Catatan Pemilu 2024: Pejah Gesang Nderek Kiai (Bagian 1)
Pemilu 2024 baru saja usai. Namun, hingar bingarnya belum berhenti. Hasil Quick Count seluruh lembaga survei yang menempatkan pasangan Prabowo-Gibran menang satu putaran dengan perolehan suara 56% - 59% sungguh mengejutkan. Sama mengejutkannya dengan perolehan pasangan AMIN yang berkisar 24% - 26%, jauh di bawah ekspektasi awal sekitar 32% - 34%. Yang paling tragis adalah pasangan Ganjar-Mahfud yang cuma meraup suara 16% - 18 %. Padahal, dalam banyak survei sebelum pencoblosan, kisaran suara untuk pasangan ini adalah 22% - 25%. Maka, tak heran jika banyak pakar dan pengamat yang ketika itu memperkirakan pilpres akan berlangsung dua putaran, lantaran pasangan 02 maksimal merebut 45% suara saja.
Bahkan, pengamat politik Eep Saefullah Fatah berulang-ulang dengan lantang menegaskan ihwal berlangsungnya pemilu dua putaran. Berdasarkan hasil survei yang dilakukannya secara hati-hati di 32 provinsi dengan jumlah responden yang besar dan representatif, suara pasangan 02 hanya ada di kisaran 40% saja. Yang paling ekstrim adalah data yang diungkap oleh Sapto Waluyo dari LKSP (Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan) yang menggambarkan terjadinya persaingan ketat antara pasangan 01 dan 02. Amin meraup 32,41%, Prabowo-Gibran 32,02%, Ganjar-Mahfud 19,52%, dan yang belum menentukan pilihan 16,05%. Sebelumnya, lembaga survei internasional, Roy Morgan, menyebut angka 43% untuk kubu 02 dan 37% untuk 01.
Deretan angka survei di atas bukan saja mengindikasikan bakal bergulirnya pemilu dalam dua putaran. Sekaligus menegaskan posisi AMIN sebagai penantang kuat.
Namun, hasil Quick Count menjungkirbalikkan semua prediksi di atas. Pasangan AMIN hanya memperoleh kurang dari separuh perolehan suara Prabowo-Gibran. Tentu saja, Quick Count bukan angka resmi. Apalagi, datanya berasal hanya dari dua ribuan TPS sampel dibandingkan total TPS yang berjumlah 823.000 lebih. Namun, sepanjang sejarah pemilu di era reformasi, hasil Quick Count biasanya tidak jauh berbeda dengan hasil resmi (Real Count). Berbeda halnya dengan hasil survei, yang kerap berbeda dengan kenyataan.
Begitu pun kita mesti menunggu hasil penghitungan manual berjenjang oleh KPU yang baru akan diumumkan pada 20 Maret 2024 mendatang. Selama penghitungan sebulan lebih itu, bisa saja terjadi perubahan. Apalagi terdapat viral di media sosial tentang berbagai kasus pelanggaran dan kecurangan. Yang paling menonjol adalah tentang surat suara yang sudah dicoblos untuk pasangan 02 sebelum digunakan, serta perbedaan data yang ditayangkan SIREKAP milik KPU dengan data resmi di formulir C1. Maka, sudah seharusnya seluruh lapisan masyarakat mengawal dan mengawasi proses tersebut secara cermat, supaya hasil pemilu kali ini legitimate.
Baca juga: Blunder Membawa Berkah
Maka, sikap pro aktif dan obyektif Bawaslu, DKPP – dan juga MK jika hasil resmi KPU nanti digugat – harus benar-benar terwujud. Jika tidak, legitimasi hasil pemilu menjadi cacat dan potensial menimbulkan gelombang protes.
Di luar proses tersebut, menarik untuk disimak mengapa suara Prabowo-Gibran bisa sedemikian tinggi, utamanya di Jatim dan Jateng. Jatim dan Jateng adalah provinsi dengan jumlah pemilih terbesar kedua dan ketiga setelah Jabar. Maka, penguasaan di kedua wilayah tersebut amat penting untuk menjamin kemenangan. Pada dua pilpres sebelumnya (2014 dan 2019), Prabowo menang di Jabar dan Banten, namun kalah di Jateng dan Jatim.
Atas alasan itulah maka Surya Paloh meminang Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, sebagai Cawapres Anies Baswedan, tanpa mengajak bicara PKS dan Demokrat. Akibatnya, Demokrat dan SBY hengkang dari koalisi perubahan, sementara PKS tak punya pilihan lain kecuali tetap bertahan. Anies mengamini langkah kilat Paloh itu karena berharap suara AMIN bakal terdongkrak, mengingat PKB adalah partai terkuat di Jatim.
Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Menurut Quick Count, PKB memang tetap meraup suara terbesar di Jatim dalam pileg 2024 ini, dengan mengantongi 16,6% suara. Sementara Nasdem dan PKS masing-masing memperoleh 7,31% dan 5,05%. Total suara ketiga koalisi AMIN itu adalah 28,96%. Jika ditambah pemilih Partai Umat 1,32%, mestinya AMIN sekurangnya meraih 30,28%. Ditambah pendukung PPP dan PAN yang mencelat memilih AMIN, maka pasangan ini bisa meraih sekurangnya 31% - 32%.
