Cinderella vs Siti Hajar

Hari raya Idul Adha sebentar lagi tiba. Di dalam momen hari raya terbesar umat Islam itu, biasanya berseliweran kisah-kisah Nabi, khususnya Nabi Ibrahim Alaihissalam. Baik yang isinya sekadar menceritakan kisah tentang perintah penyembelihan Nabi Ismail Alaihissalam atau seluruh kisah perjalanan Nabi Ibrahim.

Di antara cerita yang banyak dikisahkan di bulan Haji ini adalah kisah Siti Hajar dan bayi Ismail di gurun. Dari kisah itu, kita biasanya mengambil hikmah tentang Syariat Sa’i antara Shafa dan Marwah. Padahal, kalau kita mau lebih merenungkan, kisah ini sangat dalam filosofinya untuk membentuk karakter seorang Muslimah.

Anak-anak perempuan kita atau adik-adik perempuan kita sejak kecil “digempur” dengan kisah-kisah dongeng Princess yang entah apa faedahnya. Dongeng Princess itu tidak pula membentuk karakter Muslimah yang imannya tangguh. Mereka malah justru berkhayal ingin menjadi Princess, menikah ala-ala Princess, dilayani seperti Princess, dan ketika menghadapi kesulitan hidup mereka banyak mengeluh dan tidak bisa survive.

Kalau kita review dari segi mana pun, kisah Cinderella dan kisah-kisah Princess lainnya tidak akan bisa mengungguli kelebihan kisah Siti Hajar. Simpel. Pertama, kita lihat dari jenis kisahnya: Fiksi. Jelas kisah-kisah Princess hanya rekaan semata. Dongeng. Tidak real dan tidak mencerminkan realita. Sedangkan kisah Siti Hajar adalah real story dan sejarah kota Makkah.

Kedua, kita lihat sisi ujian hidup tokoh di dalam kisahnya. Jelas, Siti Hajar dalam ujiannya tinggal di gurun bersama bayinya lebih berat daripada ujian si Cinderella. Siti Hajar berhadapan dengan kematian di padang gersang nan kosong bersama bayinya. Tetapi ia tidak mengeluh kepada Tuhannya dan tidak marah kepada suaminya, Nabi Ibrahim, karena yakin Allah sedang mengujinya.

Baca juga: Jembatan Qantharah Setelah Jembatan Shirath

Ketiga, dari segi perjuangan tokoh di ceritanya, Cinderella begitu mudah mendapatkan jalan keluar yakni sepatu kaca ajaib yang bisa membuat dia datang ke pesta dan bertemu pangeran tampan. Sedangkan Siti Hajar harus bolak-balik antara Shafa dan Marwah untuk mencari bantuan. Lalu, kesedihannya semakin menjadi ketika melihat Ismail menangis karena makin kehausan. Namun, sampai titik puncaknya ini imannya tak goyah, tak mempertanyakan maksud Allah atas semua ujian ini.

Lalu datanglah pertolongan Allah berupa Malaikat yang menggali mata air zam-zam yang berubah menjadi sumur air. Selesai? Tidak. Hawa bertahan hidup beberapa waktu di situ hingga rombongan Musafir dari Yaman datang melintas dan melihat ada sumber air. Hajar dan rombongan Bani Jurhum lalu bernegosiasi soal sumur. Lama kelamaan, Bani Jurhum ini menetap di sana dan dari sinilah cikal bakal kota Makkah.

Kisah Cinderella berakhir dengan ia menikah dengan pangeran tampan dan kaya lalu hidup bahagia selama-lamanya, seolah kebahagiaan tertinggi adalah punya suami tampan dan kaya. Berbeda dengan ending kisah Siti Hajar yang hidup bersama Ismail dan mendidik Ismail dengan iman dan takwa yang dipersiapkan untuk ujian-ujian keimanan ke depannya. Yang selanjutnya, ujian Nabi Ismail adalah perintah penyembelihan Ismail sebagaimana yang kita sudah tahu.

Lihatlah. Inilah esensi pernikahan bagi muslimah sejati. Yakni mendidik generasi selanjutnya menjadi saleh dan salehah, bukan berorientasi kepada ketampanan, kekayaan pasangan, dan rumah megah layaknya hidup di negeri khayalan.

Kesimpulan

Maka, mulai biasakanlah diri kita dan anak-anak kita untuk membaca kisah-kisah yang sahih, valid, yang bermanfaat bagi iman dan takwa kita, serta membuat kita survive dalam ujian keimanan yang baru akan berakhir ketika ajal menjemput kita.

Wallahu a'lam bishowab.