Biennale Seni Islam Pertama Kali Diadakan di Jeddah Arab Saudi

Jeddah — Arab Saudi telah membuat sejarah baru bulan lalu dengan menggelar Biennale Seni Islam untuk pertama kalinya. Seniman, kolektor, spesialis seni terkemuka dari Timur Tengah dan dunia seni internasional berkumpul di bawah kanopi yang luas bagian Barat Terminal Haji - Bandara Internasional King Abdulaziz untuk peresmian — tempat yang sama dengan para jema'ah haji yang datang dari seluruh dunia.

Dilansir dari situs resminya Biennale Seni Islam, pameran berlangsung mulai dari tanggal 23 Januari 2023 sampai dengan 23 April 2023, dengan menampilkan lebih dari 280 karya benda sejarah Islam, termasuk 239 dari Arab Saudi dan 15 yang belum pernah dipamerkan sebelumnya, dalam ruang seluas 80.000 meter persegi bersama dengan 60 karya seni kontemporer baru yang dikaryakan oleh 42 seniman dan kolektor internasional, 18 di antaranya berasal dari Arab Saudi. Pameran ini membawa kembali seni Islam ke tempat kelahiran Islam. Pementasannya di Jeddah, dekat Mekkah, juga identik dengan temanya, “Awwal Bait,” yang berarti “rumah pertama” dalam bahasa Arab. Tema tersebut membangkitkan kesatuan simbolis Ka’bah Suci, bangunan di tengah Masjid al-Haram di Mekkah.

Summaya Vally, seorang arsitek Afrika Selatan sekaligus direktur artistik biennale, mengatur pameran bersama sejumlah spesialis, termasuk cendekiawan dan arkeolog Saudi terkemuka Saad Alrashid; Omniya Abdel Barr, seorang arsitek Mesir dan Barakat Trust Fellow dan Julian Raby, direktur emeritus National Museum of Asian Art di Smithsonian Institution di Washington.

Biennale Seni Islam adalah sejarah dalam banyak hal.

“Ini adalah rumah sementara, pengaturan serta penataan ruang yang sama sekali baru dalam konteks perjalanan umat Muslim, untuk mengundang seniman dan penonton untuk merenungkan ritual, yang sakral, pribadi dan komunal,” kata Vally.

Dia menekankan bagaimana seni Islam jarang ditampilkan di platform global seperti ini. Pameran besar terakhir seni Islam diadakan pada tahun 1976 di London. Biennale Seni Islam, katanya, menyoroti seni dan budaya Islam dari “perspektif Muslim merupakan bagian dari dunia kita.”

Simbolik dari dorongan budaya Arab Saudi.

Diselenggarakan oleh Diriyah Biennale Foundation (DBF), sebuah lembaga yang didirikan pada tahun 2020 oleh Kementerian Kebudayaan Saudi untuk menyelenggarakan seni biennale yang pertama di Arab Saudi, Islamic Arts Biennale merupakan biennale kali kedua yang diselenggarakan oleh DBF. Pameran pertama adalah Seni Kontemporer Diriyah Biennale yang dibuka pada Desember 2021 di distrik JAX Riyadh, kedua biennale tersebut merupakan terobosan bagi kerajaan Arab Saudi. Sebelum 2016, tahun ketika Putra Mahkota dan Perdana Menteri Mohammed bin Salman mengumumkan agenda reformasinya yang ambisius untuk mendiversifikasi ekonomi, yaitu menghentikan ketergantungannya pada minyak dan mendorong apa yang disebut sebagai ekonomi kreatif untuk kerajaan.

Pada November 2021, Kementerian Kebudayaan Arab Saudi mengumumkan lebih dari 100 acara dan inisiatif budaya yang dipimpin oleh 25 organisasi budaya baru telah diselenggarakan sebelum akhir tahun. Tahun 2022 lebih lanjut mencontohkan langkah berbahaya dari misi budaya kerajaan, dengan pengumuman museum dan pusat budaya baru seperti Fenaa Alawwal, yang dibuka pada Desember 2022 di Riyadh di bekas markas besar bank komersial pertama Arab Saudi.