Anehnya, Di Jatim AMIN hanya meraup separuhnya, yaitu 15,86%. Dapat diyakini, suara itu berasal dari pendukung PKS dan Partai Umat yaitu sebesar 6,37%, sebagai pendukung militan AMIN. Sisanya sebesar 9,5% berasal dari pendukung PKB, Nasdem, dan mungkin juga serpihan PAN dan PPP.
Dari data di atas, agaknya pemilih PKB dan Nasdem bermain dua kaki, memilih kandidat partai untuk Pileg, tetapi Prabowo-Gibran untuk Pilpres. Data yang dilansir Poltracking, hanya sepertiga pemilih PKB (5%) yang mencoblos pasangan 01, sementara sisanya menusuk 02. Hal yang juga terjadi pada pemilih Nasdem.
Baca juga: Akal Sehat VS Syahwat
Jika di Jatim pemilih PKB yang “dimakan” pasangan Prabowo-Gibran, di Jateng pasangan ini berhasil menggembosi suara pasangan Ganjar-Mahfud. Pada pemilu 2019, pasangan Jokowi-Ma’ruf yang didukung PDIP meraup 77,22% suara, kini pasangan 03 dukungan koalisi PDIP hanya meraih 34,43%, atau kurang dari separuhnya. Padahal, selama berkali-kali Pilpres, Jateng adalah basis capres yang diusung PDIP.
Pertanyaannya, apa senjata maut yang membuat pasangan 02 menang telak di Jatim dan Jateng? Menarik untuk disimak dialog seorang ustadz pendukung AMIN dengan mantan santrinya yang kini mengabdi di kampung halamannya, Blitar berikut ini:
Ustadz: “Zar, Kenapa daerah antum 02 bisa mendominasi? Apa faktor dan alasannya?”
Santri: “Strategi bansos mulus, tadz.”
Ustadz: “Bansos memang joss banget, ya?... Memang apa yang dibicarakan orang-orang setelah dapat bansos?”
Santri: “Keberlanjutan dari bansos itu tadz, orang sepuh yang minim literasi beranggapan, ‘cuma Pak Prabowo yang bisa lanjutin kerjanya Pak Jokowi’. Beberapa juga yang ana tanyain, memilih juga karena dikasih bansos, tadz.”
Ustadz: “Kalau yang anak mudanya gimana?... Bukannya harga-harga pada naik? Pupuk dan pakan mahal?”
Santri: “Kalau yang anak muda, ana juga heran, teman-teman malah kagum sama Gibran yang bisa bikin Solo jadi bagus katanya, dan memaklumi pelanggaran yang dibuat… Apalagi bansos menjelang pemilu jor-joran, tadz. Dan sekarang sangat dipermudah. Tinggal ambil sendiri di ATM… Satu lagi, money politic luar biasa di kampung ana, tadz.”
Dialog di atas setidaknya menjelaskan mengapa Jokowi menggelontorkan bansos menjelang pemilu. Bahkan, Menkeu Sri Mulyani harus menelisik anggaran Kementerian dan Lembaga Negara yang bisa dialihkan untuk Bansos senilai 50 trilyun Rupiah lebih. Jokowi paham betul, sejak zaman baheula, rakyat itu akan ikut siapa yang dianggapnya bisa membantu atau memberi sesuatu. Utamanya di Jawa. Ada ungkapan Pejah Gesang Nderek Gusti. Orang yang dianggap mewakili Gusti itu ya para raja (penguasa) dan Kiai. Prinsip itu sudah mendarah daging, membuat mereka tidak peduli dari mana asal muasal pemberian itu, karena percaya penuh bahwa raja/penguasa atau Kiai itu adalah orang baik.
Salah satu contohnya adalah Pangeran Diponegoro. Ia dikenal sebagai priyayi yang peduli rakyat kecil, sehingga rakyat kecil di sekelilingnya mau berjuang bersamanya melawan Belanda. Begitu pula halnya dengan Kiai. Kiai tidak sekadar memberi santrinya ilmu dan janji surga, tetapi juga menjamin kehidupan duniawi mereka. Kiai bukan saja tidak pernah minta bayaran, tetapi malah menyediakan tanahnya untuk kobong (pondokan santri) serta sawah, kebun, atau empangnya, untuk konsumsi. Bahkan tidak sedikit Kiai yang punya usaha dan lumayan kaya. Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari, misalnya, punya kebun tebu dan pabrik gula.
Dengan posisi sosial yang sakral dan secara ekonomis menjadi tangan yang di atas, logis jika berlaku Pejah Gesang Nderek Kiai. Persoalannya, meski pun di masa kini banyak Kiai yang tidak lagi tajir, namun ia tetap mendapat kedudukan yang tinggi di mata masyarakat, termasuk pejabat dan politikus. Bahkan terjadi simbiosis mutualistik antara Kiai dengan politikus dan pejabat. Di sisi inilah para pendukung PKB tetap militan memilih caleg PKB, tetapi saat memilih presiden/wakil presiden melihat siapa yang bisa memberi manfaat logistik ekonomis.
Maka, kritik Anies Baswedan, “Bansos itu harus memberikan manfaat kepada yang menerima, bukan kepada pemberinya”, menjadi tidak bergaung. Itu adalah bahasa kaum elite intelektual. Bukan bahasa orang awam. Jebulnya, rakyat memilih Prabowo-Gibran. (bersambung)