Sepekan Rezim Prabowo: Dari Kabinet Seken Hingga Pembekalan Mengabaikan Panggilan Allah
Sepekan sudah Prabowo resmi menjadi Presiden Republik Indonesia untuk lima tahun ke depan, sejak ia dilantik pada Ahad, 20 Oktober lalu. Di dalam kekuasaan yang baru hitungan hari, ada beberapa catatan yang menarik untuk dikulik. Catatan pertama, gerak cepat Prabowo mengumumkan serta melantik jajaran kabinet dan lembaga negara keesokan harinya. Ada 48 Menteri, 5 Kepala Badan, dan 56 Wakil Menteri dalam kabinet yang dinamai Kabinet Merah Putih. Jumlah super jumbo ini hampir sama dengan sederet orang yang dipanggil ke rumahnya di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, sepekan sebelumnya. Kabinet super jumbo ini juga memecahkan rekor kabinet 100 menteri di era Soekarno.
Prabowo beralasan, jumlah itu diperlukan lantaran Indonesia ini negara besar. Tetapi benarkah karena negara besar lantas memerlukan kabinet super besar? Faktanya, banyak negara berpenduduk besar dan berpengaruh di dunia ini anggota kabinetnya ramping. Presiden AS Joe Biden dan Wapres Kamala Harris hanya dibantu 15 menteri kabinet dan 9 pejabat setingkat menteri. Adapun China di bawah Xie Jin Ping memiliki 21 Kementerian, 3 Komisi, dan 8 anggota Dewan Negara. Sementara anggota Kabinet Rusia di bawah Presiden Vladimir Putin hanya 32 orang, termasuk Perdana Menteri.
Kabinet super jumbo ala Prabowo ini tak pelak memunculkan sederet pertanyaan. Pertama, kesan bahwa kabinet jumbo ini tampak sebagai ajang bagi-bagi jabatan kepada parpol pendukung dan relawan tak terhindarkan. Golkar mendapatkan porsi paling besar yakni 8 Menteri dan 3 Wakil Menteri. Belum menghitung LBP yang diangkat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional dan Penasihat Khusus Presiden. Begitu juga dengan Gerindra, PAN, dan Demokrat. Ditambah lagi keberadaan sejumlah nama yang tidak jelas track record-nya kecuali menyanjung dan menjilat.
Kedua, kabinet ini tidak mencerminkan Hak Prerogatif Prabowo sebagai Presiden. Masuknya hampir separuh mantan Menteri Jokowi yang kinerjanya biasa-biasa saja – untuk tidak mengatakan memble – serta diangkatnya LBP dalam dua jabatan prestisius, mengesankan kabinet ini diwarnai titipan dan tekanan. Maka, wajar kalau ada yang menyebutnya “Kabinet Prabowo Rasa Jokowi”. Itu satire yang wajar, mengingat sepekan sebelum pemanggilan para calon menteri ke Kertanegara, Prabowo dua kali bertemu Jokowi. Pertama di Istana Negara Jakarta, kedua di kediaman Jokowi di Solo.
Gembor-gembor sebelumnya bahwa Prabowo akan membentuk Zaken Kabinet hilang ditelan angin. Yang muncul justru Kabinet Seken.
Kabinet jumbo ini tentu berimplikasi pada membengkaknya biaya untuk membayar gaji dan fasilitas mereka. Padahal, negara tengah dililit gurita utang, sementara rakyat didera kesulitan ekonomi. Bagusnya, Presiden Prabowo dalam pengarahannya meminta Kementerian/Lembaga negara memangkas kegiatan yang tidak terlalu penting semisal kunjungan ke luar negeri, seminar, dan sejenisnya. Di saat yang sama, ia juga memerintahkan Menteri Keuangan untuk lebih selektif dan memotong anggaran yang tidak diperlukan rakyat. Pendek kata, Presiden Prabowo ingin agar anggaran negara diarahkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Akankah harapan Prabowo itu diikuti para pembantunya dan jajaran birokrasi di bawahnya ataukah sekadar retorika pelipur lara? Kelak waktu yang akan menjawabnya. Satu hal yang pasti, kebobrokan birokrasi di “negeri Konoha” ini sudah sedemikian kronis. Seorang Zarof Ricar saja bisa menghimpun hasil korupsi dan gratifikasi hampir satu triliun Rupiah hanya dalam waktu 10 tahun (2012-2022) berdinas di MA. Padahal, jabatan terakhirnya hanyalah Kepala Balitbang Diklat Kumdil. Jabatan yang tidak langsung bersentuhan dengan perkara dan biasanya diberikan kepada sosok yang dianggap relatif “bersih”. Dari kasus Zarof ini, bisa diduga kasus-kasus korupsi dan gratifikasi bernilai puluhan hingga ratusan triliun Rupiah di sejumlah kementerian/lembaga yang sempat viral bukan isapan jempol.
