Dakwah Melalui Politik
Substansi dakwah Islam adalah menegakkan nilai-nilai yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar. Ma'ruf mencakup semua hal yang disukai dan diridhai Allah ﷻ, baik perkataan, perbuatan lahir, maupun batin. Amar ma'ruf berarti memotivasi, menyeru, memantapkan landasan untuk tegaknya segala yang ma'ruf. Sedangkan mungkar adalah kebalikannya, yaitu semua yang dibenci dan dimurkai Allah ﷻ, baik perkataan, perbuatan lahir, maupun batin. Dan nahyul munkar adalah upaya memberi peringatan, menjauhkan, dan menghilangkan semua sebab yang dapat memunculkan kemungkaran.
Medan amar ma'ruf dan nahi munkar amat luas. Cakupannya setara dengan medan integralitas Islam (syumuliyatul Islam) yang mencakup akidah, akhlak, ibadah, dan syariat. Syariat meliputi aspek ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, bahkan politik. Itulah pengejawantahan kesempurnaan Islam sebagai sistem yang meletakkan prinsip, membuat ketetapan hukum, dan menjelaskan tuntunan yang berkaitan dengan kehidupan individu, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Jadi, kemungkaran tidak boleh dipandang secara sempit, misalnya, sebatas pelacuran, penghalalan minuman keras, perjudian, pencurian, dan sebagainya. Menginjak-injak hak rakyat, pelanggaran HAM, monopoli, manipulasi jumlah suara dalam pemilu, korupsi, kronisme, nepotisme, menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, sogok menyogok, jilat menjilat, loyal terhadap musuh umat, dan hal-hal lain yang sangat terkait dengan kehidupan politik dan pengelolaan negara, semuanya merupakan kemungkaran yang sangat buruk dan wajib dicegah.
DR. Yusuf Al-Qardhawi pernah menyatakan kalimat pendek yang sarat makna, yaitu “Islam tanpa politik, tidak ada artinya.”
Beliau juga menegaskan bahwa terlepasnya simpul politik dari ajaran Islam akan menjadikan Islam seperti agama-agama selainnya. Karena itu, amar ma'ruf nahyul munkar di bidang politik menjadi penting. Sama halnya dalam sektor kehidupan lain, amar ma'ruf nahyul munkar dalam konteks politik adalah wajib hukumnya.
Al Qur'an dan sunnah dengan tegas mengecam sikap pasif terhadap kemungkaran, dalam segala bentuknya. Firman Allah ﷻ, “Telah dilaknat orang-orang kafir dari bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” – QS. Al Maidah:78-79
Baca juga: Buah Ketabahan
Rasulullah ﷺ bahkan mengaitkan sikap pasif seseorang dalam mencegah kemungkaran dengan kelemahan iman. “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Namun, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” – HR. Muslim
Keengganan seorang muslim untuk menegakkan amar ma'ruf nahyul munkar melalui partai — jika didapati partai yang sungguh-sungguh memperjuangkan Islam — menunjukkan lemahnya komitmen memperjuangkan Islam. Sikap seperti ini yang harus diluruskan. Sebab, jika keengganan ini terus menggejala dan berkembang, boleh jadi risalah Islam akan menjadi komponen marginal. Yang lebih berbahaya, kaum muslimin akan menjadi santapan dan bulan-bulanan musuh-musuhnya, di mana pun mereka berada. Padahal, merekalah yang seharusnya menyandang predikat sebagai umat terbaik, sebagaimana firman Allah swt: “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” – QS. Ali Imran:110
Rasul juga dengan tegas mengecam orang yang takut menyuarakan kebenaran di hadapan orang zalim. Sabda beliau, “Jika kulihat umatku gentar berkata kepada orang zalim, 'Hai orang zalim!' maka mereka tidak layak lagi untuk hidup.” – HR. Ahmad
Ringkas kata, konsekuensi iman seorang muslim menuntut dia untuk tidak pasif dalam menghadapi kemungkaran, apa pun bentuknya. la harus meluruskan dan mengubah kemungkaran dengan menggunakan tangan jika sanggup. Jika tidak, ia bisa menggunakan lidah dan keterangan. Jika tidak sanggup juga, ia harus beralih ke cara yang paling rendah, yaitu tidak menyetujui perbuatan mungkar itu dalam hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.
Banyak musibah yang akan muncul jika misi amar ma'ruf nahyul munkar tidak tegak dalam sistem pemerintahan. Pertama adalah kemurkaan Allah, yang setidaknya terwujud dalam bentuk ditolaknya doa kita. Rasul ﷺ bersabda, “Dan demi Zat Yang jiwaku ada di dalam kekuasaan-Nya, kalian akan tetap memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar. Atau bila tidak, Allah akan memberi hukuman kepada kalian. Dan bila kalian berdoa, doa itu tidak dikabulkan-Nya.” – HR. Ahmad dan Turmudzi
Kedua, semakin kokoh dan kuatnya kekuasaan al-bathil yang menjadikan bumi sebagai sarang kerusakan dan kebobrokan. Dan berdampak pada merajalelanya kemungkaran di berbagai bidang. Allah ﷻ berfirman, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja Nasrani, sinagog-sinagog Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya disebut nama Allah.” – QS. Al-Hajj:40
Jika hal ini terjadi, berarti hancurlah sendi-sendi kehidupan harmonis di dalam masyarakat.
Sabda Rasulullah ﷺ berikut ini patut kita renungkan dalam-dalam: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah di suatu umat sebelumku, melainkan dia mempunyai para sahabat setia dan rekan-rekan yang melaksanakan sunnahnya dengan mengikuti perintahnya. Kemudian datang sesudah mereka orang yang mengatakan apa yang tidak dikatakan para Nabi, melakukan apa yang tidak diperintahkan para Nabi itu. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka dia adalah orang mukmin. Barangsiapa memerangi mereka dengan lidahnya, maka dia adalah orang mukmin. Dan barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya, maka dia adalah orang mukmin. Setelah itu tidak ada lagi iman sekalipun hanya sebiji sawi.” – HR. Muslim
Wallahu a'lam bishawab
Penulis: Hawari Aulia (Artikel ini disadur dari Majalah Sabili No. 15 TH. VI FEBRUARI 1999/23 SYAWAL 1419)