Diskusi Publik Soal Polemik Kenaikan Gaji Hakim: Masihkah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa?
Diskusi publik bertajuk “Masihkah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa?” digelar di Tjikini Lima, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (11/10/2024). Diskusi itu memunculkan berbagai pandangan kritis terkait polemik kenaikan gaji hakim di Indonesia. Acara tersebut diadakan sebagai respon terhadap gerakan protes yang dilancarkan ribuan hakim dengan cara mengambil cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024 untuk menuntut kesejahteraan yang lebih baik, yang menurut mereka tidak mengalami peningkatan signifikan sejak 2012.
Salah satu isu sentral yang dibahas dalam diskusi tersebut adalah bagaimana tuntutan peningkatan kesejahteraan itu berhubungan dengan tugas utama hakim sebagai penjaga keadilan atau “Wakil Tuhan”. Para pencari keadilan selalu berharap, hakim dapat memutuskan perkara secara adil, sesuai dengan irah-irah putusan yang selalu menyebutkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana keadilan bisa ditegakkan jika hakim tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak?
Di dalam paparannya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Albert Aries, menyatakan bahwa peningkatan kesejahteraan hakim adalah hal yang mendesak. “Kalau kita memperbaiki kesejahteraan hakim, paling tidak kebutuhan dia terpenuhi dulu. Soal keinginan (adalah) suatu hal yang relatif. Dengan kebutuhannya terpenuhi, maka diharapkan tidak ada lagi alasan buat mereka itu didekati oleh pihak para berperkara,” kata Albert.
Hakim harus menjadi benteng keadilan. Mereka harus jadi penegak hukum yang tidak bisa dibeli. Dengan kesejahteraan yang cukup, mereka bisa fokus pada tugasnya tanpa harus memikirkan kondisi keluarganya.
“Kita semua mendambakan hakim sebagai benteng keadilan, untuk memastikan bahwa mereka harus menjadi penegak hukum yang saking mahalnya nggak bisa dibeli. Paling tidak, ketika dia fokus menghadapi sejumlah perkara, diputus perkaranya, dia nggak mikir lagi ‘Anak gue gimana, ya?’, ‘Keluarga gue gimana, ya?’, dan sebagainya. Ini yang perlu dan penting untuk dijawab oleh negara,” tutur Albert Aries.
Pandangan tersebut senada dengan apa yang disampaikan Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), Fauzan Arrasyid. Di dalam diskusi itu, Fauzan menegaskan bahwa hakim generasi saat ini memiliki tekad kuat untuk menjaga integritas profesinya.
“Kami, hakim-hakim generasi sekarang, memilih untuk bersuara saat ketidakadilan terjadi. Kami ingin menghapus citra negatif dan menjaga kepercayaan masyarakat. Meski pun hanya segelintir hakim yang terlibat dalam kasus suap, ribuan lainnya terus berjuang mempertahankan integritas. Maka, pilihan kami adalah bersuara,” ucapnya.
Fauzan juga menyoroti anggapan bahwa meningkatkan kesejahteraan hakim akan menjadi beban negara, padahal jumlah hakim masih sedikit daripada PNS dan DPRD. “Coba dihitung, itu hakim sekitar 6.000 sampai 7.000 orang di seluruh Indonesia. Jika dibandingkan jumlah PNS yang 4 juta kalau nggak salah, jumlah anggota DPRD kalau nggak salah sekitar 32.000, hakim hanya 6.000 sampai 7.000, lalu berapa sih jumlah yang terkena kasus suap?” tegas Fauzan.
Kemudian, Fauzan menyoroti bahwa pemerintah seharusnya memerhatikan kesejahteraan hakim. “Harusnya negara melihat itu sebagai investasi, karena jika hakimnya bermartabat hukum terjaga dan masyarakat Berjaya,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Bidang Advokasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Djuyamto, turut menyoroti pentingnya kesejahteraan hakim dalam menghadapi perkara yang melibatkan kekuatan modal dan rakyat kecil. “Kita sering mendapati kasus bagaimana kekuatan modal atau negara akan berhadapan dengan masyarakat kecil. Contoh, misalkan Perkebunan sawit, pembukaan ladang-ladang untuk sawit atau pembukaan lahan-lahan untuk investor. Nah, artinya ketika nanti timbul sengketa, yang dihadapi antara kekuatan modal berhadapan dengan masyarakat sekitar. Ketika sengketa tanah sudah bergulir ke pengadilan, siapa yang akan diharapkan perannya? Hakim, kan? Jika hakimnya tidak kokoh, jika hakim kemudian tidak menjamin independensinya, yang rugi siapa? Rakyat kecil, toh?” paparnya.
Terakhir, Djuyamto menegaskan kepada pemerintah dan masyarakat yang menyaksikan polemik kenaikan gaji hakim, agar jangan khawatir. “Jangan khawatir bahwa kenaikan tunjangan dan kenaikan kesejahteran hakim ini hanya untuk kepentingan hakim. Tidak! Justru secara tidak langsung (kenaikan kesejahteran hakim) itu akan menjaga kepentingan rakyat, ketika dia berhadapan dengan kekuatan modal, berhadapan dengan kekuatan investor, yang bisa saja ketika dia beperkara dia akan menggunakan segala cara untuk mempengaruhi hakim di pengadilan,” tutup Djuyamto.