Di Lorong Kehidupan dan Kematian
Melihat paralon besar di pinggi jalan. Paralon yang nampaknya akan dipasang untuk kepentingan pengendalian pembuangan air. Ujungnya berlubang, pangkalnya juga berlubang, membentuk sebuah lorong. Melalui kedua sisi ujungnya yang terbuka itu kita bisa melihat apa yang ada diujung dan apa yang ada di pangkal paralon. Tergantung dari sisi mana kita meneropongnya.
Seperti sebuah lorong, kehidupan dan kematian adalah ujung dan pangkal pintu dari sebuah paralon. Ia adalah kesatuan yang tidak terpisah. Kehidupan meniscayakan kematian, tidak ada kematian tanpa kehidupan.
"Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah" – QS. At Taubah: 116
Telah jelas, bahwa hidup dan mati adalah pasangan. Anugerah kehidupan diberikan, maka ia akan di akhiri pada waktunya dengan kematian.
Tapi manusia kerap terjebak di tengah lorong paralon itu. Lupa awal mula kehidupan dan tidak bisa menerima pintu keluar bernama kematian. Banyak orang yang gagal paham, ada beda antara kebebasan menjalani kehidupan dengan keterbatasan hidup. Allah memang memberikan kebebasan kepada manusia untuk menjalani hidup, tapi Allah dengan kuasa-Nya telah membuat garis batas yang tegas, sampai di titik mana dilatasi kehidupan kita harus berhenti.
Di tengah lorong hidup yang diapit oleh pintu kehidupan dan kematian itu, setidaknya ada beberapa tipe manusia dalam menjalani dan memaknai kehidupan.
Pertama, adalah tipe manusia semen. Seperti adonan semen yang di masukkan ke dalam pipa cor, orang ini membatu dalam asumsi-asumsinya sendiri tentang kehidupan. Ia menutup penuh kesadaran dirinya tentang pintu masuk dan pintu keluar kehidupan. Ia membatu, merasa sepenuhnya berkuasa atas hidup. Tegak berdiri di tengah lorong membangun kekuatan diri sepenuhnya, terobsesi dengan keabadian, mencoba menolak kematian.
Tipe manusia semen tidak percaya sama-sekali dengan keberadaan Allah. Hidup adalah kenyataan yang harus diterima sebagai pertarungan survival of the fittest. Menjadi yang terkuat dan terhebat. Tak ada visi dan misi akhirat. Lorong kematian hanya akan mereka maknai sebagai akhir dari siklus kehidupan yang alamiah. Karenanya, kesempatan hidup akan dioptimalkan untuk menjadi yang mereka inginkan. Bahkan, saat harus ada Tuhan dalam kehidupan masyarakat, maka manusia tipe semen ini tak ragu untuk menasbihkan diri sebagai tuhan.
Firaun dan Namrudz adalah representasi manusia semen yang diabadikan oleh Allah dalam Al-Quran. Pada zaman kita hari ini, sosok manusia semen muncul dalam berbagai bentuk kekuatan dan kekuasaan yang dahsyat berbasis teknologi. Mereka terobsesi untuk menjadi yang paling berkuasa di dunia, paling kaya, dan ingin berumur panjang. Meski pada akhirnya seperti Namruz dan Firaun, merekapun mati juga.
Kedua, tipe manusia es batu. Lahir untuk sekedar meleleh di lorong kehidupan. Ia menyerah dan takut menghadapi kerasnya kehidupan. Tidak bisa menikmati hidup, bahkan ingin segera mencapai lorong kematian. Manusia tipikal ini berpandangan bahwa kematian adalah akhir dari semua masalah. Mereka menyesal telah dilahirkan di dunia ini.
Hati dan pikiran mereka tidak terpaut dengan buhul tali agama Allah yang kuat. Menafikan bahwa hidup adalah anugerah yang mesti disyukuri, tidak percaya atau meragukan kekuasaan dan iradah Allah atas semua kejadian di muka bumi. Tipikal manusia es batu adalah sosok-sosok yang akan merugi di dunia maupun di akhirat.
Ketiga, tipe manusia air. Ia sadar sepenuhnya bahwa paralon adalah medium yang harus ia lalui, lorong yang akan mengantarkannya dari satu wadah pada wadah kehidupan yang lain. Ia juga sadar bahwa ia berasal dari ketidaan. Diciptakan untuk sebuah tujuan dan fungsi tertentu bagai kehidupan. Ia hanya harus mengalir, menggenang jika ada sumbatan, agar mampu melewatinya, demi terus mengalir, sembari terus memercikkan diri bagi kelangsungan kehidupan yang lain. Pada akhirnya ia akan tumpah dari paralon kehidupannya, jatuh ke bumi, membasah dan terserap tanah untuk menuju siklus hidup yang lebih panjang lagi.
Pada zaman kita ini, banyak orang-orang yang terjebak pada tipologi manusia semen. Mencoba menepis kematian. Berani hidup tapi tak pernah siap untuk mati. Terobsesi keabadian serta berpandangan betapa mengerikannya kematian.
Muslim mestinya menjadi manusia air. Kehidupan hanyalah titah dengan mandat waktu yang terbatas. Memaknai hidup sebagai anugerah, serta tidak menyia-nyiakan kehidupan. Semua yang kemudian berpapasan dengan alur kehidupan sejatinya mengandung hikmah yang dalam. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),
“Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka" – QS. Ali Imran:191