Beda Pendapat Guru dan Murid Belajar dari Al-Fatih dan Syaikh Al-Kurani
Penulis: Dr. Hepi Andi Bastoni, MA, MPd.I
Hubungan antara guru dan murid tak selalu mesra. Sangat mungkin ada perselisihan yang terjadi. Tersebab mereka juga manusia. Bisa karena kekhilafan atau memang berbeda haluan. Ini juga yang pernah terjadi antara Muhammad al-Fatih Panglima Perang Turki Utsmani yang berhasil membebaskan Konstantinopel dan gurunya Syaikh Al-Kurani, seorang ulama terkenal pada masanya. Bagaimana kisahnya?
Setelah Sultan Murad wafat dan digantikan putranya Muhammad Al-Fatih, ia menawarkan kepada sang guru yaitu Syaikh Al-Kurani jabatan menteri. Namun Al- Kurani menolak. Setelah ditawarkan kepadanya jabatan Qadhi militer, Al-Kurani menerima. Al-Fatih menginginkan Al-Kurani menjadi Qadhi di Bursa, sebuah kota di Turki yang berada di Benua Asia.
Suatu saat, datanglah surat dari Al-Fatih. Dalam surat itu menurut Al-Kurani, ada perkara yang menyelisihi syariat. Ia tidak setuju. Syaikh Al-Kurani pun merobek surat tersebut. Seketika Al-Fatih kecewa. Ia pun melepaskan jabatan Al-Kurani. Tanpa beban, Syaikh Al-Kurani pergi meninggalkan Turki menuju Kairo, Mesir.
Belakangan, Al-Fatih menyesal dengan tindakannya itu, hingga akhirnya ia meminta kepada Sultan Qitbay, penguasa Mesir, untuk mengirim Al-Kurani kembali ke Turki. Akhirnya, Al-Kurani kembali ke Turki dan menjabat sebagai Qadhi. Bahkan selanjutnya Al-Fatih mengangkatnya sebagi mufti. (Asy-Syaqa`iq An Nu’maniyah, hal. 52, 53).
Lalu pelajaran apa yang bisa dipetik dari kisah ini?
Sikap tegas sang guru.
Syaikh Al-Kurani tidak pandang bulu. Meski Al-Fatih adalah atasannya sekaligus murid, tapi kalau salah tetap disebut salah. Keberaniannya merobek surat Al-Fatih, ini merupakan keberanian yang luar biasa. Tak banyak yang bisa bersikap seperti ini.
Yang tak kalah menarik, ketika diberhentikan, tak ada beban dalam diri Al-Kurani. Ia menerima tanpa ada protes. Baginya, jabatan adalah amanah yang justru akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Sikap jantan sang murid.
Di sisi lain, ketika menyadari bahwa dirinya salah, Al-Fatih dengan sepenuh rendah hati meminta maaf kepada gurunya. Bahkan bukan hanya itu, ia kembali memanggil sang guru dan mengembalikan jabatannya. Ini buah dari ketawadhuan tingkat tinggi. Padahal, kala itu Al-Fatih adalah pemimpin tertinggi bagi Turki Utsmani. Tak sulit baginya mencari pengganti Syaikh Al-Kurani. Tapi Al-Fatih bukanlah ibarat kacang yang lupa dengan kulitnya. Apa pun, Al-Kurani adalah gurunya dan tetap menjadi gurunya, dan tidak ada bekas guru. Selain itu, Al-Kurani adalah ulama yang harus dihormati.
Kisah ini tak hanya menyisipkan keteladanan baiknya hubungan antara guru dan murid tapi juga ulama dan umara’. Jika dalam sebuah negara, bisa terjalin hubungan baik antara ulama dan umara’, kita berharap akan tegaknya kejayaan di wilayah itu. Tentu umara’ tawadhu’ seperti Al-Fatih dan ulama berani sekaliber Al-Kurani.