangan hartanya masih bersedekah.

Bahkan untuk membebaskan seorang Bilal dari perbudakan, Abu Bakar membayar 9 Uqiyah emas (setara 142 juta Rupiah). Jangankan Bilal, Shafwan bin Umayah si anak orang kaya, waktu masih Musyrik pun diberi 100 ekor unta oleh Nabi hasil ghanimah Hunain. Anggaplah 1 unta = 30 juta Rupiah, maka 100 unta = 3 Milyar Rupiah. Untuk anak orang kaya! Dan karena kedermawanan Nabi itu, Shafwan masuk Islam. Sebab, bayangkan, Shafwan dulu pernah memburu Nabi, lalu kini Nabi membalas dengan memberikan 100 ekor unta kepada dia.

Di dalam Islam sendiri bahkan ada zakat untuk mualaf yang sedang “dilunakkan” hatinya, sebagaimana tertera di Al Qur’an surat At-Taubah ayat 60. Jadi jelas, memang manusia sejak dulu, baik yang miskin, yang kaya, akan selalu “lunak” oleh pemberian-pemberian. Hanya para Nabi-lah yang tidak bisa dilunakkan dengan harta dunia.

Kesimpulan

Para pendakwah tidak boleh menutup mata akan hal ini. Terutama di masa-masa sulit ekonomi seperti sekarang. Tentu saja, kalau dalam konteks dakwah, pemberian-pemberian kepada orang miskin bukan termasuk suap, karena beda praktiknya. Dan niatnya tentu adalah Lillahi Ta’ala, menjalankan perintah Allah dan anjuran Nabi. Setelah itu, tujuannya adalah untuk membentengi masyarakat dari kemiskinan agar mereka tidak mudah “dibeli” oleh politisi yang gemar menyuap. Untuk membentengi mereka juga dari pemurtadan, agar jangan sampai ada cerita Iman mereka dibeli dengan sekardus mie instan!

Wallahu a’lam bishowab.