Bolehkah Uang Tabungan Nasabah Dibisniskan? Lantas Keuntungannya Buat Siapa?

Tanya:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Ustadz, izin bertanya.

Semisal ada orang yang menabung di kita, lalu uang tersebut kita simpan ke dalam bentuk emas, kira-kira ketika emasnya dijual dan ada beda jumlahnya (nilai uangnya, red), itu halal atau tidak, ya, untuk kita? Dan kalau kita berikan ke orang tersebut sesuai jumlah yang dia tabung, seperti itu boleh atau tidak, ya? Terima kasih.

-- Kardiani, Jakarta.

Jawab:

Wa‘alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Harus jelas dulu, tabungan ini sejak awal apakah ada perjanjian boleh digunakan oleh penyimpan tabungan, seperti halnya bank yang dikenal dengan akad istitsmar wadi’ah, sehingga itu merupakan izin dari pemilik tabungan kepada pengelola tabungan untuk membisniskannya baik dengan perjanjian bagi hasil maupun tidak.

Jika sudah ada perjanjian di awal, baik secara tertulis ataupun secara urf (kebiasaan, konvensi umum) seperti halnya bank, tabungan haji, tabungan umrah, dan lain-lain, maka itu sah dan keuntungan dari usaha yang dijalankan oleh pengelola tabungan itu murni milik mereka, dan mereka hanya mengembalikan senilai tabungan di awal kepada penabung.

Jika sudah ada perjanjian awal seperti ini atau ada urf yang telah menjadi konsensus masyarakat, maka pemilik tabungan tak lagi berhak menuntut bagi hasil, karena kalau terjadi kerugian, dia tetap berhak atas uang tabungannya secara utuh.

Tetapi jika tidak ada perjanjian di awal dan tidak pula ada urf, maka ini termasuk menggunakan uang orang lain tanpa izin dan ini dihukumi sebagai ghashib (perampas). Ghashb artinya mengambil barang orang lain atau menggunakannya tanpa izinnya tetapi bukan pencurian. Di dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat jika harta seperti itu dibisniskan lalu mendapatkan untung. Yang pasti, perbuatan itu dosa dan tidak berkah.

Menyewakan Lagi Barang Sewaan dengan Margin Keuntungan
Murabahah dalam jasa atau manfaat disepakati kebolehannya oleh keempat madzhab. Hanya saja mereka berbeda pendapat jika penyewa pertama ini menyewakan itu kepada penyewa kedua dengan margin keuntungan (murabahah).

Tetapi kalau sudah ada keuntungannya, maka siapakah yang berhak mendapatkannya?

Imam Abu Hanifah dan muridnya, Muhammad bin Hasan, mengatakan, keuntungan itu harus disedekahkan dan tidak boleh diambil baik oleh pengelola maupun pemilik tabungan.

Pendapat Madzhab Maliki dan Syafi’i semua keuntungan jadi milik pengelola, sebagaimana keuntungan hasil bisnis uang ghashb menjadi milik ghashib meski dia berdosa.

Pendapat madzhab Hanbali yang dipegang adalah keuntungan menjadi milik pemilik sah semuanya dan tidak ada hak bagi pengelola atau ghashib.

Ada pendapat pertengahan, yaitu pendapat Ibnu Taimiyah bahwa keuntungan dibagi dua sebagaimana terjadi pada kasus Abdullah dan Ubaidullah, dua putra Umar bin Khaththab, yang dititipi uang Amanah oleh Abu Musa Al-Asy’ari, lalu mereka membisniskannya sehingga mendapatkan untung, lalu ketika diserahkan uangnya kepada Umar, Umar malah meminta semua keuntungannya, sampai akhirnya mereka berdamai dan keuntungan jadi dibagi dua.

Ini adalah pendapat pertengahan sehingga semua mendapat bagian meski pengelola tetap mendapat masalah sampai pemilik tabungan mengizinkannya, atau kecuali bila telah ada urf atau kebiasaan umum bahwa uang itu pasti dipakai untuk bisnis dengan jaminan.

Uang yang Dipinjam Orang dan Uang Donasi Apakah Kena Wajib Zakat
Sampai sekarang dia tidak mampu membayarnya karena dia banyak hutang juga ke orang lain, tapi dia tetap ingin membayarnya. Apakah wajib zakat atas uang saya itu.

Referensi:

  • Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 30 halaman 329:
وَمَنْ اكْتَسَبَ بِهَذِهِ الْأَمْوَالِ بِتِجَارَةِ وَنَحْوِهَا فَقِيلَ: الرِّبْحُ لِأَرْبَابِ الْأَمْوَالِ. وَقِيلَ لَهُ إذِ اشْتَرَى فِي ذِمَّتِهِ. وَقِيلَ: بَلْ يَتَصَدَّقَانِ بِهِ؛ لِأَنَّهُ رِبْحٌ خَبِيثٌ. وَقِيلَ: بَلْ يُقَسَّمُ الرِّبْحُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَرْبَابِ الْأَمْوَالِ كَالْمُضَارَبَةِ. كَمَا فَعَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي الْمَالِ الَّذِي أَقَرَضَهُ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ لِابْنَيْهِ دُونَ الْعَسْكَرِ. وَهَذَا أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ.
“Siapa yang berbisnis dengan harta seperti ini maka ada yang berpendapat keuntungannya semua menjadi milik pemilik asal, ada pula yang mengatakan menjadi miliknya (yang membisniskan), karena harta itu ada dalam tanggungannya. Pendapat lain mengatakan mereka harus menyedekahkannya karena itu merupakan keuntungan dari perbuatan buruk. Ada pula yang mengatakan hendaknya dibagi keuntungan itu antar mereke berdua seperti layaknya mudharabah. Ini sebagaimana kasus Umar bin Khaththab dalam uang dari Abu Musa Al-Asy’ari yang dititipkan kepada kedua putranya tanpa disamakan dengan para tantara yang lain. Inilah pendapat yang lebih adil.”
  • Fatawa Ibnu Baz jilid 19 halaman 411:
إذا أودع عندك أحد وديعة، فليس لك التصرف فيها إلا بإذنه، وعليك أن تحفظها فيما يحفظ فيه مثلها، فإذا تصرفت فيها بغير إذنه فعليك أن تستسمحه، فإن سمح، وإلا فأعطه ربح ماله، أو اصطلح معه على النصف أو غيره، والصلح جائز بين المسلمين، إلا صلحًا حرم حلالًا أو أحل حرامًا

“Jika seseorang menitipkan sesuatu padamu maka kamu tak berhak menggunakannya kecuali dengan izin orang itu. Kamu harus menjaganya sesuai kepatutan. Kalau kamu menggunakan tanpa izin pemiliknya maka kamu harus minta kerelaannya. Kalau dia tidak rela maka kamu harus memberikan keuntungan dari harta itu, atau mengajak ishlah dengan membagi dua atau sesuai kesepakatan. Perdamaian seperti ini dibolehkan antar sesama muslim asalkan tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”


Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc. / Mudir Pesantren Bina Insan Kamil - DKI Jakarta

Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: redaktursabili@gmail.com