Dari BKR Hingga TNI

BKR dibentuk sebagai sebuah badan negara yang bertugas menjaga keamanan rakyat. Awalnya, tanggal 19 Agustus 1945, para perintis kemerdekaan dari golongan muda mengusulkan rancangan pembentukan tentara Indonesia sebagai kelengkapan negara yang merdeka. Rancangan tersebut juga disiapkan untuk menghadapi tentara Jepang, yang saat itu masih berada di Indonesia dan memiliki persenjataan lengkap.

Waktu itu, bangsa Indonesia sudah mengenal latihan militer. Sebab, sebelum Indonesia merdeka, banyak pemuda yang ikut tergabung dalam tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). PETA atau Kyōdo Bōei Giyūgun adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang saat masa pendudukan Jepang di Indonesia. Tepatnya, PETA dibentuk pada 3 Oktober 1943 sebagai Tentara Sukarela berdasarkan maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada.

Jepang membubarkan PETA ketika mereka mendengar ada rancangan pembentukan tentara Indonesia. Maka, rancangan pembentukan tentara Indonesia itu diubah menjadi maklumat pembentukan BKR. Pada 22 Agustus 1945 BKR dibentuk. Presiden Soekarno meresmikan terbentuknya BKR pada 23 Agustus 1945. Arudji Kartawinata diangkat sebagai komandan BKR Ketika itu. Setelah itu, seluruh jajaran pemerintahan di daerah lantas membentuk BKR di daerah masing-masing.

Tetapi, sebelum BKR terbentuk, sebenarnya sudah ada cikal bakal pembentukan organisasi militer di Indonesia. Di dalam proses pembentukan organisasi militer itu, ada kontribusi para kiai dan santri. Sebab, di saat suasana menjelang kemerdekaan Indonesia, banyak pondok pesantren yang telah membentuk laskar-laskar kesatuan perjuangan semi militer dari kelompok Islam yang dilandasi niat jihad fi sabilillah, berjuang di jalan Allah untuk menegakkan agama dan negara.

Guna mewujudkan niat jihad fi sabilillah itu, dibentuklah Laskar Hizbullah. Laskar Hizbullah atau Tentara Hizbullah Indonesia adalah laskar rakyat pada masa perjuangan kemerdekaan, yang anggotanya terdiri dari para kiai, pemuda Islam, dan santri. Namun, setelah Indonesia Merdeka, Laskar Hizbullah jarang disebut-sebut dalam sejarah sebagai cikal bakal organisasi militer di Indonesia. Salah satu sebabnya adalah, meski berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan, tetapi Tentara Hisbullah dianggap juga memiliki andil dalam beberapa gerakan yang disebut sebagai pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia ketika itu.

Setelah BKR dibentuk, dipandang perlu untuk membuat struktur oragnisasinya. Dikutip dari detik.com, para pemuda dan mantan anggota PETA, antara lain Latief Hendraningrat, Kaprawi, Arifin Abdurrachman, Machmud, dan Zulkifli Lubis, kemudian merumuskan struktur BKR sesuai dengan teritorial pendudukan Jepang. Tak hanya BKR Darat, BKR Laut juga dibentuk. Tokohnya adalah Mas Pardi, RE Martadinata, Adam, dan R Suryadi.

Baca Juga : Mengenang Pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah, Bekasi

Ketika itu, para anggota BKR dan pejuang muda berkeinginan agar pemerintah Republik Indonesia segera membentuk tentara Indonesia yang resmi. Situasi Indonesia yang saat itu belum aman karena tentara sekutu datang ke Indonesia mempercepat terwujudnya keinginan itu. BKR lantas diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Oerip Soemohardjo diangkat sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal.

