Bedah Buku di Bogor, Politik Identitas Tidak Seburuk Itu

Politik Masuk Desa. Hal itulah yang terlintas ketika sabili.id menghadiri acara Bedah Buku “Politik Identitas” dan Diskusi Politik yang bertajuk “Spirit Desa Membangun Politik yang Berkeadaban”. Sebab, acaranya berlangsung di Aula Kantor Desa Bantarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu, 14 Oktober 2023. Apalagi, diskusi politik itu menghadirkan pengamat politik Rocky Gerung sebagai panelis.

“Mudah-mudahan kita bisa berani menyatakan yang benar, bukan membenarkan kenyataan,” ujar Rocky Gerung sebagai pembukaan diskusi.

Selain Rocky Gerung, tampil sebagai panelis dalam diskusi itu Eman Sulaeman yang merupakan penulis buku “Politik Identitas” dan Artawijaya (Editor pada penerbit Pustaka Al-Kautsar). Tampil juga Kepala Desa Bantarsari, Lukmanul Hakim, sebagai Keynote Speaker. Dan Hersubeno Arief sebagai host.

Yang menarik, saat itu terungkap bahwa acara itu memang digagas oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Bantarsari. Menurut Kepala Desa Bantarsari, Lukmanul Hakim, tujuan pihaknya menggagas acara itu adalah untuk membuka cakrawala pengetahuan terkait politik bagi warga desa, terkhusus warga Desa Bantarsari. “Kita ingin menghadirkan bahwa hak berkata, hak berdemokrasi, itu dimiliki semua warga. Pilihan boleh beda, tetapi kita adalah satu bangsa,” kata Lukmanul Hakim.

Baca Juga : Resensi: Akar Konflik Politik Islam di Indonesia

Sebagai pembicara, Eman Sulaeman menjelaskan, kini banyak stigma yang berkembang, bahwa politik identitas sebagai pemecah belah bangsa dan menciptakan gap di antara kita. Padahal, politik identitas tidak seburuk itu. Penulis tersebut mengatakan, membuat buku itu dengan tujuan untuk meluruskan bagaimana cara pandang masyarakat yang benar terkait hal ini.

“Politik identitas adalah sesuatu yang melekat, tidak dapat dipisahkan dari masing-masing individu. Ras dan agama tidak mungkin dapat dipisahkan dari diri kita,” katanya.

Eman menjelaskan, sejarah awal mula politik identitas ini terjadi ketika persaingan politik antara ras kulit putih dan hitam tengah berlangsung di Amerika Serikat. Saat itu, mereka yang berkulit hitam merasa berhak mendapatkan hak-hak politiknya. Sebab, toh jumlah mereka tidak sedikit dan masih terhitung penduduk asli Amerika. Tokoh saat itu di antaranya adalah Malcolm X. Kini, bahkan Amerika sebagai Negara Adidaya, selama beberapa tahun terakhir menganggap “Politik Identitas” sebagai suatu hal yang lumrah.

Pun jika kita melihat sejarah kemerdekaan Indonesia. Mayoritas para pahlawan dan tokoh-tokoh kita berlatar kiai dan santri. Bung Tomo dengan pekikan takbirnya, M. Natsir dengan ideologi Islam di ruang rapatnya, dan lain-lain, suatu kalimat yang melekat dengan Islam.

“Indonesia tidak akan merdeka jika tidak ada politik identitas. Tidak mungkin kita bisa merdeka jika tidak ada rasa kebanggaan atas bangsanya sendiri,” ucap Eman.

Secara teoritis, tidak ada yang bertentangan dengan prinsip mana pun, khususnya islam. Seperti teori ibnu khaldun yang menyatakan, ashabiyyah (fanatisme) sebagai faktor pembangun bangsa. Yang menjadi masalah adalah secara praktisnya.

Eman juga menjelaskan, politik identitas akan berjalan dengan baik, jika menerapkan 3 unsur. Yaitu kearifan atas keberagaman, tambahkan dengan prestasi, dan melakukannya secara bijak.

“Insya Allah, jika tiga hal ini dikedepankan, tahun ini politik berkeadaban akan tercapai. Kita mulai dari mana? Dari Desa Bantarsari,” pungkas Eman Sulaeman, disambut tepuk tangan hadirin.