Bila Perjanjian Dikhianati
Kalimat dibawah adalah bunyi perjanjian antara Rasulullah saw dengan orang-orang Quraisy. Perjanjian itu dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah, mengambil nama tempat perjanjian itu ditandatangani.
“Ini adalah perjanjian damai antara Muhammad bin Abdillah dengan Suhail bin Amru. Berjanji untuk menghentikan perang selama sepuluh tahun. Menjaga keamanan sesama, saling menahan diri dari perang. Barangsiapa dari Quraisy datang menemui Muhammad tanpa izin dari walinya, ia harus dikembalikan kepada mereka. Dan siapa saja dari orang-orang yang beserta Muhammad datang kepada Quraisy, ia tidak dikembalikan. Hati kami terikat kuat dengan perjanjian ini. Tak ada pencurian atau pengkhianatan. Dan barangsiapa yang ingin bergabung bersama Quraisy, mereka dipersilakan. Dan barangsiapa yang ingin bergabung bersama Muhammad pun dipersilahkan."
Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada 6 hijriah. Mulanya Rasulullah saw ingin pergi ke Makkah melakukan umrah, bersama beberapa orang Muhajirin, Anshar, dan beberapa orang dari kabilah-kabilah lain. Kaum musyrikin Quraisy yang mengetahui rencana ini segera bergerak melakukan penghadangan. Rasulullah saw tertahan. dan baru diizinkan untuk umrah pada tahun berikutnya.
Saat peristiwa itu terjadi, ada dua kabilah yang selalu berseteru, yaitu Bani Bakr dan Bani Khuza'ah. Setelah perjanjian itu dibuat, Bani Khuza'ah segera berkubu kepada Rasulullah. Sementara Bani Bakr berkubu kepada Quraisy. Menyikapi perjanjian itu mulanya Umar bin Khattab sulit menerima. la bahkan mendatangi Abu Bakar, "Bukankah Muhammad itu Rasulullah? Bukankah kita ini kaum muslimin dan mereka orang-orang kafir? Lantas mengapa kita menerima kehinaan ini?" kata Umar kepada Abu Bakar. Abu Bakar menasehati Umar untuk menerima perjanjian itu.
Baca Juga : Jadilah Orang Asing
Umar lantas menemui Rasulullah dan mengatakan hal yang sama. Lalu Rasulullah menjawab, "Aku ini hamba dan Rasul Allah. Mereka tidak akan bisa menyia-nyiakan aku." Di kemudian hari Umar berkata, "Setelah itu aku selalu bersedekah, berpuasa, shalat sunnah, dan memerdekakan budak, karena takut dengan perkataanku itu, sampai aku merasa keadaanku sudah membaik."
Perjanjian Hudaibiyah yang mewariskan konvensi sosial dan politik yang mulia dibuat ketika Barat belum diketahui rimbanya. Konvensi lintas ideologi, suku dan ras dalam perjanjian Hudaibiyah sudah berusia lebih dari 1400 tahun. Sementara Barat baru beberapa tahun belakangan ini mencari-cari konsep Declaration of Human Right.
Perjanjian Hudaibiyah menegaskan bahwa Islam jauh lebih mulia, bahkan bila pun kemuliaan itu diukur dengan berapa lama ia bertahan. Belum lagi kemuliaan silsilah, bahwa Islam datang dari Allah. Hal mendasar dari perjanjian Hudaibiyah adalah Islam menghormati segala bentuk perjanjian, tidak mengkhianati dan melanggarnya, selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum Allah. Hudaibiyah memberi makna yang dalam bagi kemanusiaan. Taat kepada kesepakatan adalah wujud moral manusia yang beradab.
Selain itu, dalam konteks dakwah dan perjuangan, perjanjian dengan orang kafir, setelah melalui pengkajian mendalam oleh berbagai kalangan yang berkompeten-dari aspek hukum syari'ah maupun aspek fiqih dakwahnya-harus dilihat secara positif. Semua harus yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka. Barangsiapa mencari keridhaan Allah, meski harus dibenci manusia, maka Allah akan meridhai dan menjadikan manusia juga ridha. Sebaliknya, barangsiapa mencari keridhaan manusia, meski dibenci Allah, maka Allah akan murka dan menjadikan orang yang tadinya ridha menjadi murka.
