Berkedok Lestarikan Budaya, Presiden Tajikistan Ingin Hapus Islam di Negaranya?
Baru-baru ini, Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon, menyetujui aturan kontroversial yang melarang pemakaian hijab di negaranya. Rabu (19/6/2024), dia mengklaim bahwa aturan itu bertujuan melindungi nilai-nilai budaya nasional Tajikistan. Alasannya bahwa berhijab bukan bagian dari budaya mereka dan harus ditinggalkan.
Langkah tersebut jelas melanggar kebebasan beragama. Presiden dari negara pecahan Uni Soviet yang mayoritas penduduknya Muslim hingga mencapai 96% dari populasi ini, tampaknya ingin menjadikan Tajikistan negara sekuler serta membawa nilai-nilai komunisme Soviet dalam pemerintahannya dengan kedok melestarikan budaya.
Surat kabar Inggris The Independent melaporkan, pada awal tahun 2016, polisi di Tajikistan mencukur paksa janggut 13.000 pria. Mereka juga memaksa lebih dari seribu perempuan untuk melepas jilbab.
Lalu siapa sebenarnya Emomali Rahmon? Tahun 1991 Tajikistan baru saja merdeka dari Uni Soviet. Tokoh komunis, Rahmon Nabiyev, menjadi presiden pertama Tajikistan setelah memenangi 57% suara dalam pemilu langsung pertama negara tersebut. Meski saat itu telah merdeka, Tajikistan masih jauh dari stabil, dengan banyaknya pemberontakan dan demonstrasi di berbagai tempat.
Pada tahun 1992, terjadi demonstrasi anti-pemerintah di Ibu Kota Dushanbe. Demonstrasi itu lantas berubah menjadi perang sipil antara pasukan pemerintah, kelompok Islam, serta kelompok pro-demokrasi. Perang sipil itu menewaskan hingga 20.000 orang dan memperburuk kondisi ekonomi Tajikistan yang baru merdeka.
Baca juga: Konflik Berdarah, Sudan di Ambang Krisis Pangan Terparah dalam 20 Tahun Terakhir
Kondisi ini memaksa presiden Nabiyev mundur dari jabatannya pada September 1992. Saat itu, jabatan presiden ditiadakan, sehingga ketua parlemen Tajikistan yang saat itu diduduki oleh Emomali Rahmon otomatis menjadi kepala negara de facto.
Pada akhirnya, Rahmon berhasil meredam demonstrasi, lalu membuat amandemen konstitusi yang menjadikan dia dapat terus mencalonkan diri sebagai presiden dan tetap berkuasa. Hingga saat ini.
Sejak Rahmon menjabat, banyak kebijakannya yang dianggap bertentangan dengan keinginan rakyatnya. Ia dikenal sebagai presiden yang anti-Islam karena sering mengeluarkan aturan yang membatasi umat Islam di negara tersebut. Misalnya, melarang pria berjenggot, menghilangkan tanggal hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dari kalender, melarang wanita memakai hijab, hingga melarang penggunaan nama berbau Arab.
Pada akhirnya, jika aturan ini tetap dijalankan, yaitu pembatasan terhadap masyarakat dalam menjalankan ibadah keagamaannya, terutama bagi umat Islam sebagai mayoritas, maka hal ini dapat menjerumuskan negara itu ke dalam konflik. Dan hal itu berdampak buruk bagi banyak masyarakat di sana.