Islamic Arts Biennale di Bandara Internasional King Abdulaziz, Jeddah, Arab Saudi. (Foto oleh Marco Cappelletti, Courtesy of OMA)

Selain itu, Biennale Seni Islam seperti acara seni lainnya yang dipentaskan di kerajaan, sebagian besar berfokus pada penggabungan dan peringatan budaya lokal Saudi dalam kerangka kontemporer. Dalam hal ini, Islam menyatu dengan budaya dan warisan Saudi menjadi faktor pemersatu sepanjang pameran.

“Misi Diriyah Biennale Foundation menyelenggarakan Islamic Arts Biennale pertama adalah untuk merayakan sekaligus memperkaya pertukaran budaya dan seni antara Arab Saudi, tempat kelahiran Islam, dan komunitas dari seluruh dunia,” kata direktur Islamic Arts Biennale Farida Alhusseini.

Tujuan dari biennale, tambahnya, adalah untuk melampaui tampilan seni Islam dan artefak untuk menekankan dialog lintas budaya antara Arab Saudi dan seluruh dunia, sebuah misi kerajaan di bawah Visi 2030 yang menyatakan bahwa budaya adalah “sangat diperlukan untuk kualitas hidup kita.”

“Biennale lebih dari sekedar pameran sederhana untuk benda-benda mati dari negeri yang jauh serta abad yang jauh dan menghadirkan peluang kunci untuk memperluas pemahaman budaya, menginspirasi perspektif baru, menetapkan tren dan memulai percakapan seputar seni Islam melalui beragam seni kontemporer dan karya yang bersejarah, banyak hal yang dasarnya berasal dari Arab Saudi,” tambah Alhusseini.

Universalitas Islam

Kekuatan biennale terletak pada kekayaan karya seni yang ditampilkan, penjajaran unik antara artefak Islam tradisional dan kontemporer, penggabungan keduanya dengan arsitektur Terminal Haji di Bandara Internasional King Abdulaziz — di mana keduanya merupakan desain tenda dari kain fiberglass tahun 1980-an yang digantung dari tiang baja oleh studio Skidmore Amerika. Owings & Merrill yang memenangkan Penghargaan Aga Khan untuk bidang Arsitektur pada tahun 1983, dan desain oleh studio Arsitektur OMA. Bagian terakhir menciptakan ruang yang sesuai dengan konsep pameran, pengunjung dapat merasakan pengalaman di kegelapan sambil menuju ke cahaya sambil tetap fokus pada karya seni melalui desain yang membangkitkan rasa keheningan dan keintiman meditatif.

Pameran yang diorientasikan ke arah kiblat, atau arah hadap umat Islam saat melakukan shalat, terbentang melalui rangkaian empat ruang galeri dan dua paviliun eksterior yang mengggambarkan perjalanan umat Islam.

Salah satu karya yang paling menarik perhatian adalah “Epiphamanis: The First Light” karya Nora Alissa dari Saudi, yang menampilkan serangkaian gambar yang diproyeksikan hitam dan putih di galeri pertama para jama'ah di sekitar Ka'bah yang diambil sang seniman dari bawah abayanya.

“Saya hanya bisa berharap kekuatan emosi yang muncul dari interaksi antara ruang dan manusia melalui pelaksanaan ibadah umrah dan ziyarat dapat terhubung dengan pengunjung melalui gambar-gambar ini, kesakralan dan mistisisme yang kuat yang diwujudkan oleh struktur Ka'bah dan bagaimana struktur ini dikelola. sepanjang waktu untuk memainkan peran sebagai pemersatu bagi orang-orang dari negeri yang jauh,” kata Alissa.

Dekat karya seni tersebut di bagian pertama yang diselimuti pencahayaan redup, terdapat artefak Islam langka termasuk astrolabe abad ke-17, Al Qur'an, penutup Makam Nabi, dan Kiswah, yaitu kain bersulam rumit yang digunakan untuk menutupi Ka'bah.

Di ruang yang berdekatan ada "Wave Catcher" karya seniman Saudi Basmah Felemban, sebuah karya yang sama-sama menarik perhatian dan transenden yang terinspirasi dari adzan atau panggilan waktu shalat.

