Catatan New York Times: Pasca Dibredel Netanyahu, Al Jazeera Kian Kuat di Hati Pelajar AS
Surat kabar The New York Times mengamati apa yang sedang terjadi di kalangan mahasiswa pengunjuk rasa di Amerika Serikat (AS). Menurut surat kabar tersebut, para mahasiswa melakukan protes dan menyatakan ketidak setujuan terhadap liputan terkait perang di Gaza yang ditampilkan media tradisional Amerika, antara lain CNN, Atlantic, dan lainnya, termasuk New York Times sendiri.
Akhir-akhir ini, gerakan protes mahasiswa di berbagai universitas di Amerika Serikat yang menuntut untuk menghentikan perang di Gaza kian menyeruak. Juga muncul keengganan dari generasi muda di Amerika Serikat untuk mempercayai media besar Barat. Hal itu berdasarkan sikap skeptisisme mereka terhadap kredibilitas media Barat dalam menyampaikan kebenaran terkait apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Surat kabar The New York Times pun mengamati apa yang sedang terjadi di kalangan pengunjuk rasa mahasiswa. Ia mengatakan, mereka yang baru-baru ini melakukan aksi duduk di puluhan universitas di Amerika, memiliki motif untuk menunjukkan keberatan mereka terhadap media Barat. Pada saat yang bersamaan, ia mendapatkan informasi, mereka menjadikan media Al Jazeera sebagai sumber rujukan mengenai perang di Gaza.
“Surat kabar Al Jazeera ini adalah tempat saya mendapatkan informasi secara kredibel,” kata Nick Wilson, seorang mahasiswa di Cornell University.
Al Jazeera Dibredel Pemerintah Israel
Pada Ahad, 5 Mei 2024, dua hari setelah peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, pemerintah Israel mengeluarkan keputusan untuk menghentikan penyiaran Al Jazeera dengan tuduhan mengancam keamanan negara. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan dalam akun X-nya pada Ahad (5/5/2024), pihaknya memutuskan untuk menutup kantor media Al Jazeera di negara itu, lantaran media tersebut terus melakukan pembicaraan terkait serangan Israel ke wilayah Gaza.
Baca juga: Dukung Israel, Citra Amerika Hancur
Pemerintah Israel dengan suara bulat memutuskan untuk membungkam saluran berita Al Jazeera dengan dalih menjaga keamanan negara. Mereka menyita peralatannya dan menghentikan siaran programnya hingga jangka waktu 45 hari. Bahkan, Benjamin Netanyahu menganggap saluran berita itu sebagai “teroris”.
Netanyahu menyebut, keputusan ini telah diputuskan dengan matang oleh pemerintahannya dan juga parlemen. “Pemerintahan yang saya pimpin dengan suara bulat memutuskan: saluran hasutan Al Jazeera akan ditutup di Israel,” tulis akun X resmi Netanyahu.
Keputusan pemerintahan Benjamin Netanyahu menutup kantor Al Jazeera pada 5 Mei 2024 itu dikutuk secara luas oleh International Federation of Journalist (IFJ) dan Organisasi Hak Asasi Manusia (HAM). Ini merupakan serangan terhadap kebebasan pers dan upaya untuk membungkam Al Jazeera karena liputan kredibilitasnya mengenai perang.
“Hal ini menunjukkan sejauh mana Israel takut terhadap liputan dan investigasi Al Jazeera,” tegas Matthew Vickers, seorang mahasiswa di Occidental College di Los Angeles.
Kritik terhadap Media di Amerika
Para mahasiswa pun mengritik media di Amerika. Sebab, meski pun berbagai media konvensional meliput perang secara luas, para pelajar menganggap para media itu tidak ikut bertanggung jawab terhadap Israel – hingga batas tertentu – atas pembunuhan warga Palestina. Juga tidak memverifikasi keabsahan pernyataan pejabat-pejabat Israel.
“Ada cukup banyak informasi salah yang disiarkan kepada kita oleh media konvensional, dan terdapat bias yang jelas ketika menangani masalah Palestina,” kata Cameron Jones, seorang mahasiswa di Universitas Columbia di New York, tempat protes dimulai.
Baca juga: Penjajah Israel Serang Tepi Barat dan Tangkapi Mahasiswa-Mahasiswa di Nablus
“Liputan-liputan mereka terlalu fokus pada anti-Semitisme di universitas daripada Islamofobia,” protes para mahasiswa itu.
Menurut New York Times, media alternatif Al Jazeera English telah menjadi pilihan utama bagi mahasiswa di platform media sosial. Saat ini, Al Jazeera English memiliki 4,6 juta pengikut di Instagram. Juga di TikTok, yaitu sebanyak 1,9 juta. Sedangkan pada awal perang, hanya sekitar 750.000 pengikut mereka di TikTok.
Ben Tov, asisten profesor jurnalisme di Universitas Minnesota mengatakan, “Al Jazeera memenuhi kebutuhan generasi muda Amerika untuk mendapatkan sudut pandang lain tentang suatu peristiwa daripada apa yang disajikan oleh media Amerika.”
Al Jazeera Memiliki Kedudukan Istimewa
Surat kabar tersebut mencatat, penutupan kantor Al Jazeera yang dilakukan Israel baru-baru ini telah memperkuat posisi media tersebut di hati para pelajar Amerika yang melakukan protes. Para Mahasiswa adalah generasi muda pemilik idealisme yang tinggi. Relatif belum terkontaminasi dengan intrik-intrik politik.
Aksi protes dari berbagai universitas di Amerika menurut mereka juga akan memantik aksi-aksi lainnya di beberapa tempat. Ini merupakan bom waktu bagi Joe Biden dan Benjamin Netanyahu. Perlu adanya penggiring opini untuk mencapai kepentingan mereka berdua.
Namun, upaya Netanyahu gagal dengan manipulasi menggunakan media besutannya. Para generasi muda tidak bisa disetir maupun ditawarkan ‘sesuatu’.
Tidak habis akal, mereka kini berupaya mengekang media yang menghalangi kepentingannya. Tetapi, apakah kekuatan besar yang murni ini akan berhasil terbendung?
Wallahu a’lam.
(Sumber: New York Times & Le Monde)