Biaya Pendidikan dan Faktor Kehadiran Negara

Sudah menjadi komitmen bahwa sejarah peradaban dunia, terutama kedudukan lembaga pendidikan, sangatlah strategis dan menentukan. Di negara-negara maju semisal Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang, hal itu pun terlihat. Amerika Serikat dengan tokohnya Thomas Jefferson, Jerman dengan tokohnya Otto Von Bismark, dan Jepang dengan Tenno Meiji-nya.

Ketiga negara tersebut telah menetapkan pendidikan sebagai landasan pembangunan bangsa. Negara-negara maju itu umumnya berpegang pada paradigma “To Build Nation Build School”.

Di dalam pembukaan UUD 1945, jelas tertera bahwa tujuan pendirian negara adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. MPR RI lantas berupaya mempertegas makna yang terkandung dalam Pasal 31 UUD 1945 dengan mengamandemen menjadi 5 ayat. Salah satu isinya adalah, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Di sisi lain, diketahui bahwa pendidikan – sejak dulu sampai kini dan esok – memang membutuhkan biaya besar. Pada era orde baru, biaya pendidikan mahal, tetapi sebagian besar ditanggung oleh negara. Orang tua atau masyarakat juga ikut membiayai, tetapi sifatnya bantuan. Waktu itu dikenal dengan istilah sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).

Sebagai ilustrasi, waktu penulis masuk perguruan tahun 1985, SPP/UKT-nya Rp 42.000, tetapi negara (pemerintah Orde Baru) menanggung biaya pendidikan (termasuk mahasiswa kedokteran dan teknik) sejumlah 1,5 juta Rupiah per tahun atau Rp 750.000 per semester per mahasiswa. Artinya, waktu itu pendidikan di Indonesia, sekali pun mahal tetapi bisa diakses oleh masyarakat/mahasiswa. Sebab, peranan pemerintah/negara cukup signifikan dalam pendidikan.

Baca juga: Kemelut UKT: Menuju Indonesia Emas atau Lemas?

Namun, pada era sekarang, biaya pendidikan tetap tinggi dan semakin sulit dan berat diakses oleh masyarakat/mahasiswa. Sebab, pemerintah/negara kurang/tidak hadir. Dengan kata lain, pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah/negara, tetapi tanggung jawab itu dilimpahkan kepada orang tua/masyarakat. Sebagaimana yang dirasakan di era sekarang ini.

Pertanyaannya, mengapa di era Orde Baru pemerintah/negara bisa hadir dalam pendidikan (mampu menanggung biaya pendidikan, sesuai dengan konstitusi), sehingga bisa meringankan beban orang tua? Dan mengapa di era sekarang negara/pemerintah tidak/kurang hadir dalam pendidikan sehingga pendidikan menjadi beban orang tua? Karena perhatian pemerintah tereksploitasi dalam politik praktis.

Sebagai gambaran, diketahui bahwa umumnya Bupati/Walikota itu gajinya 6,5 juta Rupiah per bulan. Ditambah tunjangan resmi sekitar 50 juta Rupiah per bulan. Jadi, jika dihitung dalam 5 tahun, total sekitar 3 miliar Rupiah. Padahal, untuk menjadi Bupati/Walikota, mereka umumnya mengeluarkan dana sampai 40 miliar Rupiah lebih. Makanya, ada selisih hingga sekitar 37 miliar Rupiah.

Artinya, dana tersebut yang mestinya dialokasikan untuk pendidikan, sekarang dialokasikan untuk politik praktis. Ini baru gambaran 1 kabupaten. Padahal jumlah kabupaten/kota di Indonesia sekitar 514, belum terhitung pilpres dalam kasus 427,6 triliun Rupiah. Highcost biaya politics. Ini tentunya berpengaruh pada biaya pendidikan seperti yang digambarkan di atas.

Jadi, pendidikan itu sangat terkait dengan komitmen pemerintah terhadap konstitusinya (pendidikan). Semakin tinggi komitmen pemerintah terhadap konstitusinya, akan semakin meringankan beban masyarakat/orang tua dalam pendidikan. Sebaliknya, semakin lemah komitmen pemerintah terhadap konstitusinya akan semakin memberatkan orang dalam pendidikan.

Ada suatu paradoksal. Masyarakat yang punya pendidikan berkualitas, digunakan oleh pemerintah pemikiran, waktu, dan tenaganya. Maka, sudah seharusnya jika yang menanggung adalah pemerintah, bukan rakyatnya.

Wallahu a'lam.