Menjadi TNI

Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo lalu menyusun TKR dengan 10 Divisi di Jawa dan 6 Divisi di luar Jawa. Kolonel Soedirman memimpin salah satu divisi di antara 10 Divisi TKR di Jawa yang berkedudukan di Purwokerto. Setelah TKR terbentuk, pada 6 Oktober 1945 Presiden Soekarno mengangkat Suprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Pemimpin Tertinggi TKR. Namun, Suprijadi tak pernah muncul.

Pada 12 November 1945, TKR mengadakan konferensi di Yogyakarta. Di dalam konferensi tersebut, Kolonel Soedirman terpilih sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Sebelumnya, Soedirman yang merupakan Kader terbaik Hizbul Wathan dan pernah tergabung dalam PETA itu juga pernah melatih tentara pribumi di Banyumas.

Nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sempat diganti menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Perubahan nama itu berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 2 Tanggal 7 Januari 1946. Tujuannya untuk memperluas fungsi ketentaraan dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keamanan rakyat Indonesia. Sembilan belas hari kemudian, 26 Januari 1946, pemerintah mengeluarkan maklumat tentang penggantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Perubahan nama itu seiring kebijakan untuk menyempurnakan organisasi tentara Indonesia sesuai dengan standar militer internasional.

Namun, kala itu TRI sering berselisih paham dengan laskar-laskar dan badan perjuangan rakyat. Ketika itu, laskar-laskar dan badan perjuangan rakyat yang dibentuk di daerah-daerah memang turut aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maka, untuk mencegah terjadinya perpecahan, pemerintah menyatukan TRI dengan badan perjuangan rakyat yang lain. Presiden Soekarno pada 15 Mei 1947 mengeluarkan ketetapan untuk menyatukan TRI sebagai tentara reguler dengan badan perjuangan rakyat, menjadi satu organisasi tentara.

Mengutip tni.mil.id, tanggal 3 Juni 1947, Presiden Soekarno meresmikan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keputusan itu sekaligus mengubah nama TRI menjadi TNI. Jadi, Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia, sebagai usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara kebangsaan, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan.

Di saat-saat kritis selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), TNI berhasil mewujudkan dirinya sebagai tentara rakyat, tentara revolusi, dan tentara nasional. Sebagai kekuatan yang baru lahir, selain menata diri, di waktu bersamaan TNI harus pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri, TNI menghadapi ragam rongrongan, antara lain dari golongan komunis yang ingin menempatkan TNI di bawah pengaruh mereka, lewat pemberontakan PKI di Madiun yang dapat mengancam integritas nasional. Juga ada tantangan dari luar negeri, yaitu TNI dua kali menghadapi Agresi Militer Belanda yang memiliki organisasi dan persenjataan jauh lebih modern.

Baca Juga : Jenderal Soedirman dan Api Perjuangan yang Tak Pernah Padam

Menghadapi agresi militer Belanda, TNI dan bangsa Indonesia melaksanakan Perang Rakyat Semesta. Seluruh kekuatan TNI dan rakyat serta sumber daya nasional dikerahkan untuk menghadapi agresi militer Belanda. Di sana terlihat, betapa integritas dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dapat dipertahankan oleh kekuatan TNI yang bersatu bersama rakyat.

Perkembangan selanjutnya, Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk di akhir tahun 1949 sebagai konsekuensi keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Di masa itu, dibentuklah pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang merupakan gabungan TNI dan KNIL dengan TNI sebagai inti. Bulan Agustus 1950, ketika RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, APRIS berganti nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Di periode 1950-1959, pemerintah menganut sistem demokrasi parlementer. Tak urung, hal itu  mempengaruhi TNI, karena campur tangan politisi yang terlalu jauh dalam masalah internal TNI, mendorong TNI terjun dalam kegiatan politik dengan mendirikan partai politik yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) yang ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Umum tahun 1955.

