Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 2): "Dari Bus Kota hingga Avanza"

"Sebuah artikel istimewa yang hanya ada di Sabili.id. Dituturkan langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua selama memegang amanah sebagai Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi. Tulisan ini akan kami hidangkan kepada pembaca setia Sabili secara berkala. Ada banyak fakta menarik yang selama ini tidak bisa menjadi konsumsi publik, bisa diiintip dari penuturan beliau ini. Berikut, seri kedua dari kisah beliau. Selamat menikmati."

Mobil dinas Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Blazer, kukembalikan ke kantor. Kuserahkan kuncinya ke Sekjen KPKPN. Beliau, Amir Muin, masih ngantor. Sebab, beliau diangkat sebagai Pelaksana Tugas Sekjen KPK. Salah satu tugasnya, mengalihkan pegawai KPKPN yang PNS untuk menjadi pegawai KPK. Syaratnya, mereka harus mengikuti proses seleksi yang dilakukan KPK. Hanya beberapa yang lolos. Mungkin 95 persen harus kembali ke kementerian asalnya.

Menumpang Bus Kota dan Angkot

Saya bingung. Pulang ke kontrakkan naik apa setelah mobil dinas dikembalikan? Naik taksi. Argo sampai ke Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tentu lumayan. Padahal, berhenti dari Wakil Ketua KPKPN maupun sebagai Komisioner, tidak ada pesangon. Hanya ada selembar surat Tanda Terima Kasih dari Presiden.

Tiba-tiba, kuingat Abah Natsir. Kuingat perilaku beliau sewaktu mengembalikan mandat sebagai PM pertama NKRI, dan mengembalikan mobil dinas. Dari istana negara, beliau naik sepeda ontel miliknya, pulang ke rumah di Jalan Jawa.

Semangat baru. Perilaku Abah Natsir langsung menginspirasiku. Saya langsung berjalan ke arah halte bus di Jalan Juanda. Kutumpangi bus kota PPD.

Di dalam bus, teringat memori puluhan tahun lalu, sewaktu bersama pak Kasman Singadimedjo menumpangi bus kota. Kami menuju kantor MUI Pusat di komplek masjid Al Azhar, Jakarta Selatan. Masih segar dalam ingatan sewaktu pak Kasman menjawab pertanyaanku. Katanya, kita jangan diatur sepenuhnya oleh orang lain. Rupanya, sopirnya ada urusan lain. Beliau pun putuskan, naik bus kota. Padahal, beliau adalah Ketua DPR pertama dan mantan Jaksa Agung. “Siapalah saya dibanding pak Kasman, orator ulung Masyumi,” batinku.

Di terminal bus Kampung Melayu, kutumpangi angkot jurusan Pondok Kelapa. Tiba di halte yang relatif dekat dengan kontrakkan, saya turun. Perjalanan kurang lebih sepuluh menit melalui gang sempit. Beberapa bulan kemudian, saya dilantik sebagai Penasihat KPK. Tetapi masih setia naik bus dan angkot ke kantor KPK.

Menerima Persekot dari KPK

Pelantikan diriku sebagai Penasihat KPK, awal Maret 2005, tidak langsung disertai penerimaan gaji bulanan. Peraturan Pemerintah (PP) tentang sistem penggajian KPK belum terbit. Jadi, saya, pimpinan, dan seratus lebih pegawai KPK, belum ada yang terima gaji. Baru sejenis persekot dari negara. Sambil Kepala Biro (Karo) SDM KPK bekerja keras untuk memperoleh PP tersebut.

Pertemuan antar instansi terkait dengan KPK alot. Sebab, sistem manajemen SDM KPK, berbeda dengan yang diterapkan di Kementerian dan Lembaga Negara (K/L) yang ada. Perbedaan utamanya adalah Pertama Komisioner KPK dan pejabat struktural tidak memperoleh kendaraan dinas, rumah dinas, dan fasilitas lainnya.

Apalagi pegawai yang bukan pejabat struktural. Semua fasilitas dikonversi kedalam gaji. Jadi, dengan gaji yang relatif besar, terpulang bagi setiap insan KPK. Apakah mereka mau beli mobil Avanza, honda, Mitsubishi, bahkan mobil mewah lainnya. Konsekuensinya, BBM dan biaya perawatan ditanggung sendiri.

