Di Antara BRICS vs OECD, Indonesia Pilih yang Mana?

Melalui Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD), Universitas Paramadina menyelenggarakan diskusi bertajuk “BRICS vs OECD: Indonesia Pilih yang Mana?” kemarin. Diskusi itu membahas posisi strategis Indonesia dalam dinamika ekonomi global. Terutama terkait potensi pilihan untuk bergabung dengan kelompok negara-negara BRICS atau OECD.

Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini, menjelaskan, BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) muncul sebagai kekuatan baru yang menantang dominasi ekonomi AS dan Eropa. “Rusia dan China belum lama ini sudah menyatakan bahwa BRICS lebih besar dari OECD. Dengan pasar yang luas dan populasi dalam skala yang lebih besar dan berkembang,” jelasnya.

Namun, meski pun BRICS membawa potensi besar untuk ekspor dan stabilitas mata uang, tantangannya adalah ketergantungan yang lebih besar kepada China serta hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat yang bisa lebih kompleks. Hal itu dikatakan Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, MPP. Di kesempatan itu, ia menyoroti ketertarikan 34 negara untuk bergabung dengan BRICS, termasuk Arab Saudi yang menempati posisi penting sebagai negara petrodolar.

Menurut Wijayanto, meski hubungan ekonomi global sebagian besar masih didominasi oleh dolar AS, BRICS mampu membuka peluang ekonomi melalui stabilitas mata uang lokal dan peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) untuk negara anggotanya. “Market power BRICS lebih menjanjikan, meski dua negara BRICS sedang mengalami penurunan pertumbuhan penduduk. Pada 2006 sampai 2024 GDP BRICS tercatat lebih tinggi dibandingkan negara-negara G7/OECD. IMF juga memperkirakan GDP BRICS akan lebih maju ke depan,” ungkapnya.

Saat ini, Indonesia dihadapkan dengan sejumlah opsi. Lebih tepat untuk bergabung dengan BRICS atau OECD atau bahkan keduanya? Atau pilihan terakhir adalah tidak memutuskan bergabung ke BRICS atau OECD seperti 10 tahun terakhir, tetapi akan kehilangan opportunity dan terlambat, sehingga tak punya peran optimal dalam membentuk platform dan arah organisasi tersebut.

Pj Gubernur DKI Jakarta Ajak Ormas Islam Berperan Bangun Jakarta Berkelanjutan
Penjabat Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Teguh Setyabudi berharap MUI bersama jajaran Ormas Islam di DKI Jakarta turut berpartisipasi mendukung program-program strategis pemerintah.

Sementara itu, Managing Director PPPI yang sekaligus Ketua Program Studi PGSD Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam PhD, menegaskan keterbukaan Indonesia dalam peta ekonomi-politik internasional. Mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri Sugiono, Umam menggarisbawahi inklusivitas Indonesia dalam diplomasi ekonomi.

Indonesia kini berada pada persimpangan penting untuk memperkuat posisinya di antara BRICS atau OECD demi mencapai kesejahteraan dan stabilitas ekonomi,” kata Umam.

Ia melanjutkan, jika bergabung dengan BRICS, Indonesia akan semakin berkembang dan serupa dengan negara-negara anggota BRICS lainnya, sehingga memungkinkan bagi Indonesia untuk berbagi di bidang ekonomi pembangunan. “Keuntungannya, memperkuat ekonomi global, mengingat negara anggota BRICS memiliki pengaruh yang besar dalam perekonomian global,” lanjutnya.

Menurut Umam, jika Indonesia bergabung dengan BRICKS, ada potensi risiko ketegangan dengan negara-negara Barat. Artinya keberpihakan, pada aliansi Barat menghasilkan sebuah karakter pola relasi yang penuh dengan kecurigaan. Di dalam konteks ini, ketergantungan ekonomi Indonesia yang lebih besar kepada China perlu diantisipasi, karena yang menjadi sumber kekuatan BRICKS saat ini adalah China.

Di dalam diskusi itu, Dosen Universitas Paramadina, Fajar Anandi, mengungkapkan, Indonesia berada pada peringkat ke-9 dari sisi regional bahwa memiliki peran yang sangat kuat dan besar. Jika melihat posisi Indonesia, kemudian muncul pertanyaan “OECD atau BRICS?” maka kita perlu menelaah beberapa hal.

Universitas Paramadina Berikan Ratusan Beasiswa Program Sarjana untuk Generasi Muda Indonesia
Program beasiswa Universitas Paramadina mencakup beberapa jalur, yaitu Beasiswa Influencer, Beasiswa Hafidz Qur’an, Beasiswa Atlet, Beasiswa Pengurus Organisasi, Beasiswa Seni Budaya, Beasiswa Prestasi Rapor, Beasiswa Anak Guru.

Pertama yang kita dapatkan adalah international influence, memperkuat hubungan diplomatik dan kolaborasi aktif, meningkatkan kapasitas nasional, mempertahankan kepemimpinan regional dan akses sumber daya,” ungkapnya.

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana kita seharusnya menavigasikan kondisi ini? “Harus pragmatis dan kontekstual, harus menggunakan kekuatan terbesar yaitu tidak punya patron dan tidak terbatas, harus menyiapkan dari sisi kapasitas yaitu blueprint kebijakan luar negeri yang jelas dan berkesinambungan sehingga tidak keluar jalur, kemudian aktif mingle dengan negara mana pun,” pungkasnya.