Bencana Kelaparan di Sudan Kian Memburuk, 30 Juta Jiwa Terancam
Pada Selasa (15/4/2025), tepat dua tahun berlalu sejak pecah konflik di antara Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan Militer Sudan. Organisasi kemanusiaan Médecins Sans Frontières (MSF) memeringatkan, konflik antara dua kubu itu mengakibatkan terjadinya bencana kemanusiaan yang semakin parah, berdampak terhadap sekitar 30 juta warga — setara 60% dari total populasi negara tersebut. Hal itu dikatakan MSF dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan pada Senin (7/4/2025).
“Konflik berkepanjangan antara RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan telah berimbas kepada jutaan orang, salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia, di tengah kian memburuknya situasi dan minimnya solusi konkret,” demikian salah satu isi pernyataan resmi MSF tersebut.
Menurut PBB, sekitar 60% dari total 50 juta penduduk Sudan membutuhkan bantuan kemanusiaan segera. Mereka menghadapi krisis kesehatan, bersamaan dengan kondisi kesulitan ekstrem dalam mengakses peralatan medis. Warga sipil menjadi korban kekerasan tanpa pandang bulu, pengungsian massal, kelangkaan makanan, dan kondisi kesehatan yang tumpang tindih.
Sudan di Ambang Kelaparan Total
PBB memeringatkan, terjadi eskalasi bencana kelaparan yang merebak cepat. Sudan menjadi satu-satunya negara yang telah diumumkan secara resmi mengalami bencana kelaparan di beberapa wilayah. Krisis ini dimulai dari kamp pengungsian Zamzam pada Agustus 2024 lalu, dan telah menjalar ke sepuluh daerah lainnya. Sehingga, saat ini sekitar 17 wilayah berada di ambang kelaparan.
Jutaan Pengungsi dan Kolapsnya Sektor Kesehatan
Sejak April 2023, lebih dari 1,7 juta warga telah mengakses layanan medis MSF, dan lebih dari 320.000 pasien dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sementara itu, lebih dari 13 juta orang mengungsi akibat konflik, mayoritas tinggal di kamp-kamp pengungsian yang padat, atau tempat perlindungan sementara, dalam kondisi yang sangat memrihatinkan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memerkirakan lebih dari 70% fasilitas kesehatan di wilayah konflik tidak berfungsi, atau hanya beroperasi secara terbatas. MSF sendiri telah mencatat lebih dari 80 serangan terhadap staf dan fasilitas mereka sejak perang dimulai, termasuk penjarahan klinik, pembakaran obat-obatan, serta intimidasi, penganiayaan, bahkan pembunuhan tenaga kesehatan.
Muhammad Yusuf Ishaq Abdullah dari MSF menggambarkan kondisi Rumah Sakit Tawilah di Darfur Utara pasca penyerangan. “Bangunannya hancur, ranjang-ranjang dijarah, obat-obatan dibakar habis. Dari luar terlihat seperti rumah sakit, tetapi ketika saya masuk, tempat itu sudah menjadi sarang ular dan semak belukar,” tuturnya.
(Sumber: Radio Tamazuj)