“Beres-Beres Kursi” ala Prabowo

Presiden Prabowo Subianto baru saja mengumumkan reshuffle kabinet. Kali ini tidak tanggung-tanggung, lima kursi menteri langsung diganti. Nama-nama yang tersisih bukan tokoh kecil — Sri Mulyani Indrawati, Budi Gunawan, Abdul Kadir Karding, Budi Arie Setiadi, sampai Dito Ariotedjo. Reshuffle ini tentu saja mengejutkan publik dan meninggalkan jejak pertanyaan: Apakah pergantian ini sekadar perbaikan kinerja, atau bagian dari perumusan ulang peta kekuasaan?

Pada 8 September 2025, Presiden Prabowo melakukan reshuffle kabinet yang langsung menyita perhatian publik. Terutama karena pos Menteri Keuangan ikut dirombak. Sosok yang digantikan adalah seorang Sri Mulyani, menteri andalan yang telah mengabdi lintas pemerintahan sejak era SBY hingga Jokowi. Selama ini ia dianggap sebagai simbol kredibilitas ekonomi Indonesia di mata dunia, dikenal disiplin menjaga defisit, dihormati investor, dan kerap menjadi penyeimbang antara ambisi politik dengan realitas fiskal.

Nama Purbaya Yudhi Sadewa, pengganti Sri Mulyani, mungkin belum familiar buat sebagian orang. Ia memang bukan orang baru di dunia ekonomi. Ia pernah memimpin LPS, lama berkecimpung di pasar modal, dan berkarir akademik di luar negeri. Yang menarik, Purbaya dikenal dekat dengan Luhut Binsar Pandjaitan yang sekarang juga masih berada di lingkaran istana. Bahkan, Purbaya diketahui sudah menjadi bawahan Luhut sejak 2014. Lantas, apakah hal ini menjadi simbol pergantian tersebut demi arah ekonomi yang lebih baik atau siapa yang duduk di sebelah siapa saat makan siang?

Selain Sri Mulyani, Abdul Kadir Karding termasuk nama yang ikut tergeser dalam reshuffle. Publik baru saja dihebohkan dengan foto viral dia terekam tengah bermain domino bersama Raja Juli Antoni dan Aziz Wellang. Aziz Wellang adalah sosok yang belakangan disebut terjerat kasus pembalakan liar. Abdul Kadir Karding akhirnya menyerahkan jabatannya sebagai Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) dan digantikan oleh Mukhtarudin, politisi dari Golkar yang sebelumnya duduk di DPR.

Sudah Sejauh Mana Nasib Tuntutan Rakyat “17+8”?
Di dalam Islam, jabatan publik adalah amanah. Harta rakyat adalah amanah. Dan pemimpin yang justru memerkaya diri dengan fasilitas berlebih berarti telah mengkhianati amanah. Al Qur’an menegaskan, amanah harus disampaikan kepada yang berhak dan diputuskan dengan adil.

Membaca reshuffle memang terlalu dangkal jika hanya dari potret domino. Karding memang sudah lama berada di posisi sulit dalam partainya sendiri. Ia adalah kader PKB, tetapi tidak pernah benar-benar satu barisan dengan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar. Di dalam bahasa sederhana: Karding bukan orangnya Cak Imin. 

Ketegangan dalam partai memang kerap tersalurkan lewat reshuffle. Tetapi, lebih proporsional untuk tidak mengklaim reshuffle ini hanya soal faksi semata. Kita memang tidak bisa menyimpulkan bahwa reshuffle ini semata-mata didasari oleh ketidakloyalan terhadap Cak Imin, karena terlalu dini. Tentu ada elemen politik internal, tetapi juga faktor profesionalisme hingga konteks diplomasi dan citra publik. Sokongan atau loyalitas partai memainkan peran, tetapi bukan satu-satunya faktor.

Selanjutnya Budi Arie Setiadi. Ketua Projo dan simbol relawan Jokowi itu resmi tersapu dari kabinet. Kursinya di Kementerian Koperasi kini diisi oleh Ferry Juliantono, politisi Gerindra yang sebelumnya duduk sebagai wakil menteri. Tentu alasan resmi yang dipakai selalu soal penyegaran dan kinerja. Tetapi sulit mengabaikan dimensi politik di baliknya. Budi Arie adalah representasi satu dekade relawan Jokowi. Digantinya ia dengan kader Gerindra jelas dibaca publik sebagai pergeseran peta demi mesin baru.

Terlebih, nama Budi Arie belakangan juga santer disebut dalam pusaran isu mafia judi online (judol), isu sensitif yang belakangan menjadi perhatian publik dan aparat. Sebelumnya, sebagai Menteri Kominfo, Budi Arie berulang kali menyatakan perang terhadap situs dan aplikasi judi online. Namun ironisnya, justru di masa kepemimpinan dia, praktik judi online kian masif dan bahkan merambah ke ruang-ruang digital resmi. Kritik tajam datang bukan hanya dari DPR, tetapi juga dari lembaga-lembaga keagamaan yang menilai pemerintah abai. Ketika kemudian muncul laporan investigatif yang menyeret nama sejumlah pejabat, Budi Arie pun ikut terseret dalam opini publik, meski ia berulang kali membantah tudingan keterlibatan. Fakta bahwa reshuffle ini terjadi di tengah menguatnya isu judol membuat posisinya makin sulit dibela, apalagi isu tersebut menyangkut moral publik sekaligus ekonomi rakyat kecil yang banyak menjadi korban.

Dengan begitu, lengsernya Budi Arie tak hanya dibaca sebagai pergeseran politik belaka, tetapi juga sebagai upaya Prabowo meredam sentimen negatif masyarakat terhadap praktik mafia digital yang kian merusak. Dan di titik inilah publik bisa melihat bahwa reshuffle kali ini tidak bisa dibaca dengan kacamata tunggal. Ada dimensi politik, ada dimensi ekonomi, ada pula dimensi moral, yang semuanya saling bertautan.

Memang, terlalu sempit kalau reshuffle ini dilihat semata sebagai “pembersihan orang Jokowi”. Mungkin saja ada gabungan motif simbolik, politis, pragmatis, dan semua itu wajar untuk dibedah lebih lanjut oleh pengamat politik.

Publik pun sah-sah saja menilai apakah wajah baru ini akan membawa perbaikan nyata bagi rakyat, atau hanya sebatas “beres-beres kursi ala Presiden Prabowo”. Sebab, raja selalu memastikan bidaknya tidak salah tempat di papan catur kekuasaan.