Desember: Toleransi dan Beberapa Bias yang Mengganggu

Selain hujan, Natal, dan tahun baru, bulan Desember juga mengingatkan kita tentang satu kata yang entah sejak kapan ditradisikan selalu muncul melalui artikel para cerdik pandai, pernyataan pemerintah, berita, bahkan dalam khutbah dan ceramah kaum agamawan. Kata tersebut adalah “Toleransi”.

Padahal, tidak ada ketentuan atau aturan dari pihak mana pun yang menyatakan bahwa Desember adalah bulan toleransi. Lantas mengapa bangsa Indonesia kerap kali diingatkan tentang toleransi pada setiap Desember? Siapa yang memulainya? Untuk siapa pesan toleransi itu diulang dan dikumandangkan? Sehingga, membahas toleransi nyaris seperti ritual tahunan saja.

Patut diduga, ramainya wacana dan seruan toleransi yang ramai bermunculan di bulan Desember ini terkait dengan perayaan Natal. Ada banyak sebab. Salah satunya adalah karena ada fakta kekerasan yang terjadi pada saat perayaan Natal tengah berlangsung. Sangat mungkin, kekerasan itu terjadi karena adanya sikap intoleran. Tentu publik masih ingat beberapa pemboman di sejumlah gereja di Jakarta pada saat berlangsung perayaan Natal beberapa tahun lalu.

Kedua, adanya trauma terkait peristiwa tersebut. Siapa yang mengalami trauma? Bukan hanya korban kekerasan dan Umat Kristiani saja, pemerintah yang bertugas melindungi segenap warga negara juga trauma dan tak ingin kejadian itu terulang kembali. Kaum muslimin dan para pemimpin Islam juga mengalami trauma tersebut. Kejadian itu melukai rasa kemanusiaan siapa pun dan membuat wajah damai Islam seperti tercoreng. Trauma kolektif inilah yang mungkin secara naluriah mengirimkan sinyal peringatan sekaligus menghidupkan memori publik tentang seruan toleransi pada setiap bulan Desember.

Tidak ada yang salah dengan itu semua. Islam bahkan menganjurkan sikap toleransi yang dalam ajaran Islam lebih dikenal dengan istilah tasamuh. Doktrin Islam menuntut agar sikap tasamuh ini hidup dalam jiwa dan kepribadian muslim.

Toleransi jika ditilik dari akar katanya berasal dari bahasa latin “tolelare” yang maknanya adalah sabar membiarkan atau menghadapi sesuatu. Sedangkan kata tasamuh yang memiliki akar kata “samuha-yasmuhu-samhan” menurut Kamus Al-Munawir memiliki makna sikap membiarkan atau lapang dada. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata toleran dimaknai “Bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”. Sementara itu, Wikipedia Indonesia dengan mengutip pendapat Eko Digdoyo (2018) memuat pengertian toleransi secara luas sebagai suatu perilaku atau sikap manusia yang "tidak menyimpang dari hukum berlaku" di suatu negara, di mana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain selama masih dalam batasan tertentu.

Baca juga: Laksana Bisikan Keramat, Ampuhnya Doa Ibu

Ada sejumlah unsur penting dari istilah toleransi dan tasamuh jika dilihat dari makna–makna tersebut. Pertama, adanya kesadaran tentang perbedaan sebagai hak asasi. Prinsip yang berlaku dalam hal ini adalah “agree in disagreement”. Kita tidak bisa memaksakan bahwa orang lain harus setuju dengan pandangan dan pikiran kita. Manusia dan pikirannya begitu unik, independen dan tidak bisa diintervensi.

Di dalam konteks toleransi agama, prinsip sepakat dalam ketidak-sepakatan merupakan jabaran dari firman Allah ﷻ : “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” – Al Kafirun:6. Masing-masing pihak boleh menjalankan keyakinannya secara bebas.

Kedua, adanya sikap menghargai dan menenggang rasa atas berbagai perbedaan itu. Tidak ada pilihan lain, jika ingin tetap hidup bersama secara damai di bumi ini, maka pilihan yang tersisa hanyalah sikap menghargai dan menenggang rasa.

Ketiga, adanya sikap hormat atas pilihan dan keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita. Tak mungkin muncul sikap menenggang rasa dan menghargai jika tidak ada kesadaran untuk mengembangkan sikap hormat atas pilihan dan sikap orang lain. Sikap dan rasa hormat ini menjadi kunci bagi langgengnya sikap toleransi. Tanpa rasa hormat, perbedaan pandangan akan memunculkan cemooh, bullying, bahkan mungkin akan berujung pada intimidasi dan konflik. Rasa hormat adalah batas norma yang sangat efektif untuk tetap menyuburkan semangat toleransi.

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. – QS. Al-An’am:108

Keempat, ada aspek ketaatan atau berpedoman pada aturan hukum. Semua pihak tak boleh melanggar hak orang lain yang dilindungi hukum atas nama toleransi. Toleransi harus dilindungi dan diatur melalui aturan yang bersifat mengikat. Agar siapa pun yang tak lagi memiliki rasa hormat terhadap pilihan dan sikap orang lain sehingga menghina atau memaksakan kehendak, dapat dikenai sanksi hukum karena melanggar hak orang lain.

