Debat Perdana Pilpres AS, Biden dan Trump Menuai Kontroversi
Dewan editorial New York Times dan Wall Street Journal menuntut Presiden AS, Joe Biden, mundur dari pencalonan presiden, menyusul kinerja buruknya yang ditunjukkan dalam debat melawan Donald Trump pada Kamis (27/6/2024) lalu.
Debat perdana Capres AS antara Joe Biden dan Donald Trump itu menuai kontroversi. Ketika Trump ditanya mengenai upaya pembentukan negara Palestina merdeka, ia tidak menjawab secara konkret. Ia hanya berucap, “Saya harus melihatnya”. Pun Biden tidak bisa mengelak bahwa publik menilai kondisi tubuhnya kurang prima dibandingkan saat debat pilpres empat tahun lalu.
Editorial New York Times pun menyerukan perlunya mengganti Biden dengan kandidat yang lebih muda dan lebih bersemangat yang dapat mencegah Trump kembali ke Gedung Putih selama empat tahun mendatang.
Sedangkan jajak pendapat CBS News-YouGov yang dilaksanakan pada Minggu (30/6/2024) menunjukkan, 72% pemilih terdaftar percaya bahwa presiden tidak memiliki kesehatan mental dan kognitif untuk menjadi presiden.
Berbeda dengan tim yang terdiri dari para pemimpin senior Partai Demokrat. Mereka membela Biden agar tetap ikut dalam pencalonan pemilu.
“Berdasarkan logika bahwa satu malam yang buruk tidak mengurangi keberhasilan Biden sebelumnya!” ucap tim para senior Partai Demokrat.
Baca juga: Bahaya! Ancaman Islamofobia Pasca Kemenangan Sayap Kanan Radikal di Prancis
Berkaitan dengan penurunan kesehatan, mental, dan kemampuan kognitif yang dimiliki Biden, sebagaimana yang disaksikan oleh lebih dari 50 juta orang Amerika dalam siaran langsung debat itu, apakah Biden memiliki kemampuan untuk memerintah di masa jabatan kedua hingga berakhir di usianya yang 86 tahun? Para tokoh Partai Demokrat berkomentar, mempertimbangkan unsur waktu, yaitu waktu konferensi umum Partai Demokrat antara 19-22 Agustus tahun depan di Chicago. Setidaknya, ada 3 skenario yang sekiranya dilambungkan terhadap Biden:
Skenario Pertama: Biden Tetap Dicalonkan
Biden memiliki potensi besar. Ia mendapatkan pernyataan dukungan publik dari para pemimpin partai terkemuka, seperti mantan Presiden Barack Obama, mantan Presiden Bill Clinton, mantan Ketua DPR Nancy Pelosi, dan Rep. James Clyburn, serta Gubernur Demokrat seperti Gavin Newsom dari California dan Gretchen Whitmer dari Michigan.
Skenario itu didukung juga berdasarkan tidak adanya pesaing untuk Biden selama pemilihan sebelumnya di partai tersebut. Ia memperoleh dukungan dari 3.900 delegasi dari 4.000 delegasi, yang menandakan dirinya telah mengamankan dukungan sekitar 99% dari seluruh delegasi.
Skenario Kedua: Biden Mengundurkan Diri Secara Sukarela
Skenario ini mengasumsikan Biden sendiri yang memutuskan untuk pensiun. Dan di sini tugas prosedural partai secara teoritis mudah dalam mencari kandidat lain untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.
Pengunduran diri Biden secara sukarela berarti membiarkan konvensi Partai Demokrat tetap terbuka, di mana kandidat potensial lainnya akan dipilih sampai salah satu dari mereka menerima mayoritas suara delegasi. Hal ini dapat memicu persaingan yang ketat di antara anggota Partai Demokrat yang bersaing untuk mendapatkan nominasi.
Skenario Ketiga: Kudeta Terhadap Biden
Skenario Biden dipaksa mundur. Ini merupakan skenario yang paling tidak masuk akal. Sebelumnya tidak ada partai yang pernah mencoba mencalonkan siapa pun selain kandidat yang memperoleh suara delegasi terbanyak. Tampaknya belum ada kecenderungan juga untuk melakukan skenario ini.
Baca juga: Mengenal Rudal “Red Arrow” yang Digunakan Brigade Al-Qassam di Rafah
Tidak ada bukti bahwa partai tersebut akan mempertimbangkan perubahan tanpa persetujuan Biden. Namun, bahkan jika hal itu terjadi, tidak ada mekanisme untuk mengganti seorang kandidat sebelum konvensi, dan tentu saja tidak ada cara untuk menunjuk penggantinya yang dipilih sendiri.
Skenario ini diperkirakan akan terjadi hanya jika sebagian besar Partai Demokrat kehilangan kepercayaan terhadap Biden. Karena delegasi Konvensi Nasional secara teoritis dapat membelot secara massal. Tentu saja, mereka terpilih menjadi delegasi karena loyalitas kepada Biden dan berjanji mendukungnya di konvensi tersebut.
Hal ini juga dapat menimbulkan terjadinya pemberontakan di antara delegasi partai. Perselisihan pendapat yang berdampak buruk terhadap citra partai, dan dapat merambat menjadi kekacauan ketika tidak ada kandidat yang mendominasi mayoritas suara delegasi.
Biden dan Trump memiliki rekam jejak sebagai presiden AS. Donald Trump menjabat pada periode 2017-2021, sedangkan Joe Biden melanjutkannya hingga sekarang. Ketika menjabat, keduanya banyak mempengaruhi pengambilan kebijakan terhadap konflik yang terjadi di Palestina.
Pada masa Trump menjabat sebagai presiden AS, ia menuai banyak celaan atas kebijakan yang dia keluarkan terkait konflik di Palestina. Mulai dari menutup pintu diplomasi, membuat sebuah rencana Trump Peace Plan yang hanya sekadar rencana tanpa menemukan jalan keluar, hingga menjadi mediator yang tidak obyektif dan tendensi terhadap Israel. Ia bukannya menemukan solusi dari konflik itu, tetapi malah berperan sebagai pembuat konfliknya.
Berbeda dengan era Biden memimpin. Setidaknya, kebijakannya “lebih mending” dibandingkan presiden sebelumnya, yaitu Trump. Pintu diplomasi untuk resolusi konflik Palestina-Israel kembali terbuka; pembicaraan tingkat tinggi antara Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, dengan Presiden Mahmoud Abbas diselenggarakan; dan menentukan solusi dua negara (two state solution) sebagai opsi terbaik.
Konflik yang kembali memanas antara palestina-Israel pada peristiwa Badai Al-Aqsha Oktober lalu adalah rentetan peristiwa yang telah terjadi sejak lama. Tidak adil rasanya jika hanya menilik pada satu peristiwa saja. Ada berbagai diplomasi dan sikap represif dari presiden AS sebelumnya. Yang timbul di permukaan hanya sebagian. Masih banyak peristiwa yang tenggelam di bawah sana. Maka, memilah yang lebih ringan di antara dua mudharat merupakan suatu kebaikan.
(Sumber: Al Jazeera)