DPD RI, dari PRRI Hingga Reformasi
Penulis: Lukman Hakiem (Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPRRI)
Era Reformasi sejatinya adalah era kemenangan daerah. Dengan adanya reformasi konstitusi melalui Perubahan UUD 1945, daerah telah memiliki perwakilan (representasi) di tingkat nasional, yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), yang hadir untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, serta memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Dr. Laode Ida (2011: 123), gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dalam arena politik nasional serta mengambil keputusan politik bangsa, terutama dalam hal yang berkaitan dengan daerah. Intinya, diproyeksikan kehadiran, tugas, dan fungsi DPD RI adalah untuk mengawal implementasi otonomi daerah. Semua legislasi yang mengatur sumber daya alam dan daerah diharapkan berpihak kepada kepentingan rakyat di daerah.
Diharapkan juga, dengan kehadiran DPD RI, otonomi daerah berjalan efektif. Daerah tidak lagi menjadi sapi perah raksasa multinasional yang menguasai ekonomi dunia dan ekonomi tanah air kita sendiri, yang kapitalistik, pasar bebas, dan penghisapan.
PRRI, Permesta, dan Dewan Perjuangan
Jika hendak mengusut asal usul lahirnya DPD RI, mau tidak mau kita akan tiba pada pergolakan daerah di pertengahan 1950-an. Pada peristiwa pembentukan Divisi Banteng menggantikan Dewan Banteng di Sumatera Barat,yang sekaligus merupakan embrio dideklarasikannya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Sementara dari Indonesia Timur, Piagam Permesta terang-terangan menuntut tiga hal. Pertama, Sistem sentralisasi yang korup, birokratis, dan stagnan dalam membangun daerah harus dihapuskan. Kedua, Sistem desentralisasi harus bermuara pada pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Ketiga, 70 % Anggota Dewan Nasional terdiri dari wakil-wakil daerah otonom yang diberi status Majelis Tinggi (Senat) di samping DPR (parlemen).
Dengan amandemen kedua UUD 1945, terutama pada Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18, tuntutan utama Dewan Banteng, Permesta, dan Dewan Perjuangan, yakni otonomi seluas-luasnya, masuk ke dalam konstitusi dan mulai diwujudkan. (Raymo d Mawikere, 2012:173).
Paradigma Pembangunan Nasional
Apakah dengan demikian persoalan otonomi daerah sudah selesai? Ternyata belum! Yang belum selesai ialah menciptakan harmoni dan kesatupaduan antara pusat dengan daerah.
Paradigma pembangunan nasional sebagai totalitas pembangunan daerah belum dihayati oleh elite negeri ini, baik di pusat maupun daerah. Kehadiran DPD pun masih disikapi separuh hati. DPD masih "dicurigai mengidap virus negara federal". Segera sesudah DPD masuk ke dalam Konstitusi pada 7 November 2001, 207 Anggota MPR RI menandatangani Sikap Politik menolak masuknya Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem dan Struktur Kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para penandatangan saat itu menganggap usaha memasukkan DPD ke dalam sistem dan struktur kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan langkah yang bertentangan dengan prinsip dasar yang diatur oleh UUD 1945 yang hanya mengenal monokameral.
Sikap politik anggota MPR lintas fraksi itu mau tidak mau berdampak pada eksistensi DPD RI, yang selanjutnya tidak ubahnya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Plat Merah, yang dari hari ke hari hanya sibuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk diajukan kepada DPR. Jika DPR berbaik hati menerima RUU dari DPD, RUU itu akan dibahas. Jika tidak, RUU itu hanya akan dimasukkan ke laci atau dibuang ke tempat sampah. Dan itulah yang terjadi sejak DPD berdiri.
Salahkah DPR bersikap seperti itu? Bisa ya, bisa juga tidak. Sebab, Pasal 20 UUD ayat (1) menyatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dan ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan.”
DPD hanya punya dua pilihan. Dengan 2 ayat dalam Pasal 20, musnahlah harapan untuk memberi peran maksimal di bidang legislasi kepada DPD. Paling tinggi, DPD diberi kesempatan memperdengarkan pendapatnya terhadap sesuatu RUU.
Apa bentuk memperhatikan pertimbangan DPD? Pengalaman yang berlaku selama ini, memperhatikan hanyalah sekadar memasukkan pendapat DPD yang biasanya disampaikan melalui surat resmi ke dalam konsideran “memperhatikan”. Jadi, sekadar untuk menggugurkan kewajiban saja.
Dengan keadaan seperti itu, hanya tersedia dua pilihan untuk DPD. Pilihan yang pertama, memperkuat peranannya, dengan ikut membahas setiap RUU yang berkaitan dengan daerah, mulai awal sampai akhir. Pilihan yang ke dua, membubarkan diri. Terlalu mahal negara membiayai lembaga yang “seolah-olah legislatif, padahal cuma LSM plat merah!”