Pertanyaannya, mengapa gaji insan KPK relatif besar? Bahkan, sebelum ada PP tentang Manajemen SDM KPK, rumor di media gaji Ketua KPK 50 juta rupiah. Dampaknya, dalam suatu pertemuan, Ketua BPK, iri dengan gaji besar Ketua KPK. Hadir dalam pertemuan itu, pak Taufiequrahman Ruki sebagai Ketua KPK.

Ketua KPK seakan membela diri, lalu menawarkan agar mereka tukar jabatan. “Saya jadi Ketua BPK dan bapak jadi Ketua KPK,” kata Pak Taufieq seraya menjelaskan bahwa pimpinan dan pegawai KPK tidak mendapat fasilitas apa pun. Anwar Nasution, Ketua BPK, setelah mendengar hal tersebut, langsung tidak mau jadi Ketua KPK.

Pertimbangan lain adalah merujuk pernyataan Prof. Dr. Soemitro. Mantan Menteri era Soeharto ini mengatakan, setiap tahun, terjadi kebocoran anggaran rutin sebesar 30 persen. Prosentase terbesar berasal dari biaya fasilitas kantor. Hal itu terjadi antara lain karena gaji PNS, sangat tidak manusiawi.

Apalagi, bagi instansi penegak hukum yang punya power seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, dapat melakukan tindakan tidak terpuji. Salah satunya, mereka yang tidak bersalah, dihukum. Mereka yang seharusnya dihukum, bebas. Lembaran uang merasuk ke dalam nafsu sebagian Penegak Hukum. Maka diharapkan, dengan gaji relatif besar tersebut, insan KPK tidak akan ber-KKN.

Perbedaan Utama kedua, Insan KPK tidak menerima pensiun pasca purna tugas. Uang pensiun dibayar lebih dahulu. Filosofinya, negara tidak dibebankan bayaran pensiun setiap bulan yang cukup besar. Mengingat jumlah pensiunan PNS puluhan kali lipat dari PNS aktif. Terkesan tidak ada lagi sumbangsih operasional mereka bagi pemerintah.

Bukankah mereka sudah mengabdi puluhan tahun, kok tidak dihargai? Begitu kurang lebih protes dari para pensiunan. Dalam filosofi KPK, mereka justru dihargai sewaktu masih aktif sebagai PNS. Penghargaannya diberikan dalam bentuk tunjangan hari tua. Jumlahnya cukup signifikan, bergantung dari jabatan dan kinerja yang dicapai. Di sinilah berlaku ayat Al-Qur’an, Allah tidak memberatkan hamba-Nya kecuali yang dapat dipikulnya. Substansi ayat ini, dalam bahasa orang kampungku: “Bangun subuh, rejeki banyak. Bangun siang, rejeki dicaplok ayam.” Itulah sebabnya, di KPK, ada Key Performance Indicator (KPI). KPI ini yang menentukan kinerja seorang insan KPK.

Jika kinerjanya, A, tunjangan yang diperoleh 10 persen dari gaji pokok. Kinerja B, dapat 7 persen dari gaji pokok. Kinerja C, dapat 5 persen dari gaji pokok. Kinerja D, dapat nol persen. Di sinilah berlaku filosofi, fastabiqul khairat. Berlomba-lomba dalam kebajikan (QS Al Hadid: 21).

Jadi, 9 bulan sebelum terbit PP, saya hanya menerima persekot. Bahkan, pimpinan dan seratusan pegawai KPK hanya menerima persekot, setahun lebih.

Karo SDM mengejar Menpan ke Bali

Perbedaan visi dan pemahaman pejabat-pejabat di K/L dengan KPK, PP tentang Manajemen SDM KPK, berlarut-larut. Sampailah suatu tahap, draft PP tersebut harus disejutui Menpan. Karo SDM, seorang srikandi yang militan, Mbak Tina Kemala Intan, menemui Menpan di kantornya. Ternyata Menpan menuju bandara Soeta. Beliau mau ke Bali. Bak Penyidik KPK yang mengejar Nazaruddin ke Kolombia, Mbak Tina juga memburu Menpan, di mana tempat “persembunyiannya”. Karo SDM menyusul ke bandara. Ternyata, sang Menteri sudah terbang.

Karo ini beli tiket pesawat dan langsung menuju Denpasar. Mbak Tina berhasil “menangkap” Menpan. Beliau langsung minta persetujuan Menteri. Untuk mendapatkan persetujuan itu, ibu tunggal ini nekad, tidak mandi dan ganti baju, demi kepentingan KPK dan para pegawainya. Beliau tidak seperti KPK sekarang yang selama tiga tahun tidak berhasil menangkap Harun Masiku.

