Donor Darah di Tengah Dentuman Bom

Sebagai relawan dokter yang tergabung dalam Emergency Medical Team (EMT)  Bulan Sabit Merah Indonesia yang diterjunkan ke Gaza, tak urung saya terkejut juga menyaksikan kehancuran yang terjadi di sana. Di sepanjang jalan sejak melewati perbatasan, yang terlihat adalah pasir kering, puing, dan reruntuhan. Boleh dikatakan tidak ada bangunan yang utuh sama sekali.

Jalanan berbatu menerbangkan debu mengepul saat terlindas ban mobil yang melintas. Sesekali tampak orang berjalan atau naik sepeda. Sekelompok anak-anak bermain bola atau main layangan. Gadis remaja tampak beriringan sebayanya. Mobil terus berjalan, menuju Rumah Sakit Nasser tempat kami ditugaskan.

Beberapa hari bekerja di Nasser Medical Complex, kami sudah mulai dapat menyesuaikan diri dengan situasi. Telinga sudah mulai terbiasa dengan suara bom dan drone yang tak kenal waktu. Walau pun jantung masih tremor juga apabila bom jatuh di jarak dekat, mengakibatkan getaran dinding dan pintu-pintu berderak.

Namun, rasanya masih ada yang kurang. Kami sudah menyumbangkan tenaga, ilmu, dan materi.  Apa lagi, ya ...?

Akhirnya tebersit ide untuk donor darah. Semua setuju ide itu. Tetapi kapan?  Pilihannya, pekan ini atau pekan depan. Hal ini mengingat durasi penugasan kami yang hanya dua pekan. 

Intifada Akademik: Saatnya Kampus Berpihak kepada Kemanusiaan
Lebih dari 36.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, terbunuh dalam agresi militer Israel sejak Oktober 2023. Sistem kekerasan itu salah satunya ditopang dana, teknologi, dan legitimasi dari institusi-institusi akademik. Hal itu memicu gelombang Intifada Akademik.

Akhirnya diputuskan, pekan ini saja. Pertimbangannya, badan masih kuat. Kalau dijadwalkan untuk dilaksanakan pekan depan, ada kekhawatiran malah batal karena tidak memenuhi standard minimal kadar haemoglobin untuk donor, yakni 12,5 gram%. Ini karena asupan makanan yang masuk ke tubuh hanya karbohidrat.  Tidak ada sumber protein sama sekali.

Datang saja ke blood bank di lantai 1. Kalian bisa donor darah di sana,” ujar dr. Osamah, sang LO.

Maka, keesokan harinya kami berlima datang ke ruang blood bank yang menyatu dengan ruang laboratorium. Dari situ diarahkan ke donor room. Ternyata, fasilitas bank darah di rumah sakit ini cukup lengkap, termasuk terdapat mesin untuk memisahkan komponen-komponen darah.   Alhamdulillah!

Di pintu masuk, petugas menyambut kami dengan senyum lebar dan ucapan selamat datang. Selalu begitu setiap kali kami memerkenalkan diri sebagai dokter dari Indonesia. Sambutannya melebihi ucapan perkenalannya.

Setelah mengutarakan maksud kami, beliau langsung mencatat nama dan identitas lain di buku register. Tak perlu waktu lama, kami melakukan pemeriksaan haemoglobin dan dinyatakan lolos semua, kecuali seorang sejawat yang kebetulan sedang berpuasa pada hari itu.  Untuk beliau, pelaksanaan donor ditunda malam hari.

Secara  umum, pelaksanaan donor darah sama dengan di Indonesia.  Bahkan, di tengah-tengah pengambilan darah sebanyak 450 – 480 cc itu terdengar beberapa kali dentuman bom!

Mereka sedang bersihkan Rafah,”  salah seorang petugas berucap lirih. Bagaimana pun setiap bom pasti berdampak luka atau jiwa melayang!

Namun, tak lama mereka kembali bersemangat berbagi cerita. Selama proses pengambilan darah, ada juga warga sipil yang datang untuk mendonorkan darah. Masya Allah, di tengah kelaparan dan ancaman nyawa, mereka tetap ingat untuk bersedekah dan berbagi. 

Di dalam sehari ada sekitar 30-40 orang yang datang untuk mendonorkan darah. Kecuali hari ini. Hari ini jumlahnya lebih banyak lagi karena kedatangan kalian dari Indonesia,” seloroh kepala unit donor darah.

Tetapi maafkan kami, setelah pengambilan darah ini kami tidak bisa memberikan susu atau makanan lain, ya.  Kalian tahu, makanan sangat sulit sekarang,” sambungnya. 

Tentu saja, saya pun tak berharap dapat snack dan minuman kacang hijau di Gaza ini.  Malahan, seusai donor, saya bagikan stik madu untuk mereka. Profesor Basuki sebagai ketua rombongan juga menambahkan permen kopi yang ngehits di Indonesia. Suasana pun menjadi penuh senyum dan tawa.

Pada malam harinya, kami berhasil mengajak dua relawan lagi untuk mendonorkan darah.  Juga seorang dokter spesialis jantung dari Prancis dan seorang perawat khusus hemodialisa dari Malaysia. Pengalaman donor darah di Gaza tidak hanya tentang prosedur medis, tetapi juga tentang keberanian, kepedulian, dan solidaritas di tengah-tengah krisis.

 

Oleh: Dr. Prita Kusumaningsih, SpOG