“Proses pemikiran saya dimulai bertahun-tahun yang lalu ketika saya mulai menyelidiki sejarah keluarga saya sebagai pemandu ibadah haji, terutama untuk memandu jama'ah haji yang berasal dari Indonesia, pekerjaan khusus ini menelusuri kembali perjalanan rute perdagangan air melalui Arab timur, Afrika Timur, Yaman, dan pesisir Asia Selatan (Pakistan, India, dan Bangladesh),” kata Felemban.

Felemban kemudian mengumpulkan suara adzan dari pantai 22 negara sekaligus mengumpulkan data dari setiap kalimat dari setiap adzan mengenai frekuensi, nafas dan melodinya — komponen penting dari maqam, atau posisi setiap adzan.

Pengunjung Islamic Arts Biennale di Bandara Internasional King Abdulaziz, Jeddah, Arab Saudi. (Foto oleh Marco Cappelletti, Courtesy of OMA)

Instalasi yang menjuntai dari langit-langit dalam rangkaian bulatan kayu dengan berbagai ukuran ini memberikan ekspresi materi seperti panggilan shalat (adzan).

“Meditasi adalah inti dari pekerjaan. Saya pikir hidup dan tumbuh besar di Arab Saudi, sahutan tentang pengeras suara di masjid-masjid dan terbiasa mendengar suara adzan lima kali sehari bisa dengan mudah menjadi sesuatu yang Anda biasakan, dan letakkan di latar belakang,” tambahnya.

“Saya ingin karya ini juga menjadi pengalaman pribadi dan ajakan untuk mendengarkan dengan cermat, bahkan suara yang Anda dengar setiap hari dan Anda mungkin meremehkan keindahan lantunannya, dan sebenarnya apa simbolismenya dalam perbedaannya berdasarkan pada bagaimana setiap budaya dapat menyanyi dan menyuarakan melodinya.”

Kualitas yang mencerahkan secara intelektual dari Islamic Arts Biennale pertama ini terungkap dalam kolaborasi yang cermat antara karya seni Islam masa lalu dan sekarang, yang menyatu dalam pengaturan serta penataan arsitektur yang dibuat dengan hati-hati di mana semua elemen yang bekerja bersama untuk mencapai satu tujuan, pesan universal budaya Islam dan warisan. Seniman kontemporer yang berpartisipasi berasal dari seluruh penjuru dunia, termasuk Aljazair, Iran, Bahrain, Bangladesh, Mesir, Yordania, Kuwait, Maroko, Palestina, Arab Saudi, Afrika Selatan, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.

Karya seni kontemporer yang baru dipamerkan pada bagian eksterior, disebut sebagai "Di Bawah Kanopi: Hijrah (Migrasi)," adalah area yang secara harfiah dan metaforis menunjukkan cahaya paling mirip dengan kebangkitan atau semacam transendensi. Selain mencerminkan perjalanan Muslim melalui karya seninya, bagian ini juga mengeksplorasi warisan budaya Saudi dan sejarah Terminal Haji bagian Barat - Bandara Internasional King Abdulaziz.

Seri fotografi hitam putih karya seniman Saudi Reem Al Faisal “The Moment of Arrival” (1994-2023) memamerkan momen-momen penting dalam sejarah Terminal dan multikulturalisme jamaah Islam. Gambar-gambar pedih menangkap jemaah haji dari seluruh dunia yang tiba melalui laut, darat, dan udara di Terminal Haji bagian Barat - Bandara Internasional King Abdulaziz di Jeddah.

Faisal menggambarkan saat-saat kegembiraan mereka tiba dan memulai perjalanan haji. Saat pengunjung terpaku pada gambar Faisal, pesawat terus melaju lepas landas. Mengenakan jubah putih terang (baju ihrom) yang dimaksudkan agar semua orang tampak sama, orang-orang yang tergambar oleh Faisal seakan tampak hadir dari pengunjung baik itu Muslim maupun non-Muslim, terasa sesaat dibawa melalui pameran ke dalam komunitas suci yang melakukan ritus utama Islam.