Bullying, Potret Buram Dunia Pendidikan Indonesia: Anak Miskin Dilarang Sekolah!

Di tengah gegap gempita dunia pendidikan Indonesia yang seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh dan belajar, tersimpan kisah-kisah pilu yang membuat dada sesak. Sesuatu yang tidak seharusnya terjadi di dunia pendidikan, yaitu bullying.

Adalah seorang gadis belia dari Bandar Lampung Gina Dwi Sartika. Semestinya ia masih bisa mengejar mimpi menjadi guru, seperti cita-citanya sejak kecil. Namun, takdirnya adalah pendidikannya terhenti di tengah jalan. Gina harus mengubur cita-citanya karena bullying. Ia diejek, dihina, dan dijadikan bahan olok-olok hanya karena ibunya seorang pemulung. Julukan “anak pemulung” yang keluar dari mulut teman-temannya menjadi cambuk yang setiap hari memukul jiwanya, sampai akhirnya ia menyerah dan berhenti sekolah.

Ibunya, Misna Megawati, seorang perempuan tangguh yang tiap hari mengais rongsokan untuk menghidupi enam anak, tak bisa berbuat banyak. Bagi mereka, pendidikan adalah kemewahan. Namun, yang lebih menyakitkan dari kemiskinan adalah kenyataan bahwa anaknya ditolak oleh sistem sosial yang seharusnya melindungi. Di dalam sebuah wawancara dengan media, Misna bercerita, “Gina sudah malu ke sekolah. Katanya teman-temannya bilang, ‘Ngapain sekolah? Kamu kan anak pemulung’.’’

Kisah Gina adalah satu dari ribuan anak yang terpaksa meninggalkan bangku pendidikan karena perundungan. Di Bekasi, seorang siswa SD harus kehilangan kakinya setelah menjadi korban perundungan berat yang berujung infeksi serius. Sementara di Universitas Diponegoro, seorang dokter muda dalam program residensi ditemukan meninggal dunia, setelah sebelumnya mengalami tekanan dan perundungan sistemik dari rekan-rekannya di lingkungan akademik.

Sebuah riset dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2024 mencatat lebih dari 2.300 laporan kasus kekerasan dan perundungan di lingkungan pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan, data dari Kemendikbudristek menunjukkan, 1 dari 3 siswa di Indonesia pernah mengalami atau menyaksikan tindakan perundungan di sekolah mereka. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cermin retak yang memerlihatkan betapa pendidikan kita tengah kehilangan sisi kemanusiaannya.

Aksi Bully di Sekolah Lagi-Lagi Bikin Resah
Perundungan menjadi hal yang kian meresahkan, karena dapat menimbulkan dampak jangka pajang yang berbahaya bagi anak-anak.

Data dari UNICEF dan KPAI tahun 2022 menunjukkan, Indonesia masuk ke dalam lima besar negara dengan tingkat bullying tertinggi di dunia. Riset dari Pusat Kajian Perlindungan Anak UI juga mengungkapkan bahwa perundungan di sekolah meningkat setiap tahun, dengan sebagian besar korban berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Lebih memilukan lagi, fenomena itu kini tak hanya terjadi di sekolah dasar dan menengah, tetapi juga telah merambat hingga ke universitas. Mahasiswa yang berbeda secara sosial, fisik, bahkan ideologis, tak jarang menjadi sasaran cemooh, kekerasan mental, bahkan persekusi.

Ini menunjukkan bahwa wajah pendidikan Indonesia sedang menghadapi krisis moral yang serius. Sekolah dan kampus yang seharusnya menjadi tempat menanamkan nilai kemanusiaan justru kadang menjadi ladang subur bagi kesombongan sosial. Banyak anak dari keluarga miskin sudah tumbuh dengan beban berlapis terhimpit kemiskinan, ditindas pula oleh stigma. Di dalam diam, sistem sosial kita telah menanam pesan beracun bahwa menjadi miskin berarti pantas direndahkan, bahwa kemiskinan adalah aib yang harus ditutupi.

Namun yang harus kita sadari, korban perundungan tidak selalu berasal dari kalangan mikin. Bullying bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Ia tidak mengenal status sosial, warna kulit, atau latar belakang. Di dalam sejarah Islam sendiri, salah satu contoh paling jelas adalah kisah Bilal bin Rabah, sahabat Rasulullah yang mengalami siksaan dan pelecehan hanya karena keyakinannya.

