Benarkah Raksasa Media Sosial Membungkam Suara-suara pro-Palestina?
Artikel ini dibuat sebagai dukungan terhadap rakyat Palestina. Hal itu sejalan dengan Pembukaan UUD'45, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Selama 19 hari berturut-turut tanpa henti, Zionis Israel telah menggempur Jalur Gaza. Di sisi lain, wilayah Palestina yang terkepung menghadapi bencana kemanusiaan yang semakin besar. Setidaknya, jumlah korban dari warga Palestina sudah mencapai angka 6.649 tewas dan 19.267 lainnya terluka.
Seiring dengan itu, Zionis Israel bersama sekutunya yang menguasai sebagian besar teknologi informasi berupaya membungkam aksi solidaritas masyarakat internasional pro-Palestina. Pembungkaman tersebut dimulai dengan cara memberikan peringatan dan menghapus konten-konten yang dianggap “mendukung aksi terorisme”, sampai kepada yang paling fatal semisal pembekuan akun secara permanen.
Beberapa pekan lalu, Thomas Maddens, pembuat film dan aktivis yang berbasis di Belgia, merasakan sesuatu hal aneh yang terjadi pada akun medsos-nya. Sebuah video tentang Palestina yang di-posting ke TikTok dengan kata “genosida” seketika berhenti mendapatkan interaksi setelah lonjakan awal.
“Saya pikir saya akan mendapatkan jutaan penayangan,” kata Maddens kepada Al Jazeera. “Tetapi interaksi itu terhenti seketika,” lanjutnya.
Dilansir dari laman Aljazeera.com, Maddens adalah satu dari ratusan pengguna media sosial yang mengatakan platform media sosial terbesar di dunia – Facebook, Instagram, X, YouTube, dan TikTok – menyensor akun atau secara aktif mengurangi jangkauan konten pro-Palestina, sebuah praktik yang dikenal sebagai shadowbanning.
Penulis, aktivis, jurnalis, pembuat film, dan pengguna medsos di seluruh dunia mengatakan, postingan yang berisi tagar semisal “FreePalestine” dan “IStandWithPalestine” serta pesan-pesan yang menyatakan dukungan terhadap warga Palestina yang dibunuh oleh pasukan Zionis Israel, disembunyikan oleh platform tersebut.
Baca Juga : Israel: Negeri Penjajah yang Lahir dari Celengan dan Rengekan
Beberapa pengguna juga menengarai Instagram secara sepihak menghapus postingan yang hanya menyebut Palestina karena melanggar “community guidelines”. Pengguna lainnya mengatakan, Instagram Stories mereka disembunyikan karena berbagi informasi tentang protes mendukung Palestina di Los Angeles dan San Francisco Bay Area. Beberapa lainnya juga dilaporkan mengeluhkan kata “teroris” yang muncul di dekat biografi Instagram mereka.
Di dalam sebuah postingan di platform X hari Ahad (15/10/23), juru bicara Meta, Andy Stone, menyalahkan berkurangnya jangkauan postingan karena adanya bug. “Bug ini memengaruhi akun-akun di seluruh dunia dan tidak ada hubungannya dengan pokok bahasan konten – dan kami memperbaikinya secepat mungkin,” tulis Stone.
Ketika ditanya tentang tuduhan shadowbanning, Stone menunjuk Al Jazeera ke postingan blog yang diterbitkan Meta yang menyoroti upaya terbarunya dalam mengatasi misinformasi terkait perang Israel-Hamas. Postingan tersebut mengatakan, pengguna yang tidak setuju dengan keputusan moderasi perusahaan dapat mengajukan banding.
Meta meminta maaf karena menambahkan kata teroris ke akun pro-Palestina, dengan mengatakan bahwa masalah yang “menyebabkan terjemahan bahasa Arab yang tidak tepat” telah diperbaiki.
Seorang juru bicara TikTok mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perusahaan tersebut “tidak memoderasi atau menghapus konten berdasarkan sensitivitas politik”. Dia juga menambahkan bahwa “konten yang melanggar pedoman komunitas, yang berlaku sama untuk semua konten di TikTok”.
Sementara YouTube dan X tidak menanggapi permintaan komentar Al Jazeera.
Bulan ini, 48 organisasi termasuk 7amleh, Pusat Kemajuan Media Sosial Arab, yang mengadvokasi hak-hak digital masyarakat sipil Palestina dan Arab, mengeluarkan pernyataan yang mendesak perusahaan-perusahaan teknologi untuk menghormati hak-hak digital Palestina selama perang yang sedang berlangsung.
“Kami prihatin mengenai sensor yang signifikan dan tidak proporsional terhadap suara-suara Palestina melalui penghapusan konten dan menyembunyikan hashtag, serta pelanggaran lainnya,” kata 7amleh dalam sebuah pernyataan. “Pembatasan terhadap aktivis, masyarakat sipil, dan pembela hak asasi manusia ini, merupakan ancaman besar terhadap kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi, kebebasan berkumpul, dan partisipasi politik.”
Manajer advokasi 7amleh, Jalal Abukhater, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa organisasi tersebut telah mendokumentasikan 238 kasus sensor pro-Palestina. Sebagian besar di Facebook dan Instagram. Hal ini termasuk penghapusan konten dan pembatasan akun.
“Ada upaya tidak proporsional yang menargetkan konten terkait Palestina,” kata Abukhater kepada Al Jazeera dalam sebuah wawancara. “Sebaliknya, narasi resmi Israel, meskipun sangat kejam, lebih bebas karena Meta menganggapnya berasal dari entitas “resmi”, termasuk militer Israel dan pejabat pemerintah.”