Baca Juga : Fitnah Dunia
Sebuah konsensus bisa batal dan tidak bisa lagi dilanjutkan bila terjadi pelanggaran. Apapun bentuk konsensus itu. Begitu pula yang terjadi dengan perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian yang rencananya berusia sepuluh tahun itu rupanya hanya bertahan dua tahun.
Banu Bakr dan Khuza'ah yang selalu berseteru itu dimanfaatkan kabilah- kabilah lain. Apalagi setelah perjanjian Hudaibiyah ditandatangani. Inilah yang dilakukan oleh Bani Dir, sekutu Bani Bakr. Dipimpin Naufal bin Muawiyah, Bani Dir bersama Bani Bakr menyerbu Khuza'ah. Lantaran mereka telah diserbu sebelumnya oleh Bani Aswad, sekutu Khuza'ah.
Pengkhianatan itu juga dilakukan Quraisy. karena mereka ikut membantu Bani Bakar dan Dir. Tidak saja menyokong dengan senjata, bahkan pasukan Quraisy turut melakukan penyerbuan di suatu malam yang gelap gulita. Banyak korban berjatuhan. Salah seorang dari Khuza'ah, Amr bin Salim, menemui Rasulullah. Di masjid, di hadapan kaum muslimin, ia mengisahkan kepedihannya dalam untaian bait syair. Mendengar itu, Rasulullah berkata, "Engkau akan dibantu, wahai Amr bin Salim."
Pengkhianatan Banu Bakr dan Quraisy itulah yang kemudian mengawali penaklukan Makkah. Karena Perjanjian Hudaibiyah telah dilanggar, Rasulullah segera menyiapkan pasukan. Orang-orang Quraisy kelabakan. Abu Sufyan berusaha meminta maaf kepada Rasulullah di Madinah dan meminta agar perjanjian diperbarui. Tapi tak ada yang mau menjawab omongan Abu Sufyan.
Rasulullah telah menyiapkan pasukan dalam jumlah yang sangat besar, dalam sebuah persiapan yang sangat rahasia. Tak seorang pun tahu ke mana pasukan itu akan dikirim. Hingga tiba pada hari yang telah direncanakan, sebanyak 10.000 pasukan Islam dari berbagai kabilah datang menaklukkan Makkah.
Sebelumnya, hal yang sama terjadi. Rasulullah akhirnya menyerbu Yahudi Bani Quraizhah meski mulanya mereka terikat dengan perjanjian Madinah, atau yang dikenal dengan Piagam Madinah. Sebab, Quraizhah telah bersekongkol dengan Quraisy untuk menghancurkan kaum muslimin di Madinah dalam Perang Ahzab.
Begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sirah Rasul, tapi lewat begitu saja dalam pandangan umat Islam. Di negeri ini, dengan penduduk mayoritas muslim, telah begitu banyak kesepakatan yang dilanggar. Ambil contoh kesepakatan tentang larangan membangun gereja di perkampungan muslim, larangan mengajak seorang muslim untuk masuk Kristen-apalagi dengan cara memaksa, dan jaminan kebebasan beragama. Secara teori, semua kesepakatan itu sebenarnya telah batal, karena telah bahkan sering kali dikhianati. Bahkan, Pancasila yang sebenarnya konsensus politik dan sosial itu telah dilanggar oleh Orde Baru, ketika ia diberhalakan dan dipaksakan menjadi ideologi. Maka, apa yang kita harapkan dari kesepakatan-kesepakatan itu, setelah kita terus dikhianati? Wallahu a'lam bishawab.
Sulaiman Grozny
Disadur dari Majalah Sabili Edisi No 26 TH. VII / 14 JUNI 2000 / 11 RABIUL AWAL 1421 H