Pada 1950, sebagian bekas anggota KNIL melancarkan pemberontakan di Bandung dengan nama pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sedangkan di Makassar terjadi pemberontakan Andi Azis, dan di Maluku ada pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Menyatu dalam ABRI

Bagian penting dalam perjalanan sejarah tentara Indonesia adalah upaya menyatukan organisasi angkatan perang dan Kepolisian Negara menjadi organisasi Angkatan Bersenjata Republika Indonesia (ABRI). Pada 1962, kekuatan itu pun menyatu. Menyatunya kekuatan Angkatan Bersenjata di bawah satu komando itu diharapkan dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan kelompok politik tertentu.

Namun hal itu menghadapi berbagai tantangan, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari komunisme internasional yang senantiasa gigih berupaya menanamkan pengaruhnya ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Termasuk ke dalam tubuh ABRI, melalui penyusupan dan pembinaan khusus, serta memanfaatkan pengaruh Presiden RI/Panglima Tertinggi ABRI untuk kepentingan politik mereka.

Baca Juga : Selamat Jalan Pejuang!

Upaya PKI semakin gencar. Puncaknya adalah kudeta terhadap pemerintah yang sah oleh G30S/PKI. Akibatnya, situasi bangsa Indonesia waktu itu sangat kritis. ABRI berhasil mengatasi situasi kritis itu dan menggagalkan kudeta serta menumpas kekuatan pendukungnya bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan Masyarakat, bahkan seluruh rakyat Indonesia.

ABRI melaksanakan tugas sebagai kekuatan hankam dan kekuatan sospol di tengah situasi yang serba chaos itu. Sebagai alat kekuatan hankam, ABRI menumpas pemberontak PKI dan sisa-sisanya. Sebagai kekuatan sospol, ABRI mendorong terciptanya tatanan politik baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen.

Seperti dilansir tni.mil.id, ABRI tetap melakukan pembenahan diri dengan cara memantapkan integrasi internal. Langkah pertama adalah mengintegrasikan doktrin yang akhirnya melahirkan doktrin ABRI Catur Dharma Eka Karma (Cadek). Doktrin itu berimplikasi kepada reorganisasi ABRI serta pendidikan dan latihan gabungan antara Angkatan dan Polri. Di sisi lain, ABRI juga melakukan integrasi eksternal dalam bentuk kemanunggalan ABRI dengan rakyat yang diaplikasikan melalui program ABRI Masuk Desa (AMD).

Memasuki era reformasi di tahun 1998, muncul tuntutan masyarakat agar Polri memisahkan diri dari ABRI. Harapannya agar Polri menjadi lembaga penegak hukum yang profesional dan mandiri, jauh dari intervensi. Polisi bertugas mengamankan masyarakat dalam menciptakan ketertiban dan keamanan, sedangkan militer bertugas mengamankan negara dari ancaman musuh atau dapat dikatakan sebagai alat untuk bertempur. Maka, tanggal 18 Agustus 2000, MPR mengeluarkan Tap MPR No VI/MPR/2000 tentang pemisahan Polri dan TNI sesuai dengan peran dan fungsi dari masing-masing kelembagaan yang terpisah. Dilanjutkan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 8 Januari 2002.

Peran, Fungsi dan Tugas TNI

Kini, sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, Peran, Fungsi dan Tugas TNI juga mengalami perubahan. TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa, penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud di atas, dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.

Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok itu dibagi 2(dua), yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.

Operasi militer selain perang meliputi operasi mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta, membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang, membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue) serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan penyelundupan.

Sedangkan dalam bidang reformasi internal, TNI sampai saat ini masih terus melaksanakan reformasi internalnya sesuai dengan tuntutan reformasi nasional. TNI tetap pada komitmennya menjaga agar reformasi internal dapat mencapai sasaran yang diinginkan dalam mewujudkan Indonesia baru yang lebih baik dimasa yang akan datang dalam bingkai tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai alat pertahanan negara, TNI berkomitmen untuk terus melanjutkan reformasi internal TNI seiring dengan tuntutan reformasi dan keputusan politik negara.

Dirgahayu, TNI.