Catatan kedua adalah kegiatan pembekalan anggota kabinet selama tiga hari (25-27 Oktober) di Akmil Magelang. Kegiatan yang dinamakan “Retret Kabinet Merah Putih” itu mencederai perasaan kaum muslimin. Mengapa menggunakan istilah “Retret” dan bukan “Pembekalan”?
Retret dalam KBBI disebut upaya mengasingkan diri dari hiruk pikuk keseharian untuk mencari ketenangan dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Maksud yang baik, namun istilah retret itu identik dengan agama Kristiani. Padahal, mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Begitu juga, mayoritas anggota kabinet dan para petugas di Akmil Magelang adalah muslim. Memang, tidak perlu menggunakan istilah islami semisal Muhasabah, Tafakkur, Tadabbur, dan seterusnya, tetapi jangan juga menggunakan istilah yang identik dengan Kristen. Padahal, bisa memakai nama “pembekalan” atau lainnya dalam bahasa Indonesia. Atau mungkin hal itu memang yang diinginkan Prabowo sebagai toleransi dan moderasi?
Bahwa ibu, kedua kakak Perempuan, dan adik laki-laki Presiden Prabowo adalah non muslim, itu hak asasi yang dijamin Konstitusi. Hal yang juga dinyatakan Allah Swt dalam Al Qur'an, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama” (QS Al Baqarah:256), “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS Al Kafirun:6). Namun, mengunakan istilah khas Kristiani dalam kegiatan resmi kenegaraan di negara yang mayoritas penduduknya muslim adalah keliru besar dan menyiratkan keangkuhan.
Bukankah tesis Pak Prabowo selama ini adalah negara dan pemerintah harus selalu beriringan dengan rakyat? Dengan begitu, seluruh kekuatan bangsa bisa kompak. Di Indonesia yang mayoritasnya muslim, semestinya Presiden memahami dan mengemong perasaan umat Islam, tanpa mengabaikan hak-hak golongan lainnya. Semoga ke depan hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Yang aneh, mengapa tidak ada anggota kabinet beragama Islam yang mengkritisi hal itu? Padahal, mereka banyak yang Profesor Doktor Ilmu agama, ulama, Ustadz, dan Kiai. Sebegitu silaukah jabatan dan kekuasaan, sehingga lidah mereka kelu untuk menyampaikan kebenaran?
Catatan lain selama pembekalan di Akmil adalah seragam Komcad yang dipakai para anggota kabinet serta kegiatan baris berbaris ala tentara yang santer terkesan bersifat militeristik. Apalagi, Prabowo memang berlatarbelakang militer serta pernah menjadi Danjen Kopassus dan Pangkostrad. Soal ini, Presiden Prabowo langsung menepis. Katanya, seragam dan kegiatan ini dimaksudkan untuk menanamkan heroisme dan disiplin.
Namun anehnya, sebagai pemimpin negara, beliau tidak disiplin terhadap aturan waktu shalat yang ditetapkan Allah dan Rosul-Nya. Kegiatan Parade Senja dimulai pukul 17.30, sementara waktu magrib di Magelang 17.35. Artinya, kegiatan Parade Senja yang berlangsung sekitar 50 menit itu nyaris mengambil seluruh waktu magrib. Hanya tersisa waktu sekitar 25 menit hingga datangnya waktu Isya.