Baca juga: Kebohongan di Dunia Maya

Bias Pemahaman dalam Toleransi Agama

Adanya perbedaan dalam memandang kebenaran dan keyakinan dalam beragama adalah fakta dan argumen paling penting bagi perlunya sikap toleransi dalam kehidupan beragama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang warganya memiliki keyakinan agama yang berbeda-beda. Tidak hanya berbeda dalam satu atau tiga agama, masyarakat Indonesia memiliki keyakinan keagamaan yang sangat beragam.

Secara formal, negara kita menyebut ada 6 agama yang resmi diakui oleh pemerintah. Namun sesungguhnya ada banyak lagi sub-keyakinan keagamaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Negara menjamin dan melindungi warga negara untuk menjalankan keyakinan dan agamanya masing-masing secara aman dan utuh.

Karena itu, menumbuhkan sikap dan budaya toleransi menjadi sangat penting bagi persatuan dan keutuhan NKRI. Tanpa sikap dan budaya toleransi, maka slogan Bhinneka Tunggal Ika akan kehilangan makna. Begitu pentingnya toleransi, sehingga perlu disosialisasikan dan diinternalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat secara terencana dan strategis.

Negara perlu mengambil inisiatif dan melibatkan semua agama untuk terlibat secara aktif. Sehingga internalisasi nilai, sikap, dan budaya toleransi dapat dikembangkan dengan desain dan target yang terukur. Ini penting dilakukan, mengingat ada beberapa bias yang terjadi dalam praktik toleransi akhir-akhir ini.

Pertama, membombardir pesan toleransi hanya di bulan Desember menunjukkan adanya bias dalam memandang masalah toleransi secara proporsional. Menumpuknya pesan toleransi semata di bulan Desember juga menunjukkan bahwa desain dan target yang terukur dalam pengembangan sikap toleransi itu belum ada.

Alih-alih meningkatkan pemahaman dan sikap toleransi, seruan toleransi yang masif di bulan Desember justru menampilkan stigmatisasi dan terlihat reaktif. Stigma dimaksud, seakan-akan pesan toleransi hanya ditujukan untuk “melindungi” Umat Kristiani yang sedang menjalankan perayaan Natal dari sikap intoleran oknum penganut ajaran Islam, yang memang tercatat pernah melakukan penyerangan yang serius terhadap gereja dan umat Kristiani.

Baca juga: Amalan Ringan Terbaik Untuk Bekal Hidup Setelah Mati

Pengembangan sikap toleransi tidak boleh semata-mata dilakukan karena adanya kasus intoleransi. Toleransi harus berkembang berpijak pada doktrin agama, nilai kemanusiaan, dan hukum. Sehingga, proses pengembangan sikap itu mengalir alamiah tanpa stigma. Ini pekerjaan besar, karena pertaruhannya juga sangat besar, yakni keutuhan NKRI.

Kedua, di atas telah dibahas, azas dasar dikembangkannya sikap toleransi adalah karena adanya fakta perbedaan yang tak mungkin di satukan. Perbedaan keyakinan dan agama adalah masalah prinsip yang tak mungkin disatukan. Justru saat ini ada bias; seakan-akan toleransi itu adalah sikap saling “membenarkan keyakinan”. Padahal yang dituntut dari sikap toleransi sesungguhnya sekadar menghargai pilihan keyakinan ajaran agama yang diamalkan oleh orang lain yang berbeda dengan kita.

Jika toleransi dimaknai saling membenarkan keyakinan, maka ia telah melenceng dari prinsip toleransi itu sendiri. Ajakan untuk merayakan hari besar keagamaan secara bersama seringkali menggunakan argumen; sama-sama baik dan sama-sama benar yang dibungkus dalam kemasan toleransi. Praktik ini justru akan menggangu tumbuhnya sikap toleransi yang sesungguhnya.

Ketiga, menghormati sebagai salah satu prinsip toleransi sering dipraktikkan menjadi “harus saling mengikuti”. Non-muslim ikut lebaran saat Idul Fitri atas nama menghormati, kaum muslimin ikut Natalan karena menghormati tetangga yang Natalan dengan mengenakan semua atribut yang biasa dipakai dalam perayaan Natal.

Karenanya, agar toleransi tidak bias tetapi bisa berkembang dewasa, pemerintah perlu mengambil inisiatif yang jelas. Bukan sekadar memanfaatkan bulan Desember untuk bicara toleransi. Setiap hari dan setiap bulan, sangat pantas untuk menumbuh kembangkan jiwa toleransi, karena dimensi toleransi tak sekadar dalam hubungan antar pemeluk agama.

Salah satu hal penting yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong agama-agama untuk menjelaskan konsep toleransi sesuai doktrin agama masing-masing. Karena ajaran toleransi sesungguhnya menjadi paket utuh dari sistem keimanan setiap agama. Selanjutnya pemerintah juga perlu meluruskan berbagai bias terkait makna toleransi, agar tak menjadi pemahaman untuk saling membenarkan keyakinan sebagai hal yang sama-sama benar.

Toleransi hanya menghormati keyakinan orang lain dengan tetap menjunjung tinggi keyakinan sendiri. Umat Islam wajib menghormati keyakinan dan agama orang lain, tetapi dilarang untuk mengikuti perayaan dan peribadatan mereka. Umat lain pun harus menghormati larangan ini, jangan menganggap tidak toleran manakala kaum muslimin tidak ikut natalan. Begitulah toleransi, bukan sinkritisme keyakinan.