Bilal adalah budak berkulit hitam dari Habasyah. Ketika ia mengucapkan syahadat, tuannya, Umayyah bin Khalaf, mengikat tubuhnya, menjemurnya di padang pasir, dan menindih dadanya dengan batu besar. Ia diejek karena warna kulitnya, dihina karena status sosialnya, dan disiksa karena imannya. Tetapi Bilal tidak membalas. Ia hanya berkata lirih, “Ahad, Ahad – Allah Yang Maha Esa.”

Kisah Bilal adalah peringatan bahwa Islam memerangi segala bentuk kezaliman, termasuk perundungan dalam wujud apa pun. Rasulullah menghapus diskriminasi dan pelecehan dengan kalimat tegas: “Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keutamaan bagi yang berkulit putih atas yang berkulit hitam, kecuali dengan ketakwaan.” (HR Ahmad)

Pendidikan untuk Kemajuan Bangsa
Baik pendidikan formal dan informal maupun pendidikan non formal, tujuan utamanya adalah membentuk generasi yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Juga mandiri, demokratis, peduli, kreatif, inovatif, cinta tanah air, profesional, dan bertanggung jawab.

Artinya, setiap tindakan merendahkan orang lain karena fisik, status, atau latar belakang, adalah bentuk kezaliman yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Ironinya, seakan-akan anak miskin dilarang bermimpi besar. Mereka dibatasi oleh persepsi orang lain, seolah hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara hanyalah milik mereka yang mampu. Padahal, konstitusi negeri ini menjamin setiap warga negara berhak atas pendidikan tanpa diskriminasi. Sayangnya, yang tertulis di undang-undang belum menjadi kenyataan di lapangan. Pemerintah memang sudah memiliki banyak aturan, dari Permendikbud tentang pencegahan kekerasan di sekolah hingga program sekolah ramah anak, namun semua itu belum berjalan efektif jika penegakannya lemah.

Pemerintah harus lebih aware, tidak cukup dengan sekadar memberi imbauan. Setiap kasus perundungan harus diselidiki serius, pelakunya ditindak tegas, dan sistem pencegahannya diperkuat. Negara tidak boleh diam ketika anak-anak kehilangan masa depan hanya karena dibiarkan dibunuh perlahan oleh kata-kata yang menyakitkan. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap sekolah memiliki sistem pengawasan, mekanisme pelaporan yang aman, dan tenaga pendidik yang paham cara menangani korban bullying dengan empati, bukan dengan penyangkalan.

Korban seperti Gina harus mendapatkan jaminan untuk memulihkan kepercayaan dirinya. Mereka butuh pendampingan psikologis, lingkungan yang suportif, dan jaminan bahwa mereka tidak akan kembali disakiti. Sebab, luka dari perundungan merambat dari tubuh menuju jiwa. Butuh waktu lama untuk sembuh dari rasa malu dan rendah diri yang ditanamkan oleh lingkungan.

Aksi Bully di Sekolah Lagi-Lagi Bikin Resah
Perundungan menjadi hal yang kian meresahkan, karena dapat menimbulkan dampak jangka pajang yang berbahaya bagi anak-anak.

Kasus Gina adalah tamparan keras bagi kita semua. Ia mengingatkan bahwa pendidikan di negeri ini masih belum sepenuhnya menjadi ruang keadilan sosial. Kita boleh bangga dengan program digitalisasi sekolah atau kurikulum merdeka belajar, tetapi jika masih ada anak yang berhenti sekolah karena dipermalukan atas kemiskinannya, maka ada yang salah dalam sistem kita.

Untuk generasi muda bangsa, kisah ini seharusnya menjadi cermin. Tidak ada satu pun dari kita yang memilih dilahirkan dalam keluarga kaya atau miskin. Tetapi kita bisa memilih untuk menjadi manusia yang menghargai sesama. Jika kita ingin membangun Indonesia yang beradab, maka hal itu dimulai dari hal sederhana, yaitu berhenti menertawakan kekurangan orang lain.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surah Al-Hujurat ayat 11: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diperolok itu lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan lain, boleh jadi perempuan yang diperolok itu lebih baik daripada mereka. Janganlah kalian saling mencela dan memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”