Akhirnya, PP No. 63/2005 tentang Manajemen SDM KPK pun terbit, tepatnya tanggal 22 Desember 2005. PP itu ditandatangani Presiden SBY. Substansi PP ini, pegawai KPK terdiri dari tiga kategori. Pertama pegawai tetap, mereka bertugas sampai usia pensiun 56 tahun. Kedua PNS yang dipekerjakan, mereka bertugas selama 4 tahun di KPK. Jika berprestasi, dapat dilanjutkan 4 tahun lagi. Setelah itu putus, kembali ke kantor asal atau menjadi pegawai tetap KPK. Jika pilihan kedua diambil, maka gugurlah statusnya sebagai PNS.

Hal ini yang dilakukan Novel Baswedan dan kawan-kawan. “Ingat, anda itu calon jenderal. Pikir masak-masak kalau mau berhenti dari kepolisian,” itulah pesanku ke saudara Novel Baswedan ketika beliau mau berhenti dari Kepolisian. Responsnya luar biasa. Menurutnya, beliau sudah istikharah. Katanya, jika kembali ke instansi asal, beliau akan dipermainkan. Beliau akan diplonco seperti mahasiswa baru pada masa orde baru.

Ketiga pegawai tidak tetap, mereka adalah pegawai yang bekerja di KPK berdasarkan kontrak tertentu. Jika berprestasi, mereka dapat dilanjutkan kontraknya, bisa setahun atau lebih.

Perbedaan substansial lainnya dengan K/L, PP ini membenarkan pegawai membentuk Wadah Pegawai. Ia merupakan wadah komunikasi di antara pegawai dan Komisioner. KPK juga dapat membentuk Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP). Fungsinya, menyampaikan rekomendasi ke Pimpinan berkaitan dengan pemberhentian atau sanksi terhadap pegawai yang diduga melakukan pelanggaran.

Memiliki Mobil Avanza

Ku beli mobil pribadi bukan karena tidak mau naik angkot atau bus kota. Pertama, tidak dapat dipastikan, pukul berapa tiba di kantor jika mengenderai angkutan umum. Beda sewaktu di Malaysia dan Singapura, memanfaatkan kenderaan umum, semuanya tertib dan taat waktu. Jadi, saya bisa memperkirakan berangkat pukul berapa dari rumah dan tidak terlambat tiba di kantor.

Kedua, dari kontrakanku di Pondok Kelapa, tidak ada pilihan lain kecuali naik angkot. Sopir angkot, sesukanya berhenti atau “nongkrong” di mana saja sampai penumpang penuh. Tiba di Kampung Melayu, baru naik Bus jurusan terminal Kota. Turun di Harmoni, berjalan 10 menit, sampailah di kantor KPK.

Januari 2006, seluruh insan KPK, termasuk diriku, menerima gaji penuh. Hasil “nombok” terhadap persekot selama sembilan bulan, dapat kugunakan untuk membayar tahap pertama harga mobil. Saya diskusi dengan kawan di Bank Muamalat, dalam jual beli mobil tersebut, tidak ada riba. Setelah yakin, kubayari angsuran beberapa bulan sehingga mobil Avanza seharga Rp. 120 juta, lunas.

Ada kawan bertanya, mengapa tidak beli sedan Honda atau sejenisnya yang sedikit prestige. Kukatakan, sebagai orang eksakta, praktis saja. Makin “wah” mobilnya, tambah mahal biaya perawatan. Avanza paling murah meriah dan Irit BBM. Persoalan paling penting, rumahku di Rawadenok, Depok, sukar dimasuki mobil lain kecuali Avanza. Sebab, lebar gang ke rumahku, hanya selisih satu sentimeter di antara pagar rumah orang dengan kaca spion. Bahkan, jika pagar rumah orang yang terbuat dari tanaman, tidak dipapas, badan mobilku tergores. (Wonosobo, 14 Februari 2023).

Bersambung...

Baca Juga:

Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 1): “Pak SBY Menelponku”
Akhirnya, permintaan SBY agar saya mau jadi Ketua KPK, kutolak dengan cara tidak ikut proses seleksi
Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 3): “KPK Indonesia vs KPK Hongkong”
KPK Hong Kong berhasil memberantas korupsi di negara pulau itu karena membubarkan institusi kepolisian. Tahun 1970-an, Inggris sebagai Penguasa Hong Kong geram karena negara pulau itu sangat korup. Hong Kong merupakan wilayah terkorup di Asia waktu itu.