Bu Sri, Mundurlah!
Tidak disangka tidak diduga. Roman picisan Mario Dandy, Agnes, dan David Ozora bergerak liar bagaikan lelehan lahar erupsi Merapi yang membakar siapa saja yang diterjangnya. Setelah Rafael Alun ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, siapakah berikutnya? Akankah para petinggi di Kemenkeu terseret skandal 349 trilyun TPPU? Menarik ditunggu.
Pernyataan menggelegar Menko Polhukam Mahfud MD saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Rabu pekan lalu, menohok Menkeu Sri Mulyani dan jajarannya. Mantan Ketua MK itu lugas menyebut adanya 349 trilyun rupiah transaksi keuangan terindikasi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan pegawai Kemenkeu. Meski diawali pujian kepada Sri sebagai orang yang cerdas dan salah satu Menteri Keuangan terbaik di dunia, Ketua Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU itu tanpa ragu menyatakan, data yang disampaikan Sri Mulyani saat RDPU dengan Komisi XI DPR dua hari sebelumnya tidak sesuai dengan fakta. Tanpa tedeng aling aling, Mahfud menduga Sri "dibohongi" oleh bawahannya. Ia memastikan data yang dipegangnya itu yang benar dan clear. Bukan yang lain.
Pernyataan Mahfud sontak bikin geger. Pro-kontra pun muncul berseliweran. Dukungan kepada Profesor hukum itu untuk terus maju membongkar patgulipat di Kemenkeu mengalir deras. Salah satunya datang dari 114 profesor dan akademisi berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tetapi ada juga yang mempertanyakan motif Mahfud membongkar borok menahun di Kementerian yang pegawainya merupakan ASN dengan pendapatan tertinggi di Indonesia itu.
Ada yang menengarai Ketua Presidium Kahmi itu sedang mencari panggung agar dilirik jadi cawapres. Maklum, dari berbagai koalisi parpol, belum ada bakal cawapres yang definitif. Tak sedikit juga yang menilai Guru Besar Hukum UII itu ingin mengakhiri jabatannya dengan Husnul Khatimah. Ia tak tahan lagi melihat berbagai penyimpangan dan kejahatan finansial menahun yang terjadi secara terstruktur, sistemik, dan massif. Istilah "duit setan dimakan jin" atau "duit jin dimakan setan", tak lagi menjadi anomali. Tetapi telah menjadi hal yang biasa dan lazim dalam kehidupan para penyelenggara negara. Sehingga, menurut Mahfud, menoleh ke manapun akan berjumpa dengan hal itu. Kita percaya, masih banyak pengelola negara yang berintegritas dan amanah. Namun, mentalitas korup yang sudah sedemikian terstruktur, sistemik, dan massif, membuat mereka bak serakan pasir putih yang tertutup lautan pasir hitam.
Terlepas apa pun motifnya, langkah Mahfud patut didukung sepenuhnya. Angka 349 trilyun rupiah itu bukan sedikit. Sekitar 14 persen dari rancangan pendapatan negara dalam APBN tahun 2023 yang sebesar 2463 trilyun. Amat sangat berarti untuk meningkatkan hidup rakyat. Namun jumlah itu pun boleh jadi hanyalah selemperan kecil yang terdeteksi. Seperti fenomena gunung es, tidak tertutup kemungkinan jumlah yang beredar di area gelap itu sejatinya jauh lebih dahsyat ketimbang yang terpantau. Kekayaan Indonesia di bidang minerba, gas, perkebunan, perikanan, pertanian, dan lain-lain yang sangat luar biasa pastilah menghasilkan keuntungan ekonomi yang tidak terkira.
Ambil contoh apa yang diungkapkan Mahfud, mengutip pernyataan Abraham Samad saat menjadi komisioner KPK sekitar 10 tahun lalu. Jika tata laksana Migas dan pertambangan di Kementamben bersih dari praktik kotor, setiap rakyat Indonesia akan mendapatkan 20 juta rupiah tanpa bekerja. Sementara Susi Pujiastuti, saat jadi Menteri Kelautan dan Perikanan, pernah menyatakan, kekayaan laut Indonesia yang dicuri nelayan asing setiap tahun nilainya mencapai 300 trilyun. Belum lagi di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, kominfo, dan lain sebagainya. Pastinya melibatkan angka yang jumlahnya teramat besar.
Jadi, membongkar sampai ke akar-akarnya praktik kotor dan jahat yang melibatkan aparatur negara baik sipil maupun bukan, harus dilakukan secara terus menerus dan berjama'ah. Setiap komponen bangsa harus mengawal dan mengawasi prosesnya secara cermat. Hal ini mengingat kejahatan yang begitu terstruktur, sistemik, dan massif, pasti melibatkan kekuatan besar di dalam dan di luar. Apalagi mengingat aparat di Kemenkeu sudah berurat berakar, sehingga jaringannya sudah sangat luas, kuat, dan rapat. Buktinya, mereka, seperti diduga Mahfud, berani memberi Sri Mulyani data yang tidak sesuai fakta.
Untuk memotong gurita yang sudah sedemikian, menarik apa yang dilakukan Cacuk Sudarijanto saat menjabat Dirut PT Telkom tahun 1988-1992. Waktu itu telepon seluler belum lagi berkembang, sehingga dunia bisnis maupun masyarakat umum sangat tergantung pada telepon fix dimana PT Telkom adalah pemain satu-satunya. Di sisi lain, kemampuan PT Telkom menyediakan sambungan juga terbatas. Di dalam situasi seperti itu dan publik tidak tahu di mana akan dibuka saluran baru, para calo dan makelar (umumnya pegawai Telkom) gentayangan menawarkan jasa. Tentu saja dengan biaya yang tidak sedikit.
Ketika itu, Cacuk melakukan dua kebijakan radikal. Pertama, mengumumkan secara terbuka melalui media massa, kawasan atau wilayah yang akan mendapat jaringan Telkom. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi dapat dipermainkan oleh para calo. Kedua, Cacuk membatasi durasi jabatan pegawai Telkom pada satu posisi atau suatu kawasan, maksimal dua tahun, kemudian merotasinya ke posisi/tempat lain. Tujuannya, agar para pejabat/pegawai itu tidak sempat membangun jaringan.
Metode serupa agaknya perlu dicoba untuk membabat habis benalu dan tikus di Kemenkeu. Tentu saja harus dimulai dari pimpinan yang tertinggi. Sri Mulyani telah menjabat sebagai Menkeu sejak Desember 2005 di era Presiden SBY. Ia menggantikan Yusuf Anwar yang terkena reshuffle. Bahkan saat Menko Perekonomian Budiono maju menjadi cawapres SBY tahun 2008, ia ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas.
Jadi, ia satu-satunya Menteri yang tidak terusik perubahan. Presiden boleh berganti, partai penguasa boleh berubah, tetapi Sri Mulyani tak tersentuh. Ia tetap nangkring di atas singgasana Kemenkeu. Mungkin ia merasa telah banyak melakukan perbaikan. Namun, fakta yang diungkap Mahfud di depan Komisi III DPR mestinya menyadarkan Sri Mulyani bahwa ia sudah terlalu lama di situ. Kalau besi istilahnya sudah karatan. Maka, pamit mundur adalah langkah yang bijak. Hal itu menunjukkan kapasistasnya sebagai negarawan sekaligus menunjukan tanggung jawab sebagai panglima di Kementerian Keuangan. Seperti kata pepatah "Tidak ada prajurit yang bodoh, yang ada adalah komandan yang gagal".