Cina Damaikan HAMAS dan FATAH, Mengapa Bukan Negara Muslim?
Saya merasa heran. Mengapa harus Cina (Tiongkok) yang memfasilitasi rekonsiliasi faksi Hamas – Fatah?
Saya berpikir, bukankah yang lebih pantas memfasilitasi dalam mendamaikan atau rekonsiliasi kedua faksi itu adalah negara muslim atau OKI? Mengapa ini malah negara yang bukan muslim (Cina)? Apakah karena Cina dianggap netral terhadap masalah Palestina, khususnya terkait Hamas - Fatah? Malu rasanya melihat hal ini.
Hamas dan Fatah memang sudah seharusnya bersatu dalam menjalankan pemerintahan Palestina jika sudah diakui sebagai negara oleh komunitas internasional. Hamas atau Fatah tak boleh saling mendominasi. Keduanya harus bersama-sama membangun Palestina, jika peperangan telah berakhir.
Begitu juga negara-negara Arab dan negara muslim lainnya. Sudah semestinya negara-negara Arab dan negara muslim lain membantu Palestina. Jangan menjadi kaki tangan Amerika dan sekutunya yang selama ini mendukung Israel.
Rabu, 24/7/2024
Hamas, Fatah, dan kelompok-kelompok Palestina lainnya menandatangani kesepakatan “persatuan nasional” di Cina. Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, menjadi tuan rumah acara bagi Wakil Ketua Fatah, Mahmoud al-Aloul, dan Anggota Senior Hamas, Mussa Abu Marzuk, untuk bertemu di Wisma Negara Diaoyutai di Beijing, Tiongkok (Cina), Selasa (23/7/2024). “Kami berkomitmen pada persatuan nasional dan kami menyerukannya,” kata mereka.
Beberapa faksi Palestina, termasuk Hamas dan rival mereka Fatah, menanda tangani kesepakatan “persatuan nasional” di Beijing pada hari Selasa, dengan tujuan untuk mengakhiri perpecahan mereka dan menciptakan sebuah platform untuk bersama-sama memerintah Gaza pascaperang. Penanda tanganan itu mengakhiri dialog rekonsiliasi selama tiga hari antara 14 kelompok Palestina di ibukota Cina.
Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, menggambarkan kesepakatan tersebut sebagai kesepakatan untuk memerintah Jalur Gaza secara bersama-sama setelah perang yang sedang berlangsung ini berakhir. “Hal yang paling menonjol adalah kesepakatan untuk membentuk pemerintahan rekonsiliasi nasional sementara untuk mengatur pemerintahan Gaza pasca perang,” katanya.
“Rekonsiliasi adalah urusan internal faksi-faksi Palestina, tetapi pada saat yang sama, hal itu tidak dapat dicapai tanpa dukungan komunitas internasional,” tambahnya.
Sementara beberapa upaya rekonsiliasi antara kelompok-kelompok Palestina yang berseteru telah gagal di masa lalu, seruan untuk melakukan upaya-upaya baru telah meningkat sejak dimulainya perang. Hamas dan Fatah sebelumnya telah bertemu di Cina pada bulan April untuk membahas upaya rekonsiliasi guna mengakhiri perselisihan yang telah berlangsung selama 17 tahun.
Otoritas Palestina yang dipimpin Fatah mengelola sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki, sementara Hamas telah menjadi penguasa de facto di Gaza sebelum perang saat ini. Kedua kekuatan tersebut telah terlibat dalam persaingan politik selama beberapa dekade. Setelah Hamas memenangkan pemilu legislatif pada tahun 2006, anggota Fatah bentrok dengan kelompok tersebut, yang mengakibatkan Hamas menguasai sepenuhnya Jalur Gaza.
Pada bulan Mei, seorang sumber senior Palestina yang mengetahui kebijakan Hamas mengatakan kepada MEE bahwa Hamas siap untuk menunjukkan “fleksibilitas” mengenai pemerintahan Gaza di masa depan, selama keputusan untuk memerintah daerah kantong yang dilanda perang itu disepakati oleh faksi-faksi Palestina lainnya dan tidak dipaksakan oleh Amerika Serikat atau Israel.
(Sumber: Gaza Media)