Baliho dan Poster, Cendawan Pemilu di Musim Kampanye
Masa kampanye telah tiba. Pegerakan dinamisnya mampu menepis dingin hujan bulan Desember yang tengah deras-derasnya. Dahulu, aku selalu melihat hubungan antara hujan deras dengan tumbuhnya cendawan. Aku bahkan merasa tahu persis makna pepatah “Bak cendawan tumbuh di musim hujan”.
Lebih dari 20 tahun terjebak dalam hiruk-pikuk dinamika ibukota yang padat; aspal mulus, gedung pencakar langit, trotoar beton. Kulihat tak ada space yang tersisa untuk tumbuhnya jamur, meski hujan turun sepanjang hari, sepanjang bulan. Mungkin ada, tetapi aku tak menjumpainya di lingkungan aktifitasku.
Saat terjebak di halte Trans Jakarta, dalam guyuran hujan yang deras di medio Desember ini, tiba-tiba saja aku teringat kembali hubungan jamur dan hujan. Aku terperangah setengah geli, hujan di musim Pemilu ini ternyata mampu menumbuh suburkan reklame, baliho, poster para Caleg! Ya, banyak. Bak cendawan di musim hujan.
Tak ada kulihat wajah Caleg yang kusam, sedih, atau marah. Semuanya menujukkan wajah gagah dan cantik rupawan. Senyum mengembang menaburkan hangat dan harapan. Mungkin senyum sumringah itu pula yang diam-diam menjalarkan rasa hangat dan menepis dinginnya hujan.
Gambar yang cantik dan gagah. Dengan latar belakang warna-warna partai yang juga serba ngejreng. Jalanan di Jakarta pun terlihat lebih meriah oleh jamur-jamur Pemilu yang beraneka rona.
Eh, boleh kan kita menyebut poster dan baliho alat kampanye itu sebagai jamur Pemilu? Soalnya, jamur tak selalu berkonotasi positif.
Baca juga: Deklarasi Kampanye Damai: Antara Lamis dan Harapan
Di dalam ekosistem, sesungguhnya cendawan atau jamur memiliki tugas yang amat penting dalam menunjang keberlangsungan hidup. Salah satu fungsi penting jamur atau cendawan adalah sebagai dekomposer, yakni melakukan tugas dekomposisi atau pembusukan materi organik di alam, mengurainya menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga dapat digunakan kembali oleh tanaman, hewan, atau organisme hidup yang lainnya. Dari sini, siklus hidup dapat berjalan.
Jika poster dan baliho disebut sebagai jamur Pemilu, mestinya baliho dan poster itu dapat menjadi pengurai yang efektif bagi gagasan-gagasan besar sang Caleg atau Capres, sehingga bisa dikonsumsi oleh masyarakat awam sekali pun. Baliho dan poster harus mampu menyederhanakan idealisme Caleg maupun Capres dalam bahasa, simbol, dan gambar yang mudah dipahami.
Nah, celakanya, banyak pihak yang lupa bahwa baliho dan poster adalah dekomposer gagasan untuk menjadikan Pemilu sebagai proses seleksi anggota legislatif dan pemimpin negara yang bermutu. Banyak yang ambil jalan pintas. Tak memiliki gagasan besar, tetapi ingin terpilih menjadi Caleg. Maka jadilah poster dan baliho sekadar alat untuk unjuk kegagahan fisik dan kemolekan wajah.
Tak ada ide dan gagasan yang disodorkan, menjebak pemilih awam dengan pesona ragawi. Isi gedung DPR bisa bergantung pada kepiawaian desainer grafis dalam memanfaatkan photoshop untuk mengubah wajah yang aslinya biasa-biasa saja, menjadi penuh aura kharismatik bak pemimpin besar.
Jika itu yang terjadi, maka ia bukan jamur yang baik. Bisa jadi, ia menjadi jenis jamur yang lain. Jamur kulit misalnya, yang potensial merusak wajah ibukota.
Hujan reda. Jamur-jamur Pemilu masih basah, nampak makin segar. Bus Trans Jakarta yang aku tunggu telah tiba. Tak ada sedikit pun niat di hatiku untuk memetik jamur-jamur itu. Ia bukan jenis pengurai yang lezat dipepes dan penuh gizi!