Mungkin ada yang apologi, kan bisa shalat jama' qashar ta'khir. Bagi Pak Prabowo dan anggota kabinet yang tidak tinggal di Magelang, memang bisa shalat jama' ta'khir. Tetapi bagaimana dengan petugas di Akmil yang bermukim di Magelang? Mereka tetap harus shalat pada waktunya. Semoga saja di sisa waktu yang ada mereka sempat melaksanakan shalat magrib. Namun, jika lantaran kegiatan Parade Senja itu mereka tak sempat shalat magrib, maka Presiden Prabowo ikut menanggung dosanya.
Sebab, beliaulah yang menggagas acara dan berkuasa sepenuhnya mengatur acara. Bukankah acara Parade Senja itu bisa dimajukan ke pukul 16.30 sehingga berakhir sebelum waktu magrib? Atau dimundurkan 30 menit jadi jam 18.00, sehingga anggota kabinet dan para petugas bisa shalat magrib terlebih dahulu? Bahkan, semestinya shalat berjamaah itu menjadi agenda pembekalan anggota kabinet, sehingga mereka tidak saja digembleng wawasan dan fisik, tetapi juga rohani.
Mungkin Presiden lupa – atau tidak tahu – shalat itu merupakan salah satu Rukun Islam, dan satu-satunya kewajiban yang tidak ada dispensasi. Ibadah lain semisal Puasa, Zakat, dan Haji, ada dispensasi. Orang yang sakit, hamil, menyusui, musafir, sudah tua, pekerja berat, boleh tidak puasa Ramadhan. Diganti di hari lain atau membayar fidyah. Haji hanya bagi yang mampu. Zakat maal wajib bagi yang punya kelebihan. Orang fakir dan miskin malah berhak mendapat zakat.
Hanya shalat satu-satunya ibadah yang tidak ada dispensasi. Bahkan dalam keadaan perang sekali pun. Yang ada adalah keringanan dalam cara melaksanakannya. Jika tidak bisa berdiri, boleh duduk. Tidak mampu duduk, bisa sambil berbaring. Begitu pun kebolehan shalat jama' (menggabung) dan qashar (meringkas) pada situasi dan kondisi tertentu. Apalagi, ini menyangkut shalat magrib yang waktunya pendek dan sunnah disegerakan pelaksanaannya.
Pak Prabowo lupa, kemerdekaan yang kita raih bukan karena heroisme para pejuang, tetapi karena berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Hal itu dituangkan dalam pembukaan UUD ‘45. Perlawanan dan heroisme para pejuang adalah ikhtiar, tetapi Allah yang menentukan semuanya. Bagaimana bisa meraih keberhasilan program Kabinet Merah Putih tanpa dukungan dan pertolongan Allah? Bagaimana mungkin pertolongan Allah akan datang, jika pembekalan kabinet diawali dengan mengabaikan panggilan Allah? Apakah tidak ada anggota kabinet yang bergelar ustadz, kiai, ulama, tokoh partai/ormas Islam yang mengingatkan beliau? Sungguh Ironis.
Sekadar mengingatkan Pak Prabowo, tidak ada latihan disiplin dan heroisme lebih top dari melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Lihatlah bagaimana para pejuang HAMAS gagah perkasa melawan kezaliman zionis Israel. Senjata utama mereka adalah shalat dan Al Qur'an.
Anggaplah kemarin itu Presiden Prabowo khilaf. Sebab, manusia memang tempatnya salah dan khilaf. Dan sebaik-baik manusia yang salah dan khilaf adalah mereka yang bertaubat. Semoga ke depan Pak Prabowo tak lagi mengulangi kesalahan yang sama dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Dengan begitu, harapan dan keinginan yang ingin dicapai bisa terwujud. Bukankah Nabi Muhammad saw menyatakan, salah satu golongan manusia yang tidak akan ditolak doanya oleh Allah Swt adalah doa pemimpin yang adil? Keadilan adalah buah dari ketaqwaan.