Demokrasi Disebut Mengalami Kemerosotan Selama Satu Dasawarsa Jokowi Memimpin
Mencermati fenomena politik yang terjadi di Indonesia selama sepuluh tahun (satu dasawarsa) terakhir, terlihat adanya kemerosotan demokrasi. Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, ketika hadir sebagai narasumber dalam diskusi publik yang digelar Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI), Rabu (7/8.2024) mulai pukul 20.30 WIB. Diskusi yang diselenggarakan lewat Zoom Meeting itu mengangkat tema menarik, “Satu Dekade Jokowi Berkuasa: Dari Stagnasi Ekonomi Hingga Regresi Demokrasi”.
Usman Hamid lantas menjelaskan mengapa fenomena politik di Indonesia menunjukkan adanya kemerosotan demokrasi. Menurut dia, kemerosotan demokrasi disebabkan oleh benturan antar organisasi keagamaan.
“Jadi ada pertandingan (atau) ada pertarungan ideologis di lingkungan masyarakat. Misalnya, NU dengan HTI, gitu. Atau Muhammadiyah dengan HTI, gitu. Atau kelompok Salafi lainnya atau kelompok-kelompok Islam lainnya yang saling berkompetisi, gitu. Entah karena – misalnya – paham-paham keagaman yang berbeda, bisa juga karena akomodasi politik di dalam sistem pemerintahan yang mungkin tidak memuaskan, gitu,” ucapnya.
Kata Usman Hamid, benturan itu kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah. Sebab, mereka saling berkompetisi, dan kontestasi itu memecah belah mereka. Kondisi pecah belah di antara mereka itu dimanfaatkan oleh pemerintah dengan cara mengambil sikap-sikap represif terhadap kelompok yang dianggap paling membahayakan atau dianggap menandingi pemerintah.
“Misalnya, belakangan FBI dan HTI dipandang bisa memobilisasi masyarakat dalam jumlah yang sangat besar, sehingga dipandang mengganggu pemerintah yang berkuasa atau Jokowi untuk bisa mempertahankan kekuasaannya, dengan rencana-rencana yang – kita tahu – ingin memadamkan konstitusi, ingin menghapuskan pemilihan langsung, ingin memperpanjang masa pemerintahan hingga beberapa tahun,” tuturnya.
Ketika sejumlah ormas Islam kemudian dibubarkan, maksud dari pembubaran ormas-ormas Islam itu menurut Usman supaya kekuasaan Jokowi berjalan aman. “Jadi dengan cara itu kita bisa paham bahwa represi atau keluasan alat-alat opter terhadap Islam, ini bukan karena untuk menegakkan pluralisme, atau bukan untuk melindungi hak dan kemerdekaan atau marifat kelompok minoritas, tetapi lebih karena usaha untuk memastikan bahwa kekuasaan bisa berlangsung tanpa ada kontrol, tanpa ada kritik, tanpa ada penandingnya,” ucap Usman.
Terhadap hal ini Usman menyayangkan, karena partai politik tidak lagi memiliki idealisme (ideologi). “Partai politik itu tidak lagi memiliki ideologi, tidak memiliki pendanaan mandiri, tidak memiliki semacam pengelolaan profesional. Sehingga, representasi politisi tidak lagi benar-benar representatif. Dan yang terakhir, dimulai dari penyempitan ruang kebebasan, ruang untuk menyatakan pendapat, menyatakan kritik, belakangan kelompok-kelompok yang dipandang anti negara – misalnya FPI atau Hisbut Tahrir – itu dibubarkan tanpa proses peradilan yang benar,” sambungnya.
Keputusan pemerintah membubarkan ormas Islam tanpa proses peradilan itu menjadi soal tersendiri. “Padahal, di dalam sebuah demokrasi, pemerintah tidak bisa mengambil sikap secara sepihak. Apalagi jika menyakut pembatasan kebebasan berserikat atau kebebasan berekspresi, dia harus meminta persetujuan pengadilan. Misalnya pemerintah menuduh HTI terlibat di dalam berbagai kekerasan sektarian. Studi politik Islam seperti dilakukan Greg Philip mengatakan, tidak ada catatan misalnya kekerasan yang apalagi dilakukan secara sistemik oleh organisasi seperti Hisbut Tahrir. Tetapi kalau pemerintah yakin Hisbut Tahrir terlibat di dalam kekerasan sistemik, seharusnya dia tunjukkan bukti-buktinya ke pengadilan. Tanpa menunjukkannya ke pengadilan, tanpa menyediakan bukti-bukti, maka pemerintah mengambil tindakan represif yang hanya bisa terjadi dalam sistem otoritarian,” jelas Hamid.
Ada faktor lain yang membuat regresi demokrasi. Usman Hamid mengutip Edward Aspinal bersama beberapa sarjana Indonesia yang menjelaskan, regresi demokrasi itu bisa terjadi karena lembaga pemilihannya tidak berjalan dengan baik. Lembaga-lembaga perwakilan semisal partai politik juga tidak berjalan.
“Regresi mulai dari atas, dari tingkat elite, dari tingkat negara. Satu, dari tingkat atas, itu muncul dari undang-undang yang represif, alat-alat negara yang represif, untuk menekan kritik. Yang kedua adalah menguatnya kembali pemusatan kendali politik pemerintahan daerah kepada pemerintah pusat. Yang ketiga, menurunnya kualitas demokrasi di dalam partai politik. Yang keempat adalah menguatnya poligarkisasi dan monopolisasi di media. Yang kelima adalah merosotnya kredibilitas dan integritas lembaga-lembaga penegak hukum. Dan yang keenam, ini yang sebenarnya kemunduran yang muncul akibat dari perkembangan dinamika di tingkat bawah, yaitu keterbelahan masyarakat sipil. Jadi, polarisasi masyarakat sipil. Dan sikap-sikap afirmatif dalam penerapan taktik-taktik otoriter oleh negara terhadap saingan ideologis mereka,” urai Usman Hamid.
Menurut Usman Hamid ada sejumlah indikator merosotnya demokrasi di Indonesia. “Yang pertama, menguatnya represi dan menutupnya ruang sipil. Kita bisa lihat data Amnesty International yang mencatat serangan terhadap aktivis masyarakat sipil itu meningkat jumlah orangnya, yaitu 834 orang yang jadi korban. Nah, itu angkanya sudah sangat tinggi. Selain Amnesty, kita bisa lihat fenomena yang serupa yang ditunjukkan oleh Freedom House, lembaga indeks demokrasi di Amerika yang mengukur kemajuan dan kemunduran demokrasi di berbagai negara, yang mengatakan bahwa Indonesia secara konsten mengalami penurunan demokrasi,” tutupnya.