Deretan Dosa PM Bangladesh Yang Digulingkan Rakyat

Bangladesh adalah negara dengan populasi sekitar 170 juta orang. Mayoritas penduduknya adalah Muslim. Negara ini terisolasi dari banyak negara Islam lainnya karena terletak di Asia Selatan. Saat ini, Bangladesh tengah mengalami krisis akibat kediktatoran pemimpinnya, yang lantas memicu revolusi.

Puncaknya terjadi pada 5 Agustus 2024, ketika Perdana Menteri Bangladesh, Hasinah Wajed, dipaksa lengser dan melarikan diri ke India. Hasinah Wajed mulai berkuasa pada tahun 1996 hingga 2001, dan kemudian memimpin selama empat periode berturut-turut dari tahun 2009 hingga 2024. Sehingga, total masa jabatannya adalah lima periode. Lalu, hal-hal apa saja yang menyebabkan penduduk Bangladesh sangat murka kepada Hasinah?

Eksekusi Lawan Politik

Pemerintahan Hasinah Wajed dikenal dengan penindasan lawan politiknya melalui kekuatan militer dan kepolisian. Selain itu, lembaga peradilan juga digunakan untuk menjatuhkan hukuman mati atau pun hukuman seumur hidup. Hasinah menangkap para pemimpin oposisi, tanpa mempedulikan apakah mereka terbukti bersalah, tertuduh, atau bahkan tidak bersalah. Di antaranya termasuk tokoh-tokoh pimpinan Partai Jama’ah Islami Bangladesh.

Abdul Qadir Mulla, seorang pemimpin dan politikus terkemuka, lahir di Bangladesh pada tahun 1948. Ia menjadi pemimpin pertama Partai Jama’ah Islami yang dieksekusi atas tuduhan keterlibatan dalam pembunuhan selama perang kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971. Abdul Qadir Mulla dinyatakan bersalah pada Februari 2013 dan dijatuhi hukuman mati.

Muhammad Qamar Al-Zaman, seorang pemimpin Partai Jama’ah Islami, lahir pada 4 Juli 1952 di sebuah desa di distrik Sherpur, Bangladesh. Pada 9 Mei 2013, Mahkamah Agung Bangladesh menjatuhkan hukuman mati kepadanya atas tuduhan berpartisipasi dalam perang pemisahan diri dari Pakistan dan menyebabkan kematian puluhan orang, meski pun tuduhan tersebut dibantah oleh pihak kuasa hukumnya. Akhirnya, Qamar Al-Zaman dieksekusi pada 11 April 2015, di penjara pusat di ibu kota, Dhaka.

Demonstrasi Mematikan Gulingkan Perdana Menteri Bangladesh
Protes mahasiswa yang awalnya melawan sistem kuota penerimaan pegawai negeri, lalu berkembang menjadi pemberontakan massal yang lebih luas.

Nepotisme

Hasinah dan kabinetnya menguasai seluruh pengadilan di negara ini, dengan menunjuk hakim-hakim yang tunduk pada keinginan mereka. Selain itu, para hakim itu juga memiliki hubungan baik dengan Hasinah dan partainya. Akibatnya, keputusan pengadilan sering kali tidak dikeluarkan tanpa persetujuan dari Hasinah, menteri, anggota parlemen, atau anggota partainya. Terutama dalam kasus-kasus besar yang penting bagi politik negara.

Korupsi Merajalela

Korupsi telah merambah ke seluruh sektor pemerintahan. Sehingga, tidak ada satu pun kantor pemerintah yang terbebas dari suap dan penyalahgunaan uang rakyat. Korupsi telah mencapai puncaknya dalam proyek-proyek konstruksi dan pembangunan. Hal serupa terjadi di kalangan anggota Partai Hasinah (Liga Awami), yang mengambil uang secara besar-besaran. Akibatnya, banyak pejabat dan pegawai pemerintah memiliki kekayaan jutaan dolar, yang kemudian mereka selundupkan ke luar negeri. Sehingga negara, bank-bank, dan sistem perekonomian, menjadi sangat lemah, bahkan bangkrut.

Partai Hasinah (Liga Awami) juga memiliki berbagai sayap organisasi, semisal Liga Mahasiswa, Liga Pemuda, Liga Buruh, dan banyak asosiasi lainnya. Ironisnya, anggota-anggota asosiasi tersebut kebal hukum, sehingga mereka dengan mudah melakukan korupsi, kekerasan, bahkan menembak siapa pun yang mereka inginkan. Serta menjarah uang siapa pun yang mereka mau.

Ujungnya, Bangladesh berubah menjadi seolah negara mafia, dan masyarakat tidak punya pilihan selain menyaksikan apa yang terjadi di sekitar mereka dengan diam dan patuh. Mereka hidup dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan. Penuh dengan penghinaan.

Perusak Demokrasi

Salah satu alasan paling penting yang menjadi sebab jatuhnya Hasina adalah bahwa ia menghancurkan sistem demokrasi di negara tersebut, merampas hak masyarakat untuk memilih. Ia mengadakan pemilihan parlemen, tetapi di sisi lain ia menangkap lawan-lawannya sebelum pemilu, dan mencegah kegiatan-kegiatan kampanye lawan politiknya dengan mengerahkan polisi.

Karena hal ini merusak seluruh sistem negara, kecurangan pada pemilu menjadi hal yang umum dan terus meluas. Terkadang, penyelenggara pemilu bahkan memberikan suaranya pada malam hari sebelum masyarakat mulai pergi ke tempat pemungutan suara. Pemilu di era itu dianggap hanyalah tipuan belaka.