Belajar Mengelola Amanah dari Seorang Budak
Dahulu, ada seorang budak yang ditugaskan tuannya untuk menggembalakan banyak kambing. Saat ia berada di padang rumput, datanglah seorang laki-laki yang kemudian meminta dia menjual seekor kambing kepadanya.
"Wahai penggembala, banyak sekali kambing-kambingmu. Bersediakah kamu menjual seekor kambing di antara kambing-kambing itu kepadaku?" kata laki-laki itu.
Ia menjawab dengan singkat, “Kambing ini bukan milikku, melainkan milik tuanku”.
Laki-laki itu mencoba membujuknya. “Majikanmu tak akan tahu jika kamu menjual seekor kambing kepadaku,” ujarnya.
Ia menatap wajah laki-laki itu. Lalu ia berkata dengan penuh keyakinan, “Benar, tak seorang pun akan tahu. Tetapi di manakah Allah, tuan? Dia selalu melihat apa yang dilakukan makhluk-Nya”.
Mendengar jawaban itu, laki-laki tersebut — yang tak lain adalah Khalifah Umar bin Khattab — terdiam. Matanya berkaca-kaca, kagum pada keteguhan hati seorang budak yang, meski tak memiliki harta, kedudukan, atau kebebasan, tetapi tetap memegang teguh amanah yang dipercayakan kepadanya.
Budak itu tidak tergoda untuk mengambil yang bukan haknya. Ia tahu, kecurangan mungkin bisa lolos dari mata manusia, tetapi tidak akan pernah lepas dari pengawasan Allah.
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua. Terlebih bagi mereka yang memegang jabatan, mengelola harta masyarakat, atau diberi kewenangan untuk membuat keputusan besar. Menjaga amanah memang berat, tetapi mengkhianatinya jauh lebih berat konsekuensinya, baik di dunia dengan kehinaan, maupun di akhirat dengan azab yang pedih.
Namun, saat ini, sungguh sangat memrihatinkan, kasus demi kasus penyelewengan jabatan terus terjadi di negeri ini. Dengan kedudukan yang dimiliki, sebagian orang memanfaatkannya untuk melakukan korupsi, memerkaya diri, dan pada akhirnya merugikan masyarakat. Dari ibu kota hingga ke pelosok daerah, praktik kotor ini seakan menjadi penyakit laten yang sulit diberantas. Semua ini menjadi bukti nyata bahwa amanah yang seharusnya menjadi landasan dalam memimpin dan melayani sering kali dikhianati.
Padahal, amanah bukan sekadar janji atau kontrak di atas kertas. Ia adalah titipan yang akan dimintai pertanggungjawaban. Bukan hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah. Sebab, pada akhirnya, yang akan menjadi saksi bukanlah kamera pengawas atau laporan audit, melainkan catatan amal yang dibawa kelak di hadapan Allah.
Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